Bukan Sekedar Rumah Kuno
Oleh : Ilmi Kurnia Islamiyah
Suasana malam yang mencekam serta udara dingin yang menyelimuti perjalananku pulang tak sesekali sekujur tubuhku merinding dan menggigil kedinginan. Netraku melirik ke arah sekitar jalan yang kulewati, jalanan kali ini sangatlah sepi tidak ada satu orang pun yang berlalu lalang. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri, shit pantas saja jalanan sepi, sekarang sudah jam 23:15 WIB.
Aku merutuki diriku sendiri, kalau saja aku tidak melakukan kesalahan fatal ke dosen pembimbingku yang membuat aku harus terkena hukuman, pastinya saat ini aku sudah terlelap dalam dunia mimpiku. Namun, lagi-lagi kesialan menghampiriku, di tengah perjalananku pulang sepeda yang kutumpangi mogok yang mengharuskan untuk kubawa ke bengkel. Tidak ada jalan lain selain pulang dengan jalan kaki, sungguh hari ini sangat menguji kesabaranku.
Langkah kakiku semakin cepat, tak sesekali kepalaku menoleh ke arah belakang untuk memastikan tidak ada sesuatu yang mengganjal. Tanganku memegang erat tali tas yang ku selempangkan ke arah depan dada. Tidak jarang suara burung hantu menemani ritme perjalananku. Aku menundukan kepala ke bawah sambil meramalkan doa, berharap tidak terjadi apa-apa.
Sebentar lagi aku melewati sebuah rumah kuno di ujung pertigaan jalan Mawar. Rasanya aku ingin putar balik lewat kampung sebelah tetapi akalku menolak keras karena jika aku putar balik otomatis aku harus berjalan lebih jauh lagi untuk sampai di rumah. Hanya melewati jalan Mawar inilah salah satu alternatif untuk cepat sampai di rumah. Konon katanya, rumah kuno yang terletak di pertigaan jalan Mawar adalah peninggalan jaman penjajahan Belanda yang terbengkalai begitu saja.
Sreeettt
Deg!
Langkahku terhenti ketika mendengar suara aneh dari dalam rumah kuno tersebut. nafasku tersenggal-senggal tidak beraturan, jantungku semakin berdebar begitu cepat. Mataku menyipit melihat ke arah rumah kuno yang kini ada di depanku, rumah kuno tersebut terlihat tidak terurus halaman rumahnya di tumbuhi tumbuhan liar yang menjulang tinggi.
Sreeettt
Lagi, suara itu terdengar jelas di telingaku. Entah kenapa, niat ingin melanjutkan untuk pulang malah langkah kaki menyeretku untuk ke rumah kuno tersebut. Untungnya ada jalan kecil untuk ke rumah tersebut yang tidak membuatku menerobos tumbuhan liar itu.
Aku mencari celah agar bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Netraku melihat ke arah dalam rumah tersebut melalui celah jendela yang terbuat dari kayu jati. Cahaya yang redup menerangi ruangan di dalamnya, ruangan tersebut kosong tidak ada satu barang pun yang tergelatak begitu saja.
“Akhh, ku-mohon.”
Mataku melotot melihat adegan di sudut ruangan. Keringatku mulai bercucuran, dadaku kembang-kepis. Ini tidak mungkin tetapi ini sangat terlihat jelas. Aku melihat orang berpakaian serba hitam yang memunggungiku sedang melakukan pembunuhan kepada seorang wanita. Tak hanya itu, perut wanita tersebut ia robek-robek dengan pisau yang ada di tangannya. Parahnya lagi usus dan ginjalnya ia masukan ke dalam kantong plastik hitam.
Bau anyir dari darah yang keluar membuat gejolak di perutku, sebisa mungkin aku menahan rasa ingin mual. Aku menutupi hidung dan mulutku dengan telapak tanganku, mataku melihat ke arah tangan kirinya ia membawa sebuah paku, tetapi untuk apa?
Jleb
Aku meringis ngeri melihat apa yang ia lakukan. Ini sangat tidak manusiawi bahkan ia seperti binatang yang tidak beradab. Kelopak mata wanita itu ditusuk-tusuk dengan paku yang ada di tangannya, darah yang keluar muncrat begitu saja. Orang berpakaian hitam tersebut membungkuk kan tubuhnya, ia mencondongkan kepalanya ke arah wajah wanita yang sudah kehilangan nyawa tersebut.
Huekkk
Sungguh aku tidak tahan dengan bau anyir ini. Aku bernafas lega karena orang tersebut tidak mendengar suaraku. Memang sudah gila, batinku. Orang itu menjilati darah yang ada di tubuh wanita tersebut, tak hanya itu darah yang ada di ubin pun juga ia jilati.
Setelah puas menjilati darah ia melangkahkan kakinya ke arah pintu. Tanpa berpikir panjang aku segera meninggalkan rumah kuno tersebut. Sepanjang perjalanan pulang aku berlari sekencang-kencangnya, otakku berpikir keras semoga ini hanya bunga tidurku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar