Jumat, 21 Agustus 2020

Rumah, Bukan Tujuanku Kembali

Oleh : Nafa Shahamah I.N.

Gemericik suara air menggema di telinga. Harum bau tanah menenangkan pikiran. Meski rasa dingin menerpa, tidak ada alasan untuk membenci hujan. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh seorang gadis yang meringkuk di pinggir jalan.

Gadis mungil itu mencampakkan tubuhnya yang menggigil lesu, menghiraukan perut yang meronta, serta mentiadakan keberadaannya di dalam kuasa malam. Bibir pucatnya mengela napas. Ia tak mampu mengeluh. Sudah terlalu banyak rasa tak adil dalam hidupnya. Hingga akhirnya ia lupa cara menghitung angka.

Tiba-tiba, ada sepasang sepatu berada di depannya. Ia tertegun ketika hujan tak lagi menjatuhi tubuhnya. Kedua matanya menangkap sesosok laki-laki yang membawa payung. Ikut berjongkok di depannya sambil tersenyum.

"Halo. Siapa namamu?" sapa pria itu. Namun gadis itu memalingkan wajah. Menolak menjawab dan memilih terdiam. "Kau tidak kedinginan?" tanya pria itu lagi. "Rumahku tak jauh dari sini. Kau mau mampir? Setidaknya aku bisa memberimu cokelat panas."

Gadis itu menautkan alis. Ia tak menyukai orang yang sok kasihan padanya. Tapi, perutnya tergiur oleh minuman cokelat itu. Berselang beberapa detik, gadis itu mengangguk pelan.

Pria bersetelan jas hitam itu tersenyum kecil. Ia menggandeng tangan mungil si gadis dan berjalan berdampingan menuju rumahnya. Setelah sampai, pria itu meminta si gadis agar mandi dan mengganti bajunya. Ia tahu gadis itu tak nyaman menggunakan pakaian basah seperti itu.

"Seperti yang kujanjikan," kata si pria menyodorkan cangkir pada si gadis. Tanpa mengeluarkan suara, si gadis langsung menerima dan meminumnya perlahan. Cairan cokelat itu mengalir ke lehernya dan memberikan kehangatan. Ah, si gadis nyaris melupakan rasa hangat ini.

"Terima kasih, Paman," cicit si gadis sambil menunduk.

Mendengar suara kecil si gadis, membuat pria berkacamata itu tersenyum. "Namaku David Steven, kau boleh memanggilku apa saja. Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

Gadis itu berkedip perlahan. Menyakinkan dirinya untuk membuka suara. "Nafa."

"Nafa, ya? Nama yang bagus," puji David sebelum meminum cokelat panasnya. Ia menatap jendela yang masih menampilkan hujan deras di luar rumah. "Sepertinya hujan masih lebat. Di mana rumahmu? Akan kuantar dengan mobil," tawarnya.

"Rumah?" gumam Nafa yang nyaris tak terdengar oleh David. Mata kosongnya kini menatap David. "Paman, rumah itu apa?"

"Eh? Itu ...." David tertegun. Ia memutar kedua matanya mencari jawaban. "Rumah itu tempat tinggal."

Nafa memiringkan kepalanya. "Aku tinggal di jalanan. Apakah jalanan rumahku?"

"Mungkin iya? Mungkin juga tidak?" David menyengir dan menggigit bibirnya. Ia takut perkataannya akan menyinggung perasaan lugu gadis di depannya.

"Intinya, rumah itu adalah tempat di mana kau merasa senang untuk kembali. Walaupun kau pergi ke ujung dunia sekalipun, tempat terakhir yang akan kau kunjungi adalah rumah," jelas David ngelantur. Ia sendiri bahkan tak yakin dengan apa yang ia barusan bicarakan.

Nafa menunduk, menatap pantulan dirinya di minuman cokelat. "Jadi aku harus kembali ke tempat 'itu' ya?" gumamnya.

"Hmm? Kau mengatakan sesuatu?"

"Sebenarnya sebelum aku di jalanan aku mungkin memiliki tempat yang Paman sebut rumah," jelas Nafa.

"Benarkah?" Nafa mengangguk. "Kalau begitu kau bisa pulang. Di mana itu? Aku akan mengantarkanmu ke sana!" ujar David antusias. Ia berdiri dan mengajak gadis itu keluar. Meski hujan masih deras, tak membuat mobil itu berhenti.

"Kau pasti rindu dengan rumahmu, bukan?" tanya David tanpa melihat ke arah gadis yang kini duduk di sampingnya.

"Kurasa Paman sedikit salah." David melirik Nafa sambil terus berusaha fokus ke jalanan. "Tempat 'itu' terlalu dingin untuk disebut rumah. Kalau tidak, tidak mungkin aku berakhir di jalanan."

Mendengar hal itu, David sedikit ragu. Apakah memulangkan gadis ini adalah pilihan yang tepat? Tidak. Anak-anak memang seharusnya berada di rumah. Bukan di jalanan yang penuh bahaya. Ia meminggirkan mobilnya di tepi jalan. Ia harus menyakinkan gadis ini terlebih dahulu.

"Jadi, kau tidak mau pulang?" tanyanya. "Aku tak tahu apa yang sudah kau alami. Tapi apapun itu, meski rasanya kau ingin pergi. Rumah adalah tempat paling aman. Setidaknya itu lebih baik daripada jalanan."

"Tidak!" tolak Nafa sambil mencengkram bajunya. "Paman tak mengerti. Tempat 'itu' bukan rumah. Tempat 'itu' adalah neraka. Di dalamnya hanya ada iblis, bukan keluarga."

David memegang bahu mungilnya. "Meskipun begitu. Rumah adalah satu-satunya tempatmu kembali," ujarnya lembut. 

Tapi rasa lembut David tak mampu menggoyahkan Nafa. Justru, kilatan kebencian keluar dari matanya. "Daripada aku harus ke sana, lebih baik aku tak pernah kembali, saja!" pekiknya lalu keluar dari mobil itu. Menembus hujan yang kembali menerpanya.

"Tunggu, Nafa!" panggil pria itu ikut keluar dari mobil. Menyusul Nafa yang tengah berlari menuju gang kecil. Entah karena lari Nafa yang cepat atau apa, David kehilangan jejaknya. Merasa putus asa, ia kembali ke dalam mobil dan memutarnya menuju tempat yang ia sebut rumah.

"David, lagi-lagi kau terlalu ikut campur dengan urusan orang lain," gerutunya pada dirinya sendiri. 

Meskipun pikirannya menolak, setiap hari ia mencari keberadaan gadis mungil itu. Segala cara ia lakukan untuk menemukannya. Namun hasilnya selalu nihil. Gadis itu menghilang tanpa jejak. Seminggu sudah ia mencari. David mulai menyerah. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya mencari Nafa. Ia sudah terlalu banyak membuang waktunya.

Hari ini adalah Hari Sabtu. Akhir pekan untuk pekerja kantoran seperti David. Di bawah rintik hujan, ia kembali ke gang sempit itu. Mencari keberadaan Nafa untuk terakhir kalinya. Tak seperti hari sebelumnya, ia melangkah lesu memasuki jalanan yang tak pernah ia lalui sebelumnya.

Bruk.

Ah, cerobohnya dia. Karena tak semangat, ia nyaris menginjak seseorang yang terkapar di jalanan. Tunggu, apa orang ini mati?

"Hei, kau tak apa?" tanyanya pelan lalu membalik tubuh orang itu. Betapa terkejutnya David ketika wajah yang ia dapati adalah wajah seorang gadis yang selama ini David cari. Sontak ia membuang payungnya dan mengangkat Nafa ke pangkuannya. Tubuhnya lebih lemah dibandingkan saat pertama mereka berjumpa.

"Nafa, kau tak apa? Apa yang terjadi? Jawablah aku," ujar David getir. Inilah yang ia khawatirkan dari jalanan. Terlalu berbahaya untuk gadis mungil seumuran dengan Nafa.

"A ... da di ... saku," lirih Nafa sambil menunjuk ke arah saku celananya. David yang mengerti kode itu langsung merogoh dan mencari sesuatu di dalam sana. Ia menemukan sebuah botol. 

"Apa ini obat?" Hati David ragu.

Tapi tangan Nafa seolah ingin menggapai botol itu membuatnya yakin. Setelah membuka tutup botol, David membantu Nafa untuk meminumnya. "Ayo kita ke rumah sakit. Mereka pasti bisa menyembuhkanmu," ujar David saat Nafa selesai meminumnya.

"Tidak perlu, Paman," kata Nafa sedikit tersenyum. Sedikit membuat David lega, gadis itu baik-baik saja.

"Kalau begitu, kita akan ke rumahku. Aku tak bisa membiarkanmu tidur di tempat seperti ini." David menggendong Nafa dan berjalan pelan keluar dari gang.

"Rumah?" cicit Nafa.

"Iya rumahku. Kau masih ingat, bukan? Kita akan kembali ke sana."

"Jangan," tolak Nafa sambil mencengkram kemeja David. "Aku sudah memiliki tempat untuk kembali."

Mendengar hal itu, membuat David berbinar. "Kau mau pulang ke rumahmu?"

Nafa menggeleng. "Bukan. Tempat ini jauh lebih baik daripada rumah. Jauh lebih hangat, lebih nyaman, dan lebih menyenangkan."

"Itu pasti tempat yang indah, ya?" David tersenyum tulus. Pencariannya tak sia-sia. Kini Nafa memiliki tempat kembali. "Apa aku boleh mengunjunginya?"

"Tentu saja. Tanpa harus kuundang, Paman pasti akan ke sana. Tempat di mana semua manusia akan berakhir. Tempat di mana semua manusia akan kembali," jelas Nafa yang membuat langkah David terhenti.

"Tunggu, Nafa. Jangan bilang--" sepenggal kata David terpotong oleh senyuman Nafa.

"Akan kutunggu di sana. Selamat tinggal, Paman," kata Nafa tersenyum sebelum akhirnya ia menutup mata.

"Apa maksudmu, Nafa? Hei, Nafa?!" David mulai panik. Tangannya lalu bergerak menyentuh leher Nafa. Tubuhnya seolah ambruk ketika tak mendapati denyut jantung di sana. David menahan air matanya.

Gadis itu sudah pergi. Atau bisa dibilang ia kembali?

Tamat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar