Selasa, 18 Agustus 2020

Life After COVID-19

Ditulis oleh Erica Agustina 


Kuhirup kuat-kuat udara segar pagi hari yang masih temaram. Aku sudah siap dengan kaos oblong dan celana basket bekas SMA dulu, juga sepatu yang ala kadarnya untuk mengawali hariku dengan lari pagi keliling kampung. Lebih tepatnya berkeliling sebatas RT-ku saja. Bermodal style bajuku yang alakadarnya, aku pun telah melakukan pemanasan, kini aku siap untuk lari pagi. Setiap pagi, banyak warga yang juga melakukan olahraga. Tak hanya berlari, banyak pula yang memilih untuk bersepeda, bermain bulutangkis, bermain volly, atau hanya sekedar jalan-jalan menikmati udara sejuk. Bukan karena hari ini hari minggu, tapi olahraga telah menjadi kebiasaan masyarakat kami semenjak pandemic covid-19 dua tahun lalu.

Semenjak kedatangan tamu tak diundang itu, kehidupanku berubah drastis. Aku Rana 23 tahun yang hanya seorang buruh pabrik sabun. Aku harus berbesar hati menerima putusan pemberhentian hubungan kerja dari perusahaan. Aku kelimpungan. Bagaimana aku membantu orang tua menguliahkan adikku? Mengapa dulu aku tak merampungkan kuliahku hanya karena terlena pada lelaki yang sekarang malah jadi suami orang lain. Sial!  Aku tengah duduk santai di depan rumah dengan secangkir kopi pahit sepahit pikiranku yang penuh sesal.

Tanganku memukul kasur yang mulai tipis. Seandainya kasurku bisa bicara, mungkin dia akan protes padaku. Sebab sudah lima hari ini aku tak beranjak darinya kecuali ke ruang makan dan ke kamar mandi. beginilah seorang pengacara alias, pengangguran banyak acara. Ibuku hanya seorang penjual gado-gado sedangkan ayah, beliau seorang supir taxi. Adikku, Oge sedang mengampu pendidikan strata satu. Mengandalkan penghasilan ayah yang tak menentu, tak berbeda dengan penghasilan ibu, keduanya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari yang harganya makin melonjak saat itu. Mau tak mau, otakku yang sederhana ini berpikir keras mencari solusi untuk mendapatkan tambahan rupiah. Demi menyanggupi kebutuhan kuliah Oge juga menjaga dapur tetap mengepul.

"Bu, aku jualan online saja ya! Gara-gara pandemi, sekarang serba online." celetukku secara tiba-tiba membuat keseriusan ibu, juga ayah yang sedang asik nonton sinetron menjadi terpecah.

"Mau jualan apa? Gado-gadonya Ibu, hm?"

"Ya gak pa-pa, Bu. Aku daftar itu loh ojek makanan." kataku, sambil asik mengutak-atik ponselku mencari informasi ojek makanan online.

"Coba aja, Mbak." jawaban Ayah memberiku semangat untuk begadang semalaman mendaftar layanan ojek makanan online tersebut.

Pagiku selalu terganggu dengan wanita bersuara cempreng berkoar melalui toa. Itu tandanya mobil desa sedang berkeliling mengingatkan para warga agar waspada dengan pandemi yang saat itu sedang melonjak tinggi dalam tiga bulan terakhir. 

“Ayo bapak, ibu, ajak seluruh anggota keluarga untuk berolahraga dan berjemur pagi hari. Selalu jaga kesehatan dengan makan-makanan yang bergizi. Jangan lupa tetap menjaga kebersihan dengan mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, jaga jarak, dan jangan lupa menggunakan masker.” Begitulah kurang lebih. Kalimat yang sama, berulang-ulang diucapkan oleh suara sumbang itu. Mobil desa berkeliling setiap hari dipagi hari. Seminggu sekali petugas desa menyemprot desinfektan, katanya. Tapi nyatanya cuma dua kali dalam kurun waktu  satu bulan. Itu pun hanya di awal bulan saja. Tak hanya suara sumbang yang mengganggu nyamanku, tapi suara lembut ibu sedang menggerutu. Ibu sedang dongkol. Sebab ibu tidak mendapat jatah sembako dari pemerintah.

"Katanya sembako diberikan merata, tapi kenapa aku gak dapat?" kata ibu. Telingaku terasa panas. Dengan berat siku, aku bangun dari tempat tidur dan melihat ibu sedang berkacak pinggang sembari mulutnya manyun. Lucu sekali.

"Sudahlah, Bu. Anggap saja kita orang kaya yang tidak berhak dapat sembako." jawabku ingin membesarkan hati ibuku. Namun, malah sebaliknya. Aku dicacinya habis-habisan.

"Helleh … Buktinya haji Udin dapat sembako. Padahal, dia salah satu orang kaya di desa kita. Itu tidak adil namanya. Virus ini berdampak pada semua orang, tidak memandang status sosial. Pasti ini dari sono ada yang korupsi ini. Bagaimana Negara ini mau maju kalau masyarakatnya menggerogoti tanpa rasa bersalah seperti itu. Tak ada akhlak." Selesai mendengar protes hatinya ibu, aku berlalu pergi. Lebih baik aku tak berkomentar mengenai itu daripada aku berdebat panjang mengenai politik Negeri ini yang … entah lah.

Sorot sinar jingga mulai terlihat dari ufuk barat. Langit ikut berwarna jingga, sangat cantik sekali. Pagi ini tidak seperti pagi biasanya. Begitu pula dengan ibu, hari ini tidak seperti ibu biasanya. Beliau masih sibuk melayani pembeli. Hingga menjelang magrib berkumandang, ibu tetap menerima pesanan gado-gado online. Paling tidak, kesibukan hari ini membuatnya lupa akan kemarahannya mengenai sembako yang tidak dibagi rata itu. Lebih tepatnya tidak dibagi secara adil, menurut ibuku.

*****

Peraturan pemerintah mengenai pembatasan sosial sudah mulai menjadi budaya baru. Keluar rumah selalu pakai masker dan tak lupa membawa hand sanitizer. Aku pun juga mulai terbiasa dengan pemberlakuan jam malam. Menikmati secangkir kopi hitam bersama bapak di depan rumah menjadi kebiasaan baru. Beda dengan adikku. 

"Ah, seperti anak kosan saja. Jam sembilan akses keluar masuk udah ditutup." Oge masuk rumah sambil mulutnya mancung. 

Ibu yang sedang duduk di ruang tamu menyambut Oge dengan pertanyaan, "Ge, dari mana? Udah cuci tangan belum?"

"Apaan sih, Bu. Oge cuma nongkrong di warung kopinya Mas Ulung, ngapain pake cuci tangan? dekat sini juga kan. Ribet amat!" jawaban Oge membuat ibu naik pitam. 

"Orang-orang ngeyel kayak kamu ini yang bikin pandemic nggak mau pergi. Nyusahin Negara aja. Mana masuk rumah nggak pakai salam lagi, sana cuci tangan. Jangan bantah!"  bentak ibu. Melihat wajah ibu yang seram, membuat Oge kikuk. Lalu dengan jalan cepat ia pergi ke kamar mandi.

Sudah seminggu, Oge pulang dari tanah perantauan. Dia kuliah dengan sistem daring. Hal itu pula yang membuat ibuku ngoceh merdu ketika Oge memberi tahu mengenai pembayaran uang semester.

"Uang semester nggak ada potongan, Ge? ‘Kan nggak dapat fasilitas kampus, harusnya dapat keringanan dong." tanya ibu protes.

Oge pergi meninggalkan ibu yang tetap dengan kebingungan. Ia enggan untuk menjawab protes itu, karena dia juga tidak mengerti harus menjawab apa. Namun, suara samar-samar kudengar, Oge menggumamkan sesuatu sebelum hilang dibalik pintu kamarnya. “Dasar ibu-ibu tetap aja nggak mau rugi meskipun lima ratus perak.”

"Dosa lu, Ge, ngatain Ibu gitu." ujarku sambil tertawa kecil. 

"Apaan sih, Mbak." ucapnya setengah teriak diakhiri dengan debam suara pintu kamarnya. Sedangkan ibu celingukan, penasaran dengan percakapanku dengan Oge. 

"Ada apa, kok bawa ibu segala?" Aku menggeleng disertai senyum kecil.

Makin hari, penjualan gado-gado online ibu makin laris. Ucap syukur tak pernah putus terucap dalam setiap bungkus gado-gado yang diantar ke pelanggan. Kini giliranku yang mencoba peruntungan lewat lapak yang kubuka di beberapa ecomers. Aku menjual masker kain yang belum buming saat itu. Aku membantu Mbak Ike menjual masker kain buatannya. Mbak Ike adalah seorang make up pengantin yang sekarang sedang sepi job. Hal itu membuatnya putar otak mencari penghasilan. Kemudian, akhirnya Mbak Ike membuat masker kain dengan modal keahliannya yang dulu pernah melakukan kursus menjahit. 

Penjualanku laris manis. Kebanyakan masyarakat beralih memilih masker kain, dikarenakan penjualan masker yang umum dikenakan oleh tenaga medis itu, mengalami kelonjakan harganya kian hari kian membumbung tinggi seiring peraturan pemerintah yang mewajibkan penggunaan masker. 

Aku merasa semakin nyaman berbisnis online. Tak kusangka, aku bisa buka bisnis yang kuurus sendiri tanpa repot mengikuti jam masuk pabrik. Walau penghasilanku tak sebesar upah kerja buruh pabrik, tapi setidaknya aku tak capek mengejar target minimal produksi. Cukup duduk di rumah, buat kalimat promosi yang akan disebar dan upload pada media social. Aku hanya menunggu pembeli yang dating dengan sedirinya. Sungguh mengasikkan.

Begitulah kehidupanku dua tahun yang lalu. Kehidupanku berubah drastis. Kini kita masuk pada masa normal yang baru pasca pandemi. Aku meyakini, musibah datang bersama dengan hikmahnya. Pandemi datang membuat sebuah peradapan baru pada dunia.

Survival of the fittest and healthy life with eco environment.

*****

Di awal-awal pandemi, kita merasa keberatan untuk merubah kebiasaan lama. Yang malas bangun pagi, harus bangun pagi. Yang malas olahraga wajib melakukan olah tubuh demi menjaga imunitas. Yang tak suka makan sayur, harus dipaksa suka sayur untuk memenuhi kebutuhan vitamin dalam tubuh. Survival of the fittest, daya tahan tubuh kita harus kuat demi terhindar dari penularan virus berbahaya itu.

Udara menjadi makin bersih. Asap hitam yang biasa setiap pagi dan sore keluar dari cerobang tempat produksi pabrik telah berkurag, sebab ketidak seimbangan antara hasil produksi dan permintaan yang mengharuskan perusahaan mengurangi hasil produkainya. Ditambah, pembatasan sosial berskala besar yang mengharuskan masyarakat untuk membatasi pergerakan atau mobilitasnya di luar rumah. Jadi, volume asap kendaraan bermotor pun jauh berkurang. Hidup kita menjadi lebih sehat dan ramah lingkungan, healthy life with eco environment.

Kita jadi bisa melakukan hal-hal baru diluar zona nyaman, out of the box sepertiku. Berkah dari pemberhentian kontrak kerja, berjualan online alias berbisnis yang telah membawaku ketitik sukses. Berkah yang tak kalah baik yaitu kita bisa puas berkumpul bersama keluarga. 

Aku yakin, alam memiliki caranya sendiri untuk meremajakan kondisinya kembali. Mungkin, pandemi ini adalah salah satu caranya untuk memperbaiki kebobrokan bumi yang semakin hari semakin kotor akibat keserakahan manusia yang tidak tahu terima kasih karena telah diberi kehidupan dan diperbolehkan menumpang di atasnya.

Semoga dikehidupan normal yang baru ini, kita makin sadar akan teguran alam. Alam mengingatkan kita untuk kembali pada fitrah sebagai manusia, manusia yang cinta, juga menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan. 


-Selesai-



Bionarasi


Erica Agustina, seorang ibu rumah tangga lahir pada 24 Agustus 1994 di Sidoarjo, Jawa Timur. Hasil karya yang telah diterbitkan yaitu; antologi cerpen – La Storia Del Barista; antologi cerpen – Dreamer’s Challenge; antologi puisi – Cinta yang Akan datang.  Segala kritik dan saran dari rekan-rekan bisa disampaikan melalui akun wattpad @RLanduh_ atau surel erica.agustina55@gmail.com. Menjadi ibu rumah tangga tak menjadi batasan untuk tetap terbang meraih mimpi. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar