Sabtu, 22 Agustus 2020

Rumah Rindu



Di sini lah aku, di kota kecil yang hiruk pikuk bagai kota besar. Ditemani sang senja yang kian menghilang. Dan juga semilir angin yang menyisir rambutku. Aku sedang menanti seseorang. Seseorang yang berjarak 5280 kilometer dari tempatku berteduh. Padahal aku tidak tahu kapan ia akan datang. Bahkan mungkin takkan pernah datang. Tapi aku sudah tenggelam dalam rindu. Sudah 8 tahun lamanya aku tak melihat mata indahnya yang menyapa setiap pagiku. Atau Senyum manisnya yang tak pernah pudar itu pun sudah menjadi candu. Tapi Aku masih bisa merasakan jari-jarinya yang dulu senang bermain dengan anak rambutku yang menjuntai saat rambut yang lainnya terikat rapih.

Canggihnya teknologi nyatanya tak mampu menghapus rindu yang kian memilu. Sialnya, ia bahagia di negeri Ginseng itu. Hingga aku tak bisa memaksanya pulang ke rumah yang kini dipenuhi lukisan rindu.

Semua itu terjadi karena aku yang dengan bodohnya mau diperbudak oleh cinta. Cinta membuatku memiliki dua pilihan setiap harinya, menuruti keinginannya atau berpisah dengannya. Keluh kesah yang tak bisa aku sampaikan kepada pena, hanyalah tentang cinta yang kian lama kian menjebak.

Tiba suatu hari saat senja mulai menyapa aku. Dia memberi kabar yang terasa seperti pertanyaan. Tentang cita-cita yang ingin digapainya datang kembali mengetuk pintu ponsel pintarnya. Ia ingin menjadi bintang lagi. Ia ingin menjadi kebanggaan lagi. Ia ingin harta dan tahta, karena sudah memiliki wanita.

Mencintai memang berat. Karena cinta bukan hanya tentang saling memberi kasih. Namun juga melepaskan pergi demi kebahagiannya. Aku memang tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di negeri Ginseng. Tapi jika aku melarangnya, aku tidak tahu sampai kapan ia akan kecewa dan bersedih. Dukanya hanya akan membunuhku secara perlahan. Menenggelamkanku ke palung Mariana yang tak sengaja dibuat oleh egoku sendiri.

"Bukankah kau akan bangga denganku bila aku kaya? Tidakkah kau lelah hidup seperti ini? Hanya untuk pergi ke negeri Ginseng saja hanya cukup untuk satu orang." Suara itu masih lekat bergulir di otakku. Kata-kata yang mampu meluluhkan hatiku untuk melepaskannya pergi. Membujuk hatiku untukku belajar hidup sendiri tanpanya. Sambil menantinya menjadi bintang negeri seberang.

Penantian nyatanya tak sesakit yang ku bayangkan. Dunia ini sudah tidak kuno. Nyatanya ia masih mampu membuatku bahagia lewat pesan suara. Namun membuatku sakit pula, karena itu hanya pesan suara. Sedang yang dibutuhkan bukan hanya suara. Begitulah teknologi menyakitiku.

Seperti saat ini, di tengah gemuruh petir dan hujan. Priaku tak henti-hentinya mengirimiku pesan singkat berbumbu cinta, berdefinisikan rindu. Hari jadi pernikahan memang tak pernah dirayakan dengan meriah, hanya sekedar berbagi cerita, lagu, ataupun puisi tentang betapa besarnya cinta yang menyelimuti kami selama 10 tahun ini. Cinta yang didominasi rindu. Cinta yang belum juga dilengkapi oleh peri kecil berpopok yang terhambat oleh jarak dan cita-cita. Yah, tak ada salahnya mengejar cita-cita bukan? Ah, aku bisa gila.

Lalu bagaimana aku bisa bertahan selama ini tanpanya? Setiap senti dari rumah yang sangat sederhana ini merekam semua yang priaku lakukan selama dua tahun ini. Dimulai dari kamar tidur yang hangat menyapaku dengan bayangnya sangat nyata bagiku. Lalu lantai berlapiskan tikar jerami yang dihiasi kopi hangat teman setia disetiap pagi yang akan kami sesap bersama dengan singkong rebus dan mie instan yang menyusul beberapa jam setelahnya. Ketika senja menyapa biasanya ia datang membawa kabar dari kota besar tentang apa saja yang terjadi di hari ini juga kemarin. Disaat itu, aku menemani membaca lembar demi lembar kertas yang orang sebut koran. Barulah dimalam saat bulan tepat menyinari atap rumah kita, engkau pergi berkeliling perumahan  menggunakan seragam hijau kesayangan .

"Katanya tadi malam ada maling di dekat rumah pak Sobari, tertangkap tidak?" Kala itu kau tidur sampai mentari hampir sejajar dengan atap rumah.

"Maling mana sih yang tidak bisa ditangkap oleh seorang Sehun?" banggamu.

"Jika tak ada maling yang lolos darimu, lalu mengapa kau dikeluarkan dari kepolisian?" argumenku membuatmu mengerutkan dahi. Sebenarnya argumen itu tak seharusnya aku lontarkan, aku tahu Sehun sedikit sakit saat mendengar itu.

"Karena ada satu maling yang sampai saat ini belum bisa aku tangkap."

"Siapa? Katanya tidak ada," seruku membuatmu tersenyum.

"Kamu," katamu membuatku sedikit marah dan terheran.

"Sini, kembalikan hatiku!" aku harus apa? Aku berbunga sekaligus kesal saat itu. Hingga satu tinju gemas kulontarkan pada otot bisepmu. Disusul oleh tawa darimu.

Aku tersenyum-senyum sendiri melihat tembok yang menghadap televisi itu. Mengingatkanku akan salah satu kejadian roman itu.

Tak kusangka, 8 tahun tak seatap dengan belahan hatiku telah menjadikan rumah ini museum kenangan roman dalam rumah tangga. Bahkan bayang Sehun kian nyata alih-alih memudar.

Anggrek pemeluk pohon mangga yang selalu disiram Sehun ikut menceritakan betapa rindunya dia akan kehadiran Sehun. Cangkir coklat bergaris yang mulai berdebu itu memanggil nama Sehun di setiap paginya. Sepeda motor buatan jepang yang meraung-raung kehilangan pengendara setianya yang tampan. Televisi yang yang setiap harinya menayangkan berita rindu membuatku resah. Ditambah kipas angin elektrik yang hanya bisa meniupkan angin kenangan tentang Sehun. Aku iri pada lemari plastik yang memeluk hangat aroma tubuhmu yang tertinggal di beberapa bajumu membuatku rindu akan peluk hangatmu. Langit-langit rumah yang tiap malam berbisik tentang tampannya dirimu waktu itu membuatku selalu membayangkan betapa indahnya ukiran wajahmu saat ini.

Mereka ikut mengisi rindu yang meledak-ledak di rumah ini. Mereka semua berdebu. Namun, masih bisa menghantarkan hangat kasih yang ada di Korea. Mereka semua pun, membutuhkanmu. Rumah ini berubah menjadi rindu. Dan aku sudah terlalu nyaman hidup berdampingan dengannya. Padahal aku juga butuh kamu.


Selesai.



Hai Readers,

Namaku Roselyn NorthGod, aku adalah seorang penulis  pemula dari Cirebon kelahiran 2002 yang juga sangat menyayangi kucing. Hobby menulisku berawal dari kesukaanku membuat cerita untuk diceritakan kepada orang lain. Selain menulis, aku juga hobby bermain game, scroll beranda instagram, dan membaca beberapa komik di webtoon. Bila kalian punya kesamaan silahkan follow instagramku @rozieoci294. Selamat membaca karyaku semoga suka, jangan lupa untuk meninggalkan komentar bila kalian suka :).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar