KARANGAN BUNGA DI RUMAH BAPAK
Oleh: Erica Agustina
Hari ini tepat tanggal 1 Agustus. Hari yang terspesial untuk kami, anak-anak bapak. Bapak merayakan ulang tahunnya yang ke-66 tahun. Kue tart kecil dan karangan bunga krisan berwarna putih dan kuning, telah siap memeriahkan. Kami sedang berkumpul di rumah bapak dengan versi lengkap; kak Juna, CEO tampan yang sukses berdagang kursi rotan, lalu kak Mutia, seorang founder yang bergerak di bidang bakery and pastry shop. Lalu aku, Gauri. Putri bapak yang; paling bontot, paling ceria, paling gemesin dan yang paling penting, aku tak kalah cantik dengan kak Mutia, kata bapak.
Beliau sangat menyukai warna putih dan kuning. Menurutnya, warna putih selalu cantik dipadu padankan dengan segala macam warna. Putih akan menjadi pencerah ketika disandingkan dengan gelap. Lalu warna kuning adalah; lambang semangat, ceria, dan bahagia. Oleh sebab itulah, bapak menamaiku Gauri, dalam bahasa sansekerta memiliki arti kuning. Tersimpan doa dalam namaku. Harapannya, semoga aku mampu menjadi penyemangat kala bencana menghampiri keluarga kami sewaktu-waktu. Bapak adalah seorang lelaki paling macho, menurutku. Bukan lengan otot seperti Ade Ray, melainkan sikap tanggung jawab yang membuatnya nampak macho, lebih dari kak Juna yang hampir tiap hari menggendong barbel. Bapak memikul tanggung jawabnya seorang diri. Aku tak bisa bayangkan, betapa berat bahu ringkih itu membawa peran ganda. Bibir kehitaman mengatup rapat, tak pernah mengeluh. Kelopak matanya yang sayu, selalu telaten mengawasi tingkah laku ketiga anaknya. Telapak tangan nan kasar biasa meraut rotan, terasa halus ketika membelai pucuk kepala kami menjelang tidur. Lincah jari-jemari beliau membuat perabotan, tak kalah lincah ketika memotong sayur-mayur di dapur. Bapak begitu piawai merangkai tumbuhan lentur itu menjadi kursi, tapi juga pandai menyulap tanaman hijau menjadi sebuah hidangan super lezat. Beliau lah bapak dan ibu kami.
Bapak adalah seorang pengrajin rotan. Dari sejak muda, beliau menggeluti dunia kerajinan tersebut. Walau tak banyak orang yang memesan hasil karyanya, beliau tidak mau kalah dengan lelah. Kaki kurusnya begitu kuat untuk bangun kembali dari kerasnya persaingan perdagangan properti. Ucap syukur tak pernah putus, kala keningnya bersujud pada Yang Kuasa. Beliau selalu mengingatkan kami, betapa pentingnya mengucap nikmat. Jangan hanya meminta. Kita sudah mewah menerima berkah berupa rumah dan kesehatan. Masih banyak orang yang lebih menderita di luar sana. Kalau bisa, kita hanya perlu bersyukur, berusaha, juga pasrah itu sudah cukup. Gusti Allah sudah tahu, kebutuhan kita. Bukan memberi keinginan yang biasanya cuma nafsu. Ada ungkapan, usaha tak hianati hasil. Nilai yang kita dapat dari usaha kita, anggap saja sebagai jawaban atas doa-doa yang terucap, walaupun hanya di batin, begitu petuah bapak.
Perjuangan bapak membesarkan tiga anaknya, terbilang tak mudah. Untuk menyekolahkan kami, beliau membuka jasa pesanan kue. Entah siapa yang mengajarinya, tapi kue buatan bapak benar-benar enak, tidak kemanisan, juga tidak berbau amis. Kak Mutia pernah mencoba resep brownies panggang dengan bekal resep pemberian bapak. Tapi kenyataannya, dia yang terlihat lebih cocok sebagai baker, selalu gagal dalam mencampur semua bahan dan menghasilkan adonan yang fluffy saat dimakan. Saat itu, aku dan kak Mutia berada di ruang makan, memandangi brownies gosong buatannya. Kak Mutia naik darah, tak terima, jika dirinya tidak mampu menyamai keahlian bapak dalam membuat kue. Ia yang notabene selalu ingin menang sendiri, mulai mencari kebenaran sebagai alasan.
“Bukannya aku tidak mampu, ini pekerjaan mudah buatku. Lihat! Tulisan bapak begitu jelek. Andai saja jika bapak bisa menjelaskan padaku secara langsung, pasti akan jauh lebih mudah membuat brownies panggang itu,” Kata-kata kak Mutia terdengar sarkas.
“Kak! Bisa tidak, bicaranya pelan sedikit? Kalau bapak denger, gimana?!” Nada suaraku, kutinggikan dan penuh penekanan.
Tanpa kami ketahui, ternyata, bapak sedang mengintip dari balik kelambu pemisah antara ruang tamu dan ruang makan. Beliau pasti mendengar kalimat penghinaan kak Mutia. Betapa sakit perasaan orang tua, jika mendengar ucapan buruk dari mulut sang anak yang dituju kepada orang tuanya sendiri. Namun, berbeda dengan bapak. Beliau, justru mengurai senyumnya sembari berjalan ke arah kami.
Bapak mengeluarkan buku catatan dari saku kemeja kotak-kotak warna coklat yang ia kenakan. Terlihat, beliau sedang menulis sesuatu di atas kertasnya, beralaskan tembok. Kami cukup lama menunggu bapak selesai menuliskan perkataannya. Aku tak henti menatap kak Mutia seakan ingin menelan dia hidup-hidup. Jika bapak sedih, aku akan membuat perhitungan dengan kak Mutia. Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa lama itu, bapak meletakkan pena di atas meja dan menunjukkan bukunya pada kami.
Anak bapak yang paling cantik, maafkan bapak, ya. Itu adalah resep baru. Bapak sama sekali belum mencobanya. Belum ada waktu untuk meramu resep itu kembali, agar pas dan enak kala dinikmati. Maafkan bapak, jika selama ini kamu kesusahan dengan tulisan tangan bapak yang serupa ceker ayam. Lain kali, bapak janji akan memperbaiki itu.
Oh, Tuhan! Untuk itukah begitu lama bapak menulis? Untuk memperapi tulisan tangannya dan membuktikan pada Kak Mutia, jika beliau juga bisa menulis dengan rapi? batinku. Ada goresan sesal di atas kening lebar kakak perempuanku. Telah luntur segala rasa kesal di ceruk hatinya, ketika membaca ucapan bapak. Lalu, semuanya hanyut terbawa arus air yang deras mengalir dari dalam kelopak mata kakak.
“Maafkan Mutia, Pak. Mutia belum terbiasa dengan bapak yang tidak bicara.” Bapak mengulas senyum di wajahnya yang mulai muncul kerutan. Lantas, Beliau menghampiri kak Mutia lalu mendekapnya erat. Air mata penyesalan kak Mutia, tumpah dalam dekap hangat bapak. “Mutia bersedia bantu bapak membuat kue. Kalau perlu, Mutia akan menemukan resep kue terenak. Mutia ingin menjadi pembuat kue yang handal seperti bapak.” Mendengar angan-angan kak Mutia, hatiku seolah disiram air pegunungan, sejuk sekali.
Mulut kakak perempuanku itu kadang-kadang setajam belati, sakit sekali ketika berujar atau hanya sekedar mengkritisi. Bapak selalu sabar menghadapi emosi anak perempuan tertuanya yang meledak secara tiba-tiba. Hal itu, membuatnya jauh lebih sabar dan ringan mengucapkan maaf lebih dulu. Padahal aku tahu, jika beliau tak memiliki kesalahan apa-apa. Tetapi jangan salah, bapak juga pernah marah dan berkata tegas pada kami, saat kakakku yang pertama kepergok mencuri uang di saku kemeja bapak yang tergantung di balik pintu kamarnya. Naas nasip kak Juna, peristiwa tersebut disaksikan langsung oleh pemiliknya. Aku masih ingit bagaimana raut muka bapak. Beliau yang kukenali memiliki wajah lembut, terlihat sangat gahar ketika amarah berada di puncak ubun-ubun.
Pyaarr …
Suara pecahan kaca, terdengar nyaring. Aku dan kak Mutia sontak lari menemui sumber suara tersebut. Di ruang tamu, aku melihat bapak yang berapi-api, menatap penuh kemarahan pada kak Juna. Seluruh ruangan seakan terbakar. Tak ada satu pun dari kami yang berani bersuara. Membisu bibir kami, melihat bapak yang berlalu pergi ke kamar dengan lava meletup dalam dada.
“Kak, kakak berulah apa lagi, sih? Tidak mencuri uang bapak lagi 'kan? Kakak tahu, bapak tidak suka hal-hal yang tidak jujur seperti ini.” kak Mutia bertanya penuh selidik.
“Em … a-aku tahu kok! Tapi, aku tidak menggunakannya untuk yang aneh-aneh. Aku hanya ingin....” Kalimat kakak pertama dipangkas tegas oleh kak Mutia.
“Tidak ada alasan yang membenarkan sebuah pencurian, Kak. Walau itu untuk mengisi perutmu. Pencuri tetaplah pencuri. Kriminal!” Penekanan kata terakhir kak Mutia membuat kak Juna naik pitam.
“Jaga ucapanmu! Tak ada sopan-sopannya sama orang yang lebih tua. Mau dikuncir mulut sampahmu itu?” balas kak Juna dengan mata yang bersungut-sungut. Aku hanya diam tak mengerti lagi, bagaimana menenangkan kedua saudaraku itu.
“Apa salahku, Kak …”
Klak … pintu kamar bapak terbuka, membuat debat kusir kedua kakakku terhenti. Kakinya berjalan ke arah kami, bersama raut muka yang masih gondok. Kemudian, aku diberinya sepucuk kertas buram berisi beberapa kalimat.
Juna, bapak minta maaf. Aku bukanlah bapak yang sempurna, tapi aku tak akan menyerah memberimu kesempurnaan. Tidak ada paksaan bagimu, menuruti apa perkataanku. Bapak hanya ingin kamu menjadi laki-lagi baik, berkata jujur, dan bertanggung jawab. Kamu adalah calon imam. Imam harus bisa membawa makmumnya menuju teduh juga kedamaian. Walau kamu bukan anak kandung bapak, bapak selalu mendoakan … agar kamu bisa lebih berjaya, jauh lebih sempurna dari bapak.
Benar, Beliau adalah bapak angkat kami. Pria tak beristri, juga disabilitas wicara, beliau mampu mengasuh kami dengan limpah ruah kasih sayang dan cinta. Kami memiliki kisah masing-masih. Kak Juna adalah anak jalanan yang tiap hari melanglang buana mencari rosokan dan mengamen di kala sore tiba. Ia tak punyai orang tua. Hidupnya hanya menumpang, meminta belas kasih penduduk kampung pinggiran kota metropolitan. Bapak menemukannya sedang bersembunyi di balik tumpukan karung-karung beras dari kejaran petugas razia yang mengejarnya. Entah angin apa yang membawa bapak bertemu dengan bocah laki-laki malang itu dan bersedia membesarkannya.
Berbeda dengan kak Mutia. Ia dititipkan kepada bapak sejak usia tujuh tahun oleh seorang teman baiknya. Kedua orang tua kak Mutia meninggal akibat kecelakaan beruntun. kak Mutia selalu merasa dirinya anak buangan, sebab keluarga ayah maupun ibu tak mau mengakuinya sebagai saudara. Walau kakakku bermulut pedas, tapi hatinya begitu lembut dan sangat dewasa. Akulah yang sebenarnya anak buangan. Bapak menemukanku di dalam kardus yang masih berari-ari di dekat tong sampah. Hingga saat ini, aku tak mengetahui siapa orang tuaku sebenarnya. Di dunia ini, hanyalah bapak, hartaku paling berharga.
Bagi kami, Bapak Darmono adalah penyihir yang berhasil merubah sampah jadi manusia yang dimanusiakan. Rumah kecil ini serupa surga paling megah nan mewah. Beliau-lah sosok penerang pada jalan kami yang suram. Dibungkusnya sabar, pantang menyerah, optimis, dan selalu ceria, sebagai bekal hidup di masa akan datang. Itulah warisan paling berharga yang ditinggalkan selain keahliannya berusaha rotan dan membuat kue. Bapak adalah pahlawan bagi kemerdekaan hidup kami.
Hari ini, di sini, di rumah bapak, tempat peristirahatannya yang abadi. Beliau dipulasara bersebelahan dengan orang tuanya. Kue tart favorit bapak dan karangan bunga spesial hasil karya kak Mutia menjadi pelengkap kebersamaan kami. Dihadapan nisan berepitaf Darmono Bin Elman, kami memanjatkan doa dan meniup lilin bersama-sama. Sudah tiga tahun bapak meninggalkan kami. Belum puas kami membahagiakan bapak, beliau lebih dulu mengibarkan bendera putih pada sakit komplikasi yang dideritanya. Kini, hanya doa yang terus kami tenun, menjadi selimut hangat paling panjang sebagai persembahkan terima kasih untuk bapak.
Kami tinggalkan karangan bunga krisan putih dan kuning ini sebagai tanda kenang jasanya menjadi manusia setengah dewa. Semoga Tuhan bermurah hati untuk memberi tempat yang sederajat dengan malaikat untuk bapak.
BIONARASI
Erica Agustina, seorang ibu rumah tangga lahir pada 24 Agustus 1994 di Sidoarjo, Jawa Timur. Hasil karya yang telah diterbitkan yaitu; antologi cerpen – La Storia Del Barista; antologi cerpen – Dreamer’s Challenge; antologi puisi – Cinta yang Akan Datang. Segala kritik dan saran dari rekan-rekan bisa disampaikan melalui akun wattpad @RLanduh_ atau melalui surel erica.agustina55@gmail.com. Menjadi ibu rumah tangga tak menjadi batasan untuk tetap terbang meraih mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar