Sabtu, 22 Agustus 2020

Pencuri Rumah Merah

Oleh: Nendi Dwi Wahyuni


    Di luar, hujan mengguyur dengan deras. Jelas sekali terdengar tetesannya yang bergantian menempa bebatuan. Sementara angin, tidak perlu dijelaskan. Semua juga tahu betapa kencangnya ia bertiup. Para manusia akan lebih cepat menarik selimut. Tidak akan ada yang mau berjalan dengan alasan menikmati alam.

    Aku ingat sekali, malam itu seharusnya aku seperti yang lain. Beristirahat, memejamkan mata, mengambil sedikit masa agar melupakan banyak hal yang tengah dipikirkan. Tapi aku tidak bisa. Ada saja gangguan yang datang.

    “Kau wanita!” bentakku pada seorang gadis yang usianya jauh lebih muda. Jika saja aku sudah memiliki anak, pastilah seusia dengannya. Gadis remaja berwajah manis, namun, tersirat banyak misteri di balik tatapannya.

    Gadis itu duduk di atas kursi kayu. Badan dalam keadaan terikat dan mulutnya tertutup kain. Sesekali ia meraung agar segera dilepaskan. Sudah hampir 3 jam aku mengomel padanya. Sementara mimik wajah dia sama sekali tidak merasa bersalah. Sekeras apa hati gadis ini, tanyaku.

    Aku melangkah mendekat. Gadis itu tertunduk lesu. Sudah habis perlawanannya.

    “Sekarang bicara!” aku membuka kain yang menyumpal mulutnya.

    Dia menggeleng.

    “Dasar keras kepala! Kubilang bicara, ya bicara!” kembali aku membentaknya.

    Terdengar isakan tangis. “Aku ti…dak ta...hu,” ucapnya terbata-bata sambil berusaha menahan tangis.

    Bahkan dalam keadaan terjepit sekalipun, dia tetap saja tidak ingin mengungkapkan apa-apa. Menjawab pertanyaanku pun tidak.

    “Katakanlah, Nak,” tiba-tiba saja melompat keluar perkataan lembut dari mulutku. Aku wanita, tidak tega.

    Gadis itu mendongakkan kepalanya, mata kami saling tatap. “Namaku Sira,” dia kembali menunduk.

    “Kenapa kau lakukan ini, Sira? Kau masih remaja. Masa depanmu begitu panjang. Jika kau butuh bantuan, semua orang juga tahu aku akan siap membantu. Tidak perlu kau memakai cara hina ini,”

    “Trauma,” Sira kembali mengangkat kepalanya, menatap wajahku, “aku trauma,” matanya berkaca-kaca.

    “Beberapa minggu lalu, kudengar sudah dua rumah bercat merah juga kemalingan. Awalnya, aku tidak begitu percaya. Mungkin hanya kebetulan, rumah yang menjadi sasaran pencuri sama-sama berwarna merah. Ternyata, rumahku yang juga berwarna merah menjadi incaranmu selanjutnya. Kau yang mencuri dua rumah merah sebelumnya, kan?” aku menatapnya tajam, menyelidik.

    “Ya, aku yang melakukannya,” Sira mengangguk. Meski sedang menangis, tetap tidak terlihat penyesalan di wajahnya.

    “Kenapa?” tanyaku.

    “Aku benci warnah merah!” dia kembali menunduk dan terisak. Tetesan air matanya jatuh ke lantai. 

    “Lantas, jika membenci merah, haruskah kau luapkan dengan cara seperti ini?”

    “Aku tidak punya siapa-siapa. Aku juga tidak punya apa-apa. Semua orang membenciku. Kebaikan apalagi yang harus aku perbuat jika begini keadaannya?” air matanya mengalir deras.

    “Ceritakan, Nak. Ceritakan apa yang telah terjadi pada kau?” kugenggam tangannya yang masih terikat.

    “Sejak kecil, aku hanya tinggal bersama nenek. Hanya nenek yang sayang padaku, selebihnya membenciku. Teman-teman di sekolah, tetangga, bahkan orang tuaku sendiri, semuanya benci padaku. Termasuk kau!”

    “Aku?”

    “Ya, sudah kubilang, semuanya membenciku!”

    “Aku baru ingat, kau gadis kecil yang tinggal di ujung blok sebelah, kan?” aku teringat sesuatu saat menatap wajah Sira dari dekat. “Ya, aku mengingatmu. Kau gadis kecil yang dulunya begitu menyukai warna merah. Dengan riang, kau sering berlarian keliling kompleks memakai pakaian bahkan sandal berwarna merah.

    “Kenapa sekarang kau bilang benci warna merah, Sira?” tanyaku kembali.

    “Aku selalu diejek semua orang karena menyukai warna merah. Teman-teman di sekolah selalu mengatakan bahwa aku siswa paling norak. Para tetangga juga bilang aku orang yang aneh karena sering bicara sendiri. Apa kau ingat ketika kau mengunjungi nenek?”

    “I-i-iya. Ketika nenekmu masih hidup, beberapa kali aku sempat berkunjung mengantarkan makanan dan keperluan lainnya,”

    “Bagus! Itu berarti kau juga ingat ketika melihat tumpukan bukuku, dengan lantang kau bilang bahwa aku psikopat. Sadarkah kau, hanya karena aku menyukai bacaan thriller lalu kau sandangkan kata psikopat kepadaku?” mata Sira tampak merah, menahan marah.

    Aku tertegun.

    “Sekarang kau sudah ingat!?” sekarang ia yang membentakku.

Tatapan mata Sira seperti menghujam jantung. Bagaimana mungkin dahulu aku pernah berkata seperti itu. Manusia, makhluk pelupa akan dosa. Mulut tidak punya saringan, hingga keluarnya api dan air sama saja rasanya.

“Aku minta maaf.” kini aku yang menahan tangis.

“Tidak perlu maafmu! Sejak kau mengatakan aku psikopat, kau tau? Aku mendapatkan ide ini. Ide untuk menjadi pencuri rumah berwarna merah. Dan entah kebetulan seperti apa, kau mengganti cat rumahmu menjadi merah,” Sira tersenyum bak senyum pemeran antagonis di film. “Untungnya, aku tidak cukup disebut psikopat karena masih membiarkan nyawa pemilik rumah merah bertahan. Aku masih tidak tega untuk membunuh manusia, meski diriku telah lama terbunuh oleh omongan kalian!”

“Sekarang apa mau kau, Sira?” tanyaku.

“Lepaskan aku!” teriaknya.

“Tidak. Kau sudah tidak sehat. Tidak layak dibiarkan berkeliaran. Aku akan menghubungi pihak yang mampu mengatasimu. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku,”

“Aku tidak butuh manusia lainnya!” Sira kembali berteriak saat melihat aku menekan-nekan ponsel untuk menghubungi pihak yang akan mengatasi permasalah kejiwaan Sira.

Manusia, makhluk paling sempurna, namun, juga mudah lengah. Tidak menambatkan hal yang seharusnya menjadi bagian utama. Hati adalah sang raja. Apapun katanya, maka itu adalah titah. Lihat saja, bagaimana mungkin seorang raja memberi titah kebaikan jika ia tidak baik. Bagaimana pula rakyatnya, anggota tubuh yang lain bisa melakukan perlawanan pada sang raja.

Manusia, penuh dengan dosa. Namun, selama waktu masih ada, bukankah itu menjadi sebuah tanda? Ya, tanda bahwa cintaNya membujuk sang raja untuk segera mengubah titah. Membersihkan noda hitam menjadi titik-titik indah.

Ah, manusia. Keputusan ada padanya. Dan ini keputusanku untuk membantu Sira, gadis penyuka merah agar kembali menjadi manusia. 

Semoga semua dosa melebur sebelum dijemput masuk kubur.




 

Biodata Penulis

Nendi Dwi Wahyuni, penulis buku Nabastala Impian ini adalah seorang Sarjana lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Padang. Nendi memiliki karya-karya yang pernah diterbitkan, antara lain; Hadiah Giveaway Sina (antologi cerpen dan puisi sebagai karya cerpen terbaik 1), Kaya Materi Tersembunyi (antologi cerpen sebagai juara 3). Penulis bisa dihubungi melalui email:nendidwi6@gmail.com atau instagram: @nendidwiwahyuni.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar