Pulang
Rewrite : Putri Salju
Oleh : Nafa Shahamah I.N.
"Pagi, Jeng," sapa seorang wanita tua yang masih menawan. Wanita itu mendekat pada kerumunan ibu-ibu yang sedang membeli sayur di dekat rumahnya.
"Pagi," sahut semua ibu di sana.
"Pagi-pagi Jeng Isabel masih kelihatan cantik, ya? Nggak kayak saya yang pakai bedak harga sejuta saja mukanya masih kayak pantat panci," kata seorang wanita sambil memegangi kangkung.
"Bener tuh. Kalau kata anak muda sekarang, muka Jeng Isabel itu glowing," puji yang lainnya.
"Ah, bisa aja semuanya," tepis Isabella sambil tersenyum kecil.
Srak. Srak.
Suara ayunan sapu mengusik semua telinga. Membuat mereka menoleh menuju sumber suara. Terlihat seorang gadis muda berparas jelita tersenyum manis ke arah mereka. "Selamat pagi," sapanya sambil sedikit menunduk.
"Itu putrimu, Jeng?" Senggol salah satu wanita kepada Isabella. Pandangannya kembali menuju gadis yang kembali menyapu itu. "Cantik, ya? Kayak Jeng Isabel," pujinya.
"Lebih cantik, lah. Masih muda gitu," kekeh yang lainnya.
Deg. Isabella tersentak. Senyum yang ia ulas kini memudar.
"Iya. Cantik, baik, ramah, rajin, idamanlah pokoknya!" sahut yang lainnya.
Mata Isabella menatap putrinya dengan raut muka aneh. Tidak bisa dimaafkan, batinnya seakan ingin menenggelamkan gadis belia itu. Tapi, dengan cepat ia mengubah ekspresinya sebelum ada yang sadar.
Sepulang sekolah, gadis bernama Nafa itu berjalan ceria menuju rumahnya. Ia selalu menyapa ramah kepada orang yang melintas. Hari ini tinggal mencuci baju lalu menyiapkan makan malam, batinnya sambil mengingat-ingat.
"Aku pula--"
Prang!
Suara Nafa tercekat saat mendengar keributan di dalam rumahnya. Tangannya terhenti saat akan menggapai gagang pintu.
"Apa sih yang kau pikirkan?!" bentak Isabella dari dalam. "Hidup kita udah susah. Malah sok-sok mungut anak. Emangnya kau pikir uang tinggal ambil di pinggir jalan, apa?"
"Sayang, tenanglah." Suara seorang lelaki yang mencoba meredakan amarah istrinya.
"Cukup, Eric!" teriak Isabella lagi. "Lagipula, kau memungutnya karena parasnya lebih cantik daripada aku, bukan?"
"Apa yang kau katakan? Dia itu sebatang kara setelah ditinggal oleh ibunya, adikku."
"Halah! Adik dan anak sama saja. Sok-sok baik tapi ujung-ujungnya cuma bisa menyusahkan! Aku capek. Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus mengusir Nafa dari rumah ini. Atau aku yang pergi!" ancam Isabella.
"Paman," panggil Nafa akhirnya memberanikan diri membuka pintu. "Aku nggak apa-apa kok kalau harus kembali ke panti."
"Nggak!" pekik beberapa anak kecil yang berhamburan memeluk Nafa. "Kak Nafa jangan pergi. Di sini saja bersama kami. Jangan tinggalkan kami," kata mereka sambil menangis.
Nafa mengelus salah satu kepala mereka sembari tersenyum. "Kalian nggak boleh egois. Kita masih bisa ketemu kok."
"Dasar sok suci," sindir Isabella lalu membanting pintu kamarnya.
"Nafa, maaf," kata Eric dengan raut muka penuh penyesalan. "Hanya untuk hari ini, kau menginap di rumah Almeer, ya? Hanya sampai amarah Tantemu reda," tambahnya menyebut nama teman sekaligus tetangga sebelahnya.
Nafa mengangguk kecil. Ia kembali menatap anak-anak di depannya. "Raka, Raku, Riko, Riku, Rika, Rike, dan Riki. Kalian jangan menangis, Kakak hanya pergi sebentar kok," ujarnya sambil menyebut masing-masing nama ketujuh anak kembar itu.
"Tapi, Kakak berjanji kembali besok, ya!" kata Rika sambil mengusap ingusnya.
"Besok harus kembali!" imbuh Riko dengan tegas lalu mengacungkan jari kelingkingnya.
Nafa menautkan jari kelingkingnya dan kembali tersenyum. "Iya, Kakak janji."
"Ayo, Paman antar," ujar Eric sambil membukakan pintu.
"Tidak perlu, Paman," tolak Nafa. "Hanya ke rumah Almeer, tak jauh dari sini. Lagipula, nanti Tante bisa marah-marah lagi."
Setelah usai berpamitan, Nafa melangkah keluar pekarangan rumahnya. Namun, langkahnya tak langsung menuju rumah berlantai dua milik tetangganya itu. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitarnya sambil menghirup udara. Sampai tak terasa, langkahnya menuju jalan yang tak ia ketahui.
Loh? Di mana aku? tanyanya pada dirinya sendiri. Nafa menoleh ke samping kanan dan kiri mencari petunjuk. Sialnya, tidak ada orang di sekitar sana. Padahal langit kini sudah semakin gelap.
Rasa takut menyelimuti tubuhnya. Kepalanya menggeleng, menghalau rasa itu lalu mencoba untuk mencari jalan. Nafa berlari dan terus berlari. Hingga ia kehabisan napas dan tenaga. Ia lupa bila ia tak makan sejak siang hari tadi. Membuat perutnya berbunyi meminta diisi.
Ini tak bisa dimakan, batinnya ketika mencari makan di tempat sampah. Ia tak memiliki pilihan lain. Kota yang ia lewati seperti kota kosong. Tidak ada orang, bahkan semua bangunan terbengkalai. Tangannya terus mengais tempat sampah itu. Mungkin ia bisa menemukan makanan yang layak.
Akhirnya Nafa menyerah, lalu ia menyandarkan tubuhnya di tembok tak jauh dari tempat sampah tadi. Pandangannya lalu menunduk, ia tak sengaja menemukan sebuah apel yang menggelinding di dekatnya.
Nafa mengangkat apel merah yang sudah hampir busuk itu. Sedikit keraguan muncul. Namun, ia mengangkat bahunya tak peduli. Ia sedikit memasukkan apel itu ke dalam mulut, merasakan dengan lidahnya. Lumayan, batinnya lalu menghabiskan apelnya dan hanya menyisakan beberapa biji hitamnya.
"Agh!" Tak lama, ia merasakan rasa sakit di kepala yang luar biasa. Ia memejamkan mata ketika rasa sakit itu semakin besar. Berada di ambang batas, kesadarannya berangsur menghilang.
"Nafa!"
"Kak Nafa, bangunlah."
Suara seseorang memanggil namanya. Mengusik telinga Nafa dan memaksanya untuk membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah sosok lelaki muda dan tampan menatapnya khawatir. Terpancar perasaan lega di matanya ketika melihat Nafa membuka mata.
"Almeer?" tanya Nafa memastikan lelaki di depannya.
"Kau ini darimana saja? Paman bilang kau akan ke rumah. Tapi sampai malam kau tak kunjung datang dan malah terkapar di sini."
Salah satu dari mereka berucap, "Kak Nafa. Kau baik-baik saja?" Kini pandangan Nafa melihat ke tujuh adiknya itu. Masing-masing dari mereka menangis sambil mengelilinginya.
"Huhu. Seharusnya kita menemukanmu lebih cepat," ujar Riki dengan nada menyesal.
Nafa mengelus kepala Riki dan memeluknya. "Bukan, ini salahku," ujar Nafa lalu memeluk ke tujuh adik mungilnya.
"Sudahlah, kalian lanjutkan menangisnya di rumah. Sekarang, ayo kita pulang," ajak Almeer mengulurkan tangan kepada Nafa.
"Iya." Nafa menyambut tangan itu seraya tersenyum. "Tapi aneh, kurasa tadi aku keracunan. Kenapa aku bisa bangun begitu saja?"
"Mungkin karena tadi Kak Almeer mencium--"
"Aaa!" teriak Almeer dengan cepat membungkam mulut Raka. Rona merah kini muncul di wajahnya. Melihat hal itu, membuat ke tujuh bocah itu tersenyum miring.
"Benar. Kak Almeer yang datang bagaikan pangeran di negeri dongeng," ujar Riki mengawali permainan dengan memgangkat tangannya ke atas.
"Menyelamatkan sang putri yang sedang tertidur," tambah Raku sambil menunjuk ke arah Nafa.
"Dengan keajaiban cinta," ujar Riko mengakhiri drama mereka.
Nafa yang masih belum mengerti nampak memiringkan kepala. "Keajaiban cinta?" tanyanya menoleh pada Almeer yang sudah semerah tomat.
"Bukan apa-apa!" teriaknya sambil mengalihkan pandangan. Pada akhirnya, di sepanjang perjalanan Almeer terus diejek oleh ke tujuh bocah itu.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar