Senin, 31 Agustus 2020

Pengeran Untuk Clara

Reim 


Suara burung berkicauan yang terdengar, sepertinya memberi tanda bahwa hari ini akan cerah. Namun, akan tetap muram seperti hari-hari sebelumnya bagi Clara. Setahun belakangan ini, Clara selalu saja bangun terlalu subuh bahkan mengalahkan ayam jago yang selalu berkokok. Jam dinding menunjukkan pukul empat dini hari, saat Clara sibuk berkutat dengan bahan makanan di dapur. Seperti inilah kehidupannya sehari-hari, jika sang ayah tidak di rumah. Ia akan selalu bangun terlalu pagi untuk melayani Tesa ibu tirinya dan Teresia saudari tirinya. 

Kehidupan Clara yang tiga tahun silam bak putri raja sirna dalam sekejap saat ayahnya menikahi Tesa, sang ibu tiri yang sangat kejam. Bisa saja Clara mengadu akan perbuatan kejam yang ibu dan saudari tirinya lakukan terhadapnya, tetapi percuma. Ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Seluruh masakan telah selesai dan telah siap dihidangkan di meja makan. Sesegera mungkin Clara menuju kamarnya dan bersiap mandi.

“Clara...!!! Seragam gue mana?” teriak Teresia.

Clara yang mendengar teriakan itu saat sedang asik menggosok badannya dengan sabun mandi, hanya bisa menggerutu kesal. 

“Apa gak punya mata dan tangan tuh anak, cari sendiri kek,” setelah menggerutu sendiri dengan cekatan Clara menyiram seluruh badannya dan menyelesaikan prosesi mandi paginya.

Ingin rasanya Clara mengatakan kepada Teresia untuk melakukan sendiri segala kegiatan dan kebutuhannya, tetapi hal itu tak kunjung ia lakukan karena tak ingin memperpanjang urusan dengan saudari tirinya.

Saat membuka pintu kamar mandi, hal yang pertama Clara lihat adalah Teresia yang sedang mengobrak-abrik segala isi lemari baju Clara. “Lo cari apa?” tanya Clara. Ia kesal melihat isi lemarinya sudah tidak tertata rapi lagi seperti biasanya. Tapi lagi-lagi rasa kesal itu hanya bisa ia pendam, tunggu saja jika kekesalan itu sudah menumpuk maka tak ada lagi maaf untuk Teresia. Sekarang hari keberuntungannya, karena kesabaran Clara belum mencapai batas. Diam-diam dia mengamati apa yang dilakukan Teresia sambil memakai seragam. 

“Seragam gue lah, dari tadi gue teriak-teriak lo kagak nyaut. Budek,” ucap Teresia. 

“Percuma lo nyari di sini. Seragam, seragam lo. Jadi pasti ada di lemari lo,” ujar Clara cuek. 

Kini ia telah selesai menggunakan seragam lengkap dan sudah menggendong ransel miliknya. Tanpa menunggu respon dari Teresia, Clara keluar dari kamarnya meninggalkan Teresia yang berteriak menyuruh Clara mencarikan seragam miliknya.

Clara mungkin dianggap upik abu oleh ibu dan saudari tirinya, tetapi jangan berpikir dia sama dengan sosok Cinderella yang ada di cerita dongeng. Clara tidak sebodoh itu untuk tidak bisa melawan sama sekali, ia hanya tidak ingin memusingkan kepalanya dengan ocehan-ocehan tidak jelas dari mereka. Sejak kecil Clara telah diajarkan oleh Pelita, ibu kandung Clara untuk hidup mandiri. Sejak umur sepuluh tahun ia sudah terbiasa membantu ibunya memasak di dapur, jadi tak masalah bagi Clara jika ia melakukan semua pekerjaan rumah. Toh tempat yang sekarang ia tinggali adalah rumahnya sendiri.

 Kini Clara sedang berdiri di simpang jalan dekat rumahnya, menoleh ke kanan dan kiri seperti sedang mencari seseorang. Setelah kurang lebih limabelas menit Clara berdiri, mobil sport mewah lewat di hadapannya kemudian berhenti. Ini dia yang sedari tadi Clara tunggu, ia tersenyum lalu berlari mendekati mobil itu dan segera masuk ke dalamnya.

“Lo lama banget sih, udah setengah jam gue nungguin,” ucap Clara saat ia baru saja duduk di kursi sebelah pengemudi “Ngebut, kalo telat ntar gue gak bisa ngintipin Pangeran di kelasnya,” lanjutnya.

Bella sahabatnya Clara yang menjemputnya hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan Clara. Ia tahu, sudah sejak lama Clara menaruh hati pada Pangeran, salah satu lelaki populer di sekolahya. Tetapi, Bella merasa kasian kepada Clara yang selalu saja tidak bisa mendekati Pangeran secara terang-terangan karena Teresia juga menyukai pangeran dan sedang gencarnya mendekati karena status Pangeran yang belum seminggu ini kembali menyandang status jomblo. 

Sepasang saudari tiri ini mencintai dua orang yang sama, ucap Bella dalam hati. 

“Lo gak mau ngasih kode gitu sama Pangeran, Clar?” ucap Bella, menyuarakan pertanya-pertanyaan yang sedari lama ingin sekali ia tanyakan pada Clara.

“Ya maulah, tapi kan lo tau sendiri. Si Teresia juga suka Pangeran dan gue harus bersaing sama saudari tiri gue sendiri, udah males aja rasanya,” jawab Clara.

“Ya apa salahnya, bersaing secara sehat. Gue denger si Pangeran sabtu ini  ngadain party, kenapa lo gak coba ikut?” Bella sengaja berkata seperti itu agar Clara terpancing dan mau mendekati Pangeran.

Clara tahu kabar itu, seluruh sekolah sudah mengetahuinya jadi mustahil baginya tidak sedikitipun tau kabar terbaru tentang Pangeran. Clara juga ingin menghadiri party itu, tetapi selalu saja tidak bisa. Setiap ia meminta izin untuk menghadiri acara sekolah ataupun acara teman-temannya yang lain, Tesa selalu saja menghalangi dengan menyuruh Clara melakukan tugas-tugas yang jika diselesaikan membutuhkan waktu lama. Alhasil, saat semua kerjaan itu selesai Clara kerjakan telah masuk tengah malam dan pastinya acara itu sudah bubar.

“Huh...gue pengen, pengen banget ikut. Tapi lo tau kan gimana tante Tesa, baru mau izin aja udah dikasih kerjaan banyak banget,” Clara mengeluarkan segala keluhannya. Dia kesal, sangat kesal. Tetapi ia masih tidak punya terlalu besar kekuatan untuk melawan ibu tirinya itu. Clara terdiam sambil memikirkan dan berandai-andai hal yang terjadi jika ia datang ke party yang diadakan Pangeran.

“Gue ada ide!” teriak Bella dan hal itu sukses mengejutkan Clara yang sedang terbang di dalam imanjinasinya.

“Astagfirullah, nyebut Bel. Gila lo ya, gue lagi ngebayangin sedang berduaan sama Pangeran juga malah lu kagetin,” ucap Clara dengan kekesalan yang sudah naik beberapa tingkat, “ide apaan?” lanjutnya, karena Bella belum juga mengatakan ide yang tadi ia katakan.

“Ngapain lu berduaan aja sama Pangeran di khayalan lu?” tanya Bella sengaja meledek Clara.

 “Gini, jadi pas malam party gue bantuin lo deh. Gue bakalan ngirim tiket liburan gratis ke luar kota buat tante Tesa dan bayar orang buat ikutin kemana tante Tesa pergi, jadi kita bisa tau info kalo dia mau pulang atau masih liburan. Masalah tugas-tugas gak masuk akal yang dikasih tante Tesa, gue bisa bayar orang buat kerjain itu semua.” Bella sengaja menjeda perkataannya untuk mengambil nafas sejenak, “nah...! udah kelar semua, lu tinggal dandan cantik dan pergi ke party-nya Pangeran, beres!” ucap Bella mengakhiri rencananya dengan tepukan tangan bangga.

Clara mengangguk-anggukan kepala tanda setuju dengan apa yang Bella katakan. Tapi ada satu masalah, Clara tidak memiliki baju yang bagus untuk pesta meskipun ia adalah salah satu anak berada di sini.

“Lo gak lupa kan, fasilitas gue semuanya ditahan sama tente Tesa. Mobil dan blackcard yang dikasih bokap ada di tangannya tante Tesa,” semua keluhan yang sedari tadi dipikirkannya ia suarakan juga. 

“Kalo masalah itu gampang. Lo lupa gue siapa?” tukas Bella

“Tapi...” Clara menggigit bibir bawahnya memikirkan hal lain yang mungkin akan menjadi penghalang dia akan menghadiri party Pangeran. 

“Ya udah deh, yang penting ketemu Pangeran,”

“Nah gitu, nanti sepulang sekolah kita langsung beli gaun buat lo dan gue pakai ke party,” ujar Bela. 

***

Jam tujuh malam. Sesuai janji, Bella telah menunggu Clara di depan rumahnya. Clara sengaja menunggu Teresia pergi ke party Pangeran terlebih dahulu agar Teresia tidak tau jika Clara juga datang ke party Pangeran. Sejauh ini rencana Bella masih berjalan dengan baik karena 3 hari yang lalu Tesa telah pergi liburan sambil mendatangi suaminya yang kerja di luar kota. Berdoa saja jika rencana mereka lancar sampai akhir.

“Clar, buruan masuk!”

Clara masuk ke dalam mobil Bella. Ia menyapa dengan senyuman.

“Udah siap?” tanya Bella basa-basi.

Clara mengangguk. Mata Bella meneliti penampilan Clara dari atas sampai bawah. Setelahnya dia berdecak kagum dengan panampilan Clara malam ini. Gaun limabelas senti di atas lutut berwarna biru muda yang ia gunakan terlihat sangat cantik sekali jika disandingkan dengan make up natural dan rambut curly miliknya. Setelahnya, Bella mengeluarkan sebuah kotak kecil yang ada di dalam dashbord mobilnya. Lalu mengemudi menuju lokasi party Pangeran. 

“Nih pake!” ujar Bella sambil memberikan kotak itu kepada Clara.

“Makasih,” 

Seketika Clara menganga melihat betapa cantiknya pemberian Bella. Di dalam kotak itu terdapat sepasang anting berbentuk mahkota yang dihiasi beberapa berlian. Tanpa ragu Clara langsung mengganti anting yang tadi ia pakai dengan anting yang baru saja diberikan Bella untuknya.

“Gimana?” Clara memperlihatkan anting mahkota yang telah menghiasi telinganya kepada Bella, “gue udah cantikkan?”

Bella mengangguk setelah meneliti dan merasa cukup puas dengan penampilan sahabatnya.

“Perfact!” puji Bella.

“Lo tau kenapa gue kasih anting mahkota?” Bella sebentar melihat ke arah Clara kemudian kembali fokus mengemudi. “Karena malam ini lo princess-nya Pangeran dan princess butuh mahkotanya.” Setelah berkata seperti itu mobil yang mereka tumpangi telah sampai ke lokasi yang dituju. 

“Jangan lupa pakai topengnya, ini pesta topeng,” ucap Bella mengingatkan Clara agar menggunakan topeng yang sedari tadi ia pegang. Setelahnya mereka keluar dari mobil dan bersiap untuk menikmati party malam ini.

*** 

Suara dentuman musik memenuhi segala sudut ruang. Semua tamu sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang berjoget ria, berkumpul dengan teman-teman dan sebagian duduk di meja bartender menyesap minum yang rata-rata mengandung alkohol. Clara adalah salah satu orang yang hanya duduk dan berkumpul bersama teman-temannya, sambil sesekali melirik ke arah remaja yang sedang duduk di meja bartender menyesap cairan merah keunguan di dalam gelasnya.

Remaja itu Pangeran. Meskipun menggunakan topeng, Clara tetap mengenali bentuk tubuh lelaki itu. Ia yakin lelaki yang sedari tadi ia perhatikan adalah Pangeran. Setelah cukup lama memperhatikan dari jauh akhirnya Clara memberanikan diri mendekati Pangeran.

“Hai,” ujar Clara.

Lelaki yang ia sapa bergeming, sedikit melihat ke arah Clara lalu kembali fokus terhadap minuman yang ada di depannya. Clara kemudian duduk di samping lelaki itu memperhatikan wajah Pangeran yang tertutup topeng. Matanya terlihat sangat sayu.

Pangeran mabuk, tukas Clara dalam hati.

“Violet...” racau Pangeran.

Clara tertegun mendengar nama yang digumamkan Pangeran. Violet, gadis yang baru-baru ini putus dengan Pangeran. Mereka sudah putus, tetapi Pangeran terlihat masih sangat mencintai gadis itu, sampai-sampai nama itu masih tersebut dalam keadaan mabuk. Hati Clara tentu saja sakit mendengar racauan Pangeran, tetapi untuk kali ini saja tak ada salahnya jika ia menahan. Toh sudah biasa ia diperlakukan buruk oleh Tesa dan Teresia.

“Kenapa?” tanya Clara kepada Pangeran.

Katanya orang mabuk akan berkata jujur, jadi sekali-sekali Clara ingin mendengar perkataan jujur dari Pangeran. Mungkin akan semakin menyakitinya.

“Lo siapa?” tanya Pangeran saat ia sadar seseorang yang ada di sampingnya bukanlah nama yang ia sebut tadi.

“Kamu mau cerita?” tanya Clara lagi sengaja menghiraukan pertanyaan Pangeran.

Setelah pertanyaan itu mengalirlah cerita dari bibir Pangeran. Ia bercerita tentang Violet yang telah membohonginya dan mengaku-ngaku sebagai penganggum rahasia yang selama ini mengirimkan barang atau surat kepada Pangeran. Clara tertegun mendengar akhir cerita itu, ia tak tau ingin merespon apa. Pangeran mencintai penganggum rahasia yang selama ini mengirimkan berbagai benda dan surat, karena itu pula Pangeran berpacaran dengan Violet. Selama ini Pangeran salah mengira. Padahal pengagum rahasia itu sekarang sedang duduk di sampingnya. Iya, pengagum rahasia yang dicari-cari Pangeran adalah Clara.

“Orang yang kamu cari selama ini adalah aku,” ucap Clara.

    Perkataan Clara barusan sukses membuat mata Pangeran berkaca-kaca. Pancaran cahaya yang keluar dari bola mata indah itu berlinang seolah terharu karena hal yang selama ini ia cari justru datang dengan sendirinya ke hadapannya. Tetapi, Pangeran tidak akan semudah itu percaya. Karena sebelumnya Violet juga mengaku sebagai orang yang ia cari. Tanpa aba-aba Pangeran menarik kasar tangan Clara dan mendekatkan wajah mereka. Hal yang dilakukan Pangeran itu sontak membuat debaran dada Clara meningkat dua kali lipat.

    “Kalo gitu, buktikan!” bisik Pangeran ditelinga Clara. 

    Clara berusaha menormalkan kembali debaran jantungnya yang begitu cepat. Lalu perlahan memperjauh jarak wajah mereka. Pangeran butuh bukti, jadi ia akan memperlihatkan bukti yang Pangeran minta. Clara segera merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya. Namun, belum sempat memberikan bukti-bukti yang ia punya ponsel yang ia genggam berdering.

Bella calling...

    “lo dimana?” tanya Bella

    Clara berusaha menajamkan pendengarannya, di sini sangat berisik berbanding terbalik dengan tempat dimana Bella berada. Eh tunggu dulu, bukannya Bella juga ada di sini. Kok bisa tenang banget? Clara kebingungan tetapi hal itu tak perlu ia tanyakan. Bisa saja Bella sedang di luar mencari udara segar lalu merindukan Clara dan menelfonnya.

    “Di bar, lagi sama Pangeran gue!” teriak Clara.

“Kenapa?” tanya Clara lagi.

Terdengar Bella menghela napas di seberang sana. “Tante Tesa...dia udah di perjalan dari bandara ke rumah lo.”

“Hah? Serius lo? Kok bisa? Mati gue, diomelin mak lampir lagi deh.”

“Makanya buruan keluar kalo lo masih mau hidup!” ancam Bella, kemudian mematikan sambungan telfon. 

“Mampus!” maki Clara kepada dirinya sendiri.

Pangeran yang sedari tadi melihat pergerakan Clara bertanya “Kenapa? Gak bisa ngasih bukti?”

“Bukan gitu, sekarang aku lagi buru-buru, jadi besok di sekolah aku liatin semua bukti yang aku punya ke kamu. Bye Pangeran,” 

Setelah kepergian Clara musik di ruangan itu mati dan terdengar suara MC yang memberitahukan bahwa telah terjadi pergantian hari. Sekarang tepat pukul 12 malam. Pangeran masih terjebak rasa bingung antara mempercayai gadis itu atau tidak saat matanya tak sengaja melihat sebuah anting berbentuk mahkota yang berkilauan ada di dekat kakinya. 

*** 

“Pinjam HP lo Clar,”

Kini Clara sedang duduk berdua di kelas bersama Bella, sahabatnya yang paling setia. Sudah seminggu semenjak Clara menghadiri party yang diadakan oleh Pangeran dan sudah semingu ini pula ia berhenti meletakkan surat atau barang kedalam loker milik Pangeran. Rasanya ingin sekali Clara menemui Pangeran dan memberikan segala bukti yang ia punya tetapi, semua itu tak bisa ia lakukan. Seminggu ini pergerakannya di sekolah selalu diawasi oleh Teresia. 

Soal kejadian setelah malam pesta itu. Tesa sampai di rumah lebih dulu dibanding Clara. Hal itu justru membuat Tesa marah besar dan Clara diomeli habis-habisan. Tak hanya diomeli, bagian kakinya memar semua. Tesa mencambuk kaki Clara dengan ikat pinggang milik ayahnya dengan kencang dan berkali-kali. Bukannya saat itu Clara tak bisa melawan, tetapi Teresia membantu Tesa dengan memeganginya. Rasa sakit karena cambukkan itu masih terasa sampai sekarang. Padahal kejadian itu sudah seminggu berlalu.

Seteah semua siksaan yang ia terima, lagi-lagi Clara harus menelan pil pahit karena dilarang untuk mendekati Pangeran. Teresia yang malam itu juga menghadiri pesta, melihat Clara yang mendekati Pangeran dan duduk berdua di meja bartender. Teresia cemburu sekaligus iri dengan Clara, jadi dia mengancam Clara. Jika Clara masih saja mendekati Pangeran maka Teresia akan membujuk Tesa untuk memindahkan Clara ke sekolah lain agar Clara tidak bisa lagi mendekati Pangeran. Hal itu mengakibatkan Clara memilih cara aman dengan tidak mendekati Pangeran. Setidaknya ia masih bisa melihat Pangeran dari jauh.

“Lo lagi ngapain sih, Bell?’ tanya Clara.

Bella yang sedari tadi bermain dengan ponsel pintar miliknya melihat kearah Clara sebentar lalu melihatkan ponsel miliknya. Memperlihatkan isi dm instagram-nya bersama Pangeran.

Clara tertegun membaca pesan antara Bella dan Pangeran “Kenapa lo kasih tau nama gue?” tanya Clara bingung. Bella padahal tau hal apa yang akan terjadi jika Clara bertemu dengan Pangeran. Clara tidak ingin pindah sekolah.

“Dia nanyain anting mahkota lo yang tadi gue post di ig punya siapa, ya gue jawab punya lo lah,” jawab Bella cuek. 

“Emang salahnya dimana, kan gue gak bilang kalo seorang Clara Princessza adalah pengaggum rahasianya dia,” sambungnya.

“Awas aja, kalo sampe gue dipaksa pindah sekolah gara-gara lo,” tukas Clara kesal.

Terdengar suara gaduh dari luar karena ini adalah jam istirahat. Tetapi yang membingungkan mereka berdua adalah suara gaduh itu semakin terdengar jelas menuju kelas mereka. 

“Ini kelasnya Clara Princessza?” 

“Mati gue,” ucap Clara ketika mendengar suara seseorang yang bertanya tentang dirinya itu. Suara milik Pangeran. Seseorang yang seminggu ini sengaja ia hindari.

“Ini orangnya!” teriak Bella

Bukannya Bella ingin Clara pindah sekolah dan meninggalkannya sendiri. Tetapi, menurut Bella temannya pantas bahagia bersama Pangeran yang dicintainya. Karena itulah tadi ia meminjam ponsel milik Clara dan mengirimkan bukti-bukti kepada Pangeran jika Clara adalah penganggum rahasianya yang sebenarnya. 

Pangeran melangkah ke kursi di mana Bella dan Clara duduk. Setelah sampai di hadapan mereka berdua, Bella pamit ke toilet. Meninggalkan Pangeran dan Clara di dalam kelas berdua menyelesaikan permasalahan hati antara mereka berdua. Bella menutup pintu kelas dan berjaga di depan kelas agar tak ada seorang pun yang mengganggu mereka.

“Ini punya lo kan?” tanya Pangeran sambil memperlihatkan anting mahkota yang sedang ia genggam kepada Clara.

Clara mengangguk. Mendadak kehilangan kata-kata. Ia ingin menyangkal, tetapi benda itu adalah benda pemberian sahabatnya dan itu sangat berharga bagi Clara. Clara kemudian memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya dan mengambil sebuah anting yang merupakan pasangan dari anting yang kini berada di genggaman Pangeran. Pangeran mengambil anting yang ada di tangan Clara lalu tiba-tiba mendekat. Kini jarak wajah mereka hanya sejengkal.

“Diam dulu, biar gue pasangin,” ujar Pangeran. Lalu memakaikan sepasang anting itu ke telinga Clara.

“Lo juga kan yang selama ini jadi pengagum rahasia gue?” masih dengan posisi yang sama tetapi kini Pangeran berbisik tepat di telinga Clara.

Clara mematung. Tak tau harus bersikap seperti apa. Jantungnya berdetak sangat cepat, mungkin sebentar lagi jika Pangeran tidak segera menjauh ia akan pingsan karen serangan jantung. 

“Lo tau, selama ini gue nyariin lo. Gue gak tau siapa yang ngirimin surat-surat dan benda itu tapi, bisa-bisanya gue jatuh cinta,” 

Pangeran menjauhkan wajahnya dari wajah Clara. Hal itu dijadikan Clara kesempatan untuk menghirup napas sebanyak-banyaknya. Untuk jaga-jaga jika nanti Pangeran akan kembali seperti tadi. Bisa mati muda Clara jika seperti ini terus.

“Ja-jadi, Ma—mau kamu apa?” tanya Clara gugup dengan suara bergetar.

“Lo mau kan jadi Cinderellanya gue?” 

Clara berdeham sebentar, mencoba mengontrol diri. Bukan saatnya dia diam saja. Tarik napas...buang... ujar Clara dalam hati.

“Aku bukan Cinderella. Aku Clara,” tukas Clara setelah berhasil mengontrol dirinya.

Suara tawa renyah keluar dari bibir Pangeran. Ia tertawa melihat tingakah lucu gadis itu. ingin sekali mencubit pipi yang kini sedang bersemu merah itu. 

“Hahaha...ok, ok. Clara. Lo mau jadi pacar gue?”

Clara mengangguk.

“Jadi sekarang, Pangeran untuk Clara?”

Pangeran tersenyum. “Ya.” 


THE END


Tempat bernama “Khayalan” 

Dini hari, 29 Agustus 2020

Pulang

Rewrite : Putri Salju

Oleh : Nafa Shahamah I.N.


"Pagi, Jeng," sapa seorang wanita tua yang masih menawan. Wanita itu mendekat pada kerumunan ibu-ibu yang sedang membeli sayur di dekat rumahnya.

"Pagi," sahut semua ibu di sana.

"Pagi-pagi Jeng Isabel masih kelihatan cantik, ya? Nggak kayak saya yang pakai bedak harga sejuta saja mukanya masih kayak pantat panci," kata seorang wanita sambil memegangi kangkung.

"Bener tuh. Kalau kata anak muda sekarang, muka Jeng Isabel itu glowing," puji yang lainnya.

"Ah, bisa aja semuanya," tepis Isabella sambil tersenyum kecil.

Srak. Srak.

Suara ayunan sapu mengusik semua telinga. Membuat mereka menoleh menuju sumber suara. Terlihat seorang gadis muda berparas jelita tersenyum manis ke arah mereka. "Selamat pagi," sapanya sambil sedikit menunduk.

"Itu putrimu, Jeng?" Senggol salah satu wanita kepada Isabella. Pandangannya kembali menuju gadis yang kembali menyapu itu. "Cantik, ya? Kayak Jeng Isabel," pujinya.

"Lebih cantik, lah. Masih muda gitu," kekeh yang lainnya.

Deg. Isabella tersentak. Senyum yang ia ulas kini memudar.

"Iya. Cantik, baik, ramah, rajin, idamanlah pokoknya!" sahut yang lainnya.

Mata Isabella menatap putrinya dengan raut muka aneh. Tidak bisa dimaafkan, batinnya seakan ingin menenggelamkan gadis belia itu. Tapi, dengan cepat ia mengubah ekspresinya sebelum ada yang sadar.

Sepulang sekolah, gadis bernama Nafa itu berjalan ceria menuju rumahnya. Ia selalu menyapa ramah kepada orang yang melintas. Hari ini tinggal mencuci baju lalu menyiapkan makan malam, batinnya sambil mengingat-ingat.

"Aku pula--"

Prang!

Suara Nafa tercekat saat mendengar keributan di dalam rumahnya. Tangannya terhenti saat akan menggapai gagang pintu.

"Apa sih yang kau pikirkan?!" bentak Isabella dari dalam. "Hidup kita udah susah. Malah sok-sok mungut anak. Emangnya kau pikir uang tinggal ambil di pinggir jalan, apa?"

"Sayang, tenanglah." Suara seorang lelaki yang mencoba meredakan amarah istrinya.

"Cukup, Eric!" teriak Isabella lagi. "Lagipula, kau memungutnya karena parasnya lebih cantik daripada aku, bukan?"

"Apa yang kau katakan? Dia itu sebatang kara setelah ditinggal oleh ibunya, adikku."

"Halah! Adik dan anak sama saja. Sok-sok baik tapi ujung-ujungnya cuma bisa menyusahkan! Aku capek. Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus mengusir Nafa dari rumah ini. Atau aku yang pergi!" ancam Isabella.

"Paman," panggil Nafa akhirnya memberanikan diri membuka pintu. "Aku nggak apa-apa kok kalau harus kembali ke panti."

"Nggak!" pekik beberapa anak kecil yang berhamburan memeluk Nafa. "Kak Nafa jangan pergi. Di sini saja bersama kami. Jangan tinggalkan kami," kata mereka sambil menangis.

Nafa mengelus salah satu kepala mereka sembari tersenyum. "Kalian nggak boleh egois. Kita masih bisa ketemu kok."

"Dasar sok suci," sindir Isabella lalu membanting pintu kamarnya.

"Nafa, maaf," kata Eric dengan raut muka penuh penyesalan. "Hanya untuk hari ini, kau menginap di rumah Almeer, ya? Hanya sampai amarah Tantemu reda," tambahnya menyebut nama teman sekaligus tetangga sebelahnya.

Nafa mengangguk kecil. Ia kembali menatap anak-anak di depannya. "Raka, Raku, Riko, Riku, Rika, Rike, dan Riki. Kalian jangan menangis, Kakak hanya pergi sebentar kok," ujarnya sambil menyebut masing-masing nama  ketujuh anak kembar itu.

"Tapi, Kakak berjanji kembali besok, ya!" kata Rika sambil mengusap ingusnya.

"Besok harus kembali!" imbuh Riko dengan tegas lalu mengacungkan jari kelingkingnya.

Nafa menautkan jari kelingkingnya dan kembali tersenyum. "Iya, Kakak janji."

"Ayo, Paman antar," ujar Eric sambil membukakan pintu.

"Tidak perlu, Paman," tolak Nafa. "Hanya ke rumah Almeer, tak jauh dari sini. Lagipula, nanti Tante bisa marah-marah lagi."

Setelah usai berpamitan, Nafa melangkah keluar pekarangan rumahnya. Namun, langkahnya tak langsung menuju rumah berlantai dua milik tetangganya itu. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitarnya sambil menghirup udara. Sampai tak terasa, langkahnya menuju jalan yang tak ia ketahui.

Loh? Di mana aku? tanyanya pada dirinya sendiri. Nafa menoleh ke samping kanan dan kiri mencari petunjuk. Sialnya, tidak ada orang di sekitar sana. Padahal langit kini sudah semakin gelap.

Rasa takut menyelimuti tubuhnya. Kepalanya menggeleng, menghalau rasa itu lalu mencoba untuk mencari jalan. Nafa berlari dan terus berlari. Hingga ia kehabisan napas dan tenaga. Ia lupa bila ia tak makan sejak siang hari tadi. Membuat perutnya berbunyi meminta diisi.

Ini tak bisa dimakan, batinnya ketika mencari makan di tempat sampah. Ia tak memiliki pilihan lain. Kota yang ia lewati seperti kota kosong. Tidak ada orang, bahkan semua bangunan terbengkalai. Tangannya terus mengais tempat sampah itu. Mungkin ia bisa menemukan makanan yang layak.

Akhirnya Nafa menyerah, lalu ia menyandarkan tubuhnya di tembok tak jauh dari tempat sampah tadi. Pandangannya lalu menunduk, ia tak sengaja menemukan sebuah apel yang menggelinding di dekatnya.

Nafa mengangkat apel merah yang sudah hampir busuk itu. Sedikit keraguan muncul. Namun, ia mengangkat bahunya tak peduli. Ia sedikit memasukkan apel itu ke dalam mulut, merasakan dengan lidahnya. Lumayan, batinnya lalu menghabiskan apelnya dan hanya menyisakan beberapa biji hitamnya.

"Agh!" Tak lama, ia merasakan rasa sakit di kepala yang luar biasa. Ia memejamkan mata ketika rasa sakit itu semakin besar. Berada di ambang batas, kesadarannya berangsur menghilang.

"Nafa!"

"Kak Nafa, bangunlah."

Suara seseorang memanggil namanya. Mengusik telinga Nafa dan memaksanya untuk membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah sosok lelaki muda dan tampan menatapnya khawatir. Terpancar perasaan lega di matanya ketika melihat Nafa membuka mata.

"Almeer?" tanya Nafa memastikan lelaki di depannya.

"Kau ini darimana saja? Paman bilang kau akan ke rumah. Tapi sampai malam kau tak kunjung datang dan malah terkapar di sini."

Salah satu dari mereka berucap, "Kak Nafa. Kau baik-baik saja?" Kini pandangan Nafa melihat ke tujuh adiknya itu. Masing-masing dari mereka menangis sambil mengelilinginya.

"Huhu. Seharusnya kita menemukanmu lebih cepat," ujar Riki dengan nada menyesal.

Nafa mengelus kepala Riki dan memeluknya. "Bukan, ini salahku," ujar Nafa lalu memeluk ke tujuh adik mungilnya.

"Sudahlah, kalian lanjutkan menangisnya di rumah. Sekarang, ayo kita pulang," ajak Almeer mengulurkan tangan kepada Nafa.

"Iya." Nafa menyambut tangan itu seraya tersenyum. "Tapi aneh, kurasa tadi aku keracunan. Kenapa aku bisa bangun begitu saja?"

"Mungkin karena tadi Kak Almeer mencium--"

"Aaa!" teriak Almeer dengan cepat membungkam mulut Raka. Rona merah kini muncul di wajahnya. Melihat hal itu, membuat ke tujuh bocah itu tersenyum miring.

"Benar. Kak Almeer yang datang bagaikan pangeran di negeri dongeng," ujar Riki mengawali permainan dengan memgangkat tangannya ke atas.

"Menyelamatkan sang putri yang sedang tertidur," tambah Raku sambil menunjuk ke arah Nafa.

"Dengan keajaiban cinta," ujar Riko mengakhiri drama mereka.

Nafa yang masih belum mengerti nampak memiringkan kepala. "Keajaiban cinta?" tanyanya menoleh pada Almeer yang sudah semerah tomat.

"Bukan apa-apa!" teriaknya sambil mengalihkan pandangan. Pada akhirnya, di sepanjang perjalanan Almeer terus diejek oleh ke tujuh bocah itu.

Tamat.


Selasa, 25 Agustus 2020

KARANGAN BUNGA DI RUMAH BAPAK

Oleh: Erica Agustina

 

Hari ini tepat tanggal 1 Agustus. Hari yang terspesial untuk kami, anak-anak bapak. Bapak merayakan ulang tahunnya yang ke-66 tahun. Kue tart kecil dan karangan bunga krisan berwarna putih dan kuning, telah siap memeriahkan. Kami sedang berkumpul di rumah bapak dengan versi lengkap; kak Juna, CEO tampan yang sukses berdagang kursi rotan, lalu kak Mutia, seorang founder yang bergerak di bidang bakery and pastry shop. Lalu aku, Gauri. Putri bapak yang; paling bontot, paling ceria, paling gemesin dan yang paling penting, aku tak kalah cantik dengan kak Mutia, kata bapak.

Beliau sangat menyukai warna putih dan kuning. Menurutnya, warna putih selalu cantik dipadu padankan dengan segala macam warna. Putih akan menjadi pencerah ketika disandingkan dengan gelap. Lalu warna kuning adalah; lambang semangat, ceria, dan bahagia. Oleh sebab itulah, bapak menamaiku Gauri, dalam bahasa sansekerta memiliki arti kuning. Tersimpan doa dalam namaku. Harapannya, semoga aku mampu menjadi penyemangat kala bencana menghampiri keluarga kami sewaktu-waktu. Bapak adalah seorang lelaki paling macho, menurutku. Bukan lengan otot seperti Ade Ray, melainkan sikap tanggung jawab yang membuatnya nampak macho, lebih dari kak Juna yang hampir tiap hari menggendong barbel. Bapak memikul tanggung jawabnya seorang diri. Aku tak bisa bayangkan, betapa berat bahu ringkih itu membawa peran ganda. Bibir kehitaman mengatup rapat, tak pernah mengeluh. Kelopak matanya yang sayu, selalu telaten mengawasi tingkah laku ketiga anaknya. Telapak tangan nan kasar biasa meraut rotan, terasa halus ketika membelai pucuk kepala kami menjelang tidur. Lincah jari-jemari beliau membuat perabotan, tak kalah lincah ketika memotong sayur-mayur di dapur. Bapak begitu piawai merangkai tumbuhan lentur itu menjadi kursi, tapi juga pandai menyulap tanaman hijau menjadi sebuah hidangan super lezat. Beliau lah bapak dan ibu kami.

Bapak adalah seorang pengrajin rotan. Dari sejak muda, beliau menggeluti dunia kerajinan tersebut. Walau tak banyak orang yang memesan hasil karyanya, beliau tidak mau kalah dengan lelah. Kaki kurusnya begitu kuat untuk bangun kembali dari kerasnya persaingan perdagangan properti. Ucap syukur tak pernah putus, kala keningnya bersujud pada Yang Kuasa. Beliau selalu mengingatkan kami, betapa pentingnya mengucap nikmat. Jangan hanya meminta. Kita sudah mewah menerima berkah berupa rumah dan kesehatan. Masih banyak orang yang lebih menderita di luar sana. Kalau bisa, kita hanya perlu bersyukur, berusaha, juga pasrah itu sudah cukup. Gusti Allah sudah tahu, kebutuhan kita. Bukan memberi keinginan yang biasanya cuma nafsu. Ada ungkapan, usaha tak hianati hasil. Nilai yang kita dapat dari usaha kita, anggap saja sebagai jawaban atas doa-doa yang terucap, walaupun hanya di batin, begitu petuah bapak.

Perjuangan bapak membesarkan tiga anaknya, terbilang tak mudah. Untuk menyekolahkan kami, beliau membuka jasa pesanan kue. Entah siapa yang mengajarinya, tapi kue buatan bapak benar-benar enak, tidak kemanisan, juga tidak berbau amis. Kak Mutia pernah mencoba resep brownies panggang dengan bekal resep pemberian bapak. Tapi kenyataannya, dia yang terlihat lebih cocok sebagai baker, selalu gagal dalam mencampur semua bahan dan menghasilkan adonan yang fluffy saat dimakan. Saat itu, aku dan kak Mutia berada di ruang makan, memandangi brownies gosong buatannya. Kak Mutia naik darah, tak terima, jika dirinya tidak mampu menyamai keahlian bapak dalam membuat kue. Ia yang notabene selalu ingin menang sendiri, mulai mencari kebenaran sebagai alasan. 

“Bukannya aku tidak mampu, ini pekerjaan mudah buatku. Lihat! Tulisan bapak begitu jelek. Andai saja jika bapak bisa menjelaskan padaku secara langsung, pasti akan jauh lebih mudah membuat brownies panggang itu,” Kata-kata kak Mutia terdengar sarkas.

“Kak! Bisa tidak, bicaranya pelan sedikit? Kalau bapak denger, gimana?!” Nada suaraku, kutinggikan dan penuh penekanan. 

Tanpa kami ketahui, ternyata, bapak sedang mengintip dari balik kelambu pemisah antara ruang tamu dan ruang makan. Beliau pasti mendengar kalimat penghinaan kak Mutia. Betapa sakit perasaan orang tua, jika mendengar ucapan buruk dari mulut sang anak yang dituju kepada orang tuanya sendiri. Namun, berbeda dengan bapak. Beliau, justru mengurai senyumnya sembari berjalan ke arah kami.

Bapak mengeluarkan buku catatan dari saku kemeja kotak-kotak warna coklat yang ia kenakan. Terlihat, beliau sedang menulis sesuatu di atas kertasnya, beralaskan tembok. Kami cukup lama menunggu bapak selesai menuliskan perkataannya. Aku tak henti menatap kak Mutia seakan ingin menelan dia hidup-hidup. Jika bapak sedih, aku akan membuat perhitungan dengan kak Mutia. Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa lama itu, bapak meletakkan pena di atas meja dan menunjukkan bukunya pada kami. 

Anak bapak yang paling cantik, maafkan bapak, ya. Itu adalah resep baru. Bapak sama sekali belum mencobanya. Belum ada waktu untuk meramu resep itu kembali, agar pas dan enak kala dinikmati. Maafkan bapak, jika selama ini kamu kesusahan dengan tulisan tangan bapak yang serupa ceker ayam. Lain kali, bapak janji akan memperbaiki itu.

Oh, Tuhan! Untuk itukah begitu lama bapak menulis? Untuk memperapi tulisan tangannya dan membuktikan pada Kak Mutia, jika beliau juga bisa menulis dengan rapi? batinku. Ada goresan sesal di atas kening lebar kakak perempuanku. Telah luntur segala rasa kesal di ceruk hatinya, ketika membaca ucapan bapak. Lalu, semuanya hanyut terbawa arus air yang deras mengalir dari dalam kelopak mata kakak.

“Maafkan Mutia, Pak. Mutia belum terbiasa dengan bapak yang tidak bicara.” Bapak mengulas senyum di wajahnya yang mulai muncul kerutan. Lantas, Beliau menghampiri kak Mutia lalu mendekapnya erat. Air mata penyesalan kak Mutia, tumpah dalam dekap hangat bapak. “Mutia bersedia bantu bapak membuat kue. Kalau perlu, Mutia akan menemukan resep kue terenak. Mutia ingin menjadi pembuat kue yang handal seperti bapak.” Mendengar angan-angan kak Mutia, hatiku seolah disiram air pegunungan, sejuk sekali.

Mulut kakak perempuanku itu kadang-kadang setajam belati, sakit sekali ketika berujar atau hanya sekedar mengkritisi. Bapak selalu sabar menghadapi emosi anak perempuan tertuanya yang meledak secara tiba-tiba. Hal itu, membuatnya jauh lebih sabar dan ringan mengucapkan maaf lebih dulu. Padahal aku tahu, jika beliau tak memiliki kesalahan apa-apa. Tetapi jangan salah, bapak juga pernah marah dan berkata tegas pada kami, saat kakakku yang pertama kepergok mencuri uang di saku kemeja bapak yang tergantung di balik pintu kamarnya. Naas nasip kak Juna, peristiwa tersebut disaksikan langsung oleh pemiliknya. Aku masih ingit bagaimana raut muka bapak. Beliau yang kukenali memiliki wajah lembut, terlihat sangat gahar ketika amarah berada di puncak ubun-ubun.

Pyaarr …

Suara pecahan kaca, terdengar nyaring. Aku dan kak Mutia sontak lari menemui sumber suara tersebut. Di ruang tamu, aku melihat bapak yang berapi-api, menatap penuh kemarahan pada kak Juna. Seluruh ruangan seakan terbakar. Tak ada satu pun dari kami yang berani bersuara. Membisu bibir kami, melihat bapak yang berlalu pergi ke kamar dengan lava meletup dalam dada.

“Kak, kakak berulah apa lagi, sih? Tidak mencuri uang bapak lagi 'kan? Kakak tahu, bapak tidak suka hal-hal yang tidak jujur seperti ini.” kak Mutia bertanya penuh selidik. 

“Em … a-aku tahu kok! Tapi, aku tidak menggunakannya untuk yang aneh-aneh. Aku hanya ingin....” Kalimat kakak pertama dipangkas tegas oleh kak Mutia.

“Tidak ada alasan yang membenarkan sebuah pencurian, Kak. Walau itu untuk mengisi perutmu. Pencuri tetaplah pencuri. Kriminal!” Penekanan kata terakhir kak Mutia membuat kak Juna naik pitam.

“Jaga ucapanmu! Tak ada sopan-sopannya sama orang yang lebih tua. Mau dikuncir mulut sampahmu itu?” balas kak Juna dengan mata yang bersungut-sungut. Aku hanya diam tak mengerti lagi, bagaimana menenangkan kedua saudaraku itu.

“Apa salahku, Kak …”

Klak … pintu kamar bapak terbuka, membuat debat kusir kedua kakakku terhenti. Kakinya berjalan ke arah kami, bersama raut muka yang masih gondok. Kemudian, aku diberinya sepucuk kertas buram berisi beberapa kalimat.

Juna, bapak minta maaf. Aku bukanlah bapak yang sempurna, tapi aku tak akan menyerah memberimu kesempurnaan. Tidak ada paksaan bagimu, menuruti apa perkataanku. Bapak hanya ingin kamu menjadi laki-lagi baik, berkata jujur, dan bertanggung jawab. Kamu adalah calon imam. Imam harus bisa membawa makmumnya menuju teduh juga kedamaian. Walau kamu bukan anak kandung bapak, bapak selalu mendoakan … agar kamu bisa lebih berjaya, jauh lebih sempurna dari bapak.

Benar, Beliau adalah bapak angkat kami. Pria tak beristri, juga disabilitas wicara, beliau mampu mengasuh kami dengan limpah ruah kasih sayang dan cinta. Kami memiliki kisah masing-masih. Kak Juna adalah anak jalanan yang tiap hari melanglang buana mencari rosokan dan mengamen di kala sore tiba. Ia tak punyai orang tua. Hidupnya hanya menumpang, meminta belas kasih penduduk kampung pinggiran kota metropolitan. Bapak menemukannya sedang bersembunyi di balik tumpukan karung-karung beras dari kejaran petugas razia yang mengejarnya. Entah angin apa yang membawa bapak bertemu dengan bocah laki-laki malang itu dan bersedia membesarkannya. 

Berbeda dengan kak Mutia. Ia dititipkan kepada bapak sejak usia tujuh tahun oleh seorang teman baiknya. Kedua orang tua kak Mutia meninggal akibat kecelakaan beruntun. kak Mutia selalu merasa dirinya anak buangan, sebab keluarga ayah maupun ibu tak mau mengakuinya sebagai saudara. Walau kakakku bermulut pedas, tapi hatinya begitu lembut dan sangat dewasa. Akulah yang sebenarnya anak buangan. Bapak menemukanku di dalam kardus yang masih berari-ari di dekat tong sampah. Hingga saat ini, aku tak mengetahui siapa orang tuaku sebenarnya. Di dunia ini, hanyalah bapak, hartaku paling berharga.

Bagi kami, Bapak Darmono adalah penyihir yang berhasil merubah sampah jadi manusia yang dimanusiakan. Rumah kecil ini serupa surga paling megah nan mewah. Beliau-lah sosok penerang pada jalan kami yang suram. Dibungkusnya sabar, pantang menyerah, optimis, dan selalu ceria, sebagai bekal hidup di masa akan datang. Itulah warisan paling berharga yang ditinggalkan selain keahliannya berusaha rotan dan membuat kue. Bapak adalah pahlawan bagi kemerdekaan hidup kami.

Hari ini, di sini, di rumah bapak, tempat peristirahatannya yang abadi. Beliau dipulasara bersebelahan dengan orang tuanya. Kue tart favorit bapak dan karangan bunga spesial hasil karya kak Mutia menjadi pelengkap kebersamaan kami. Dihadapan nisan berepitaf Darmono Bin Elman, kami memanjatkan doa dan meniup lilin bersama-sama. Sudah tiga tahun bapak meninggalkan kami. Belum puas kami membahagiakan bapak, beliau lebih dulu mengibarkan bendera putih pada sakit komplikasi yang dideritanya. Kini, hanya doa yang terus kami tenun, menjadi selimut hangat paling panjang sebagai persembahkan terima kasih untuk bapak.

Kami tinggalkan karangan bunga krisan putih dan kuning ini sebagai tanda kenang jasanya menjadi manusia setengah dewa. Semoga Tuhan bermurah hati untuk memberi tempat yang sederajat dengan malaikat untuk bapak.

BIONARASI

Erica Agustina, seorang ibu rumah tangga lahir pada 24 Agustus 1994 di Sidoarjo, Jawa Timur. Hasil karya yang telah diterbitkan yaitu; antologi cerpen – La Storia Del Barista; antologi cerpen – Dreamer’s Challenge; antologi puisi – Cinta yang Akan Datang.  Segala kritik dan saran dari rekan-rekan bisa disampaikan melalui akun wattpad @RLanduh_ atau melalui surel erica.agustina55@gmail.com. Menjadi ibu rumah tangga tak menjadi batasan untuk tetap terbang meraih mimpi.

Minggu, 23 Agustus 2020

Rintihan Semu Rumah Kosong

Dinda dewi


Seorang gadis misterius bernama Maya. Tinggal di sebuah kota kecil bersama orang tuanya. Sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Maya memiliki kebiasaan aneh. Yakni bangun tengah malam dengan mata memerah serta melotot ke arah luar jendela. Namun setelah hari kembali fajar, semua berubah normal. Maya kembali melakukan aktifitas seperti biasa. Sampai sekarang belum diketahui apa penyebabnya. Dokter pun mengatakan bahwa Maya tidak punya latar belakang penyakit sama sekali. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu menghilang ketika Maya menginjak usia 17 tahun. Tiga tahun setelahnya, Maya dijodohkan dengan anak teman  kerja Ayahnya di kantor, dan ia bernama Reza.

***

Kini Reza dan Maya adalah pasangan suami istri yang baru menikah tahun lalu. Keduanya berumur 20 tahun.  Sebuah usia yang bisa dibilang masih muda. Namun tak ada kendala dalam ritme rumah tangga mereka. Pernikahan yang didahului tanpa pacaran itu sampai saat ini masih harmonis, seperti tiada satupun masalah yang sudi mengahampiri. Namun satu tahun mereka hidup bersama, belum juga dikaruniai momongan.  Hingga pada suatu saat Maya telat datang bulan. Hal tersebut tentu saja membuatnya was-was. Sang suami pun dengan sigap membelikan alat tes kehamilan di apotek terdekat. Setelah dicek, ternyata doa-doa mereka selama ini diijabah. Maya positif hamil. Hal tersebut membuat keluarga kecil Reza sangat bahagia. Tak hentinya mereka bersyukur kala itu. 

Sebulan usia kehamilan berlalu, Maya tak merasakan keluhan apapun. Kegiatan harian pun masih bisa ia kerjakan dengan baik, bahkan dengan penuh rasa gembira. Sampai memasuki bulan kedua, tiba-tiba tepat tengah malam, Maya merintih kesakitan, perutnya keram. Seperti ada yang meremas-remas. Kebetulan malam itu malam Jum'at. Sang suami melihat istrinya yang merintih kesakitan tentu sangat bimbang dan khawatir. Ia bingung harus berbuat apa. Di rumah besarnya pun, ia hanya hidup dengan istrinya seorang. Reza tak mungkin menelpon keluarga yang lain, karena ia tahu itu sudah malam. Tapi di sisi lain, ia sangat khawatir dengan keadaan istrinya yang tak hentinya merintih kesakitan. Reza mencoba memberikan air hangat, tapi hasilnya nihil. Hingga terpaksa ia memboyong istrinya ke rumah sakit. Belum sampai Reza membuka pagar rumah, si istri tak merasakan sakit lagi, sakit perutnya seketika hilang, dan ia merasa lebih bugar dari sebelumnya 

"Kamu tidak apa-apa, Dek?"

"Iya Bang, Adek udah enakan. Sepertinya kita tidak usah ke rumah sakit."

"Serius kamu, Dek? Abang takut terjadi apa apa sama kamu."

"Sudah, Bang. Tidak usah. Tuh lihat, Adek gak papa." sahut Maya sambil menunjukkan bahwa dirinya memang baik baik saja.

"Ya sudah, kalau begitu kita tidur lagi saja. Besok pagi Abang mau bikinin sarapan terlezat untuk kamu." Reza memasangkan selimut kembali pada istrinya sambil membelai lembut rambut sang istri.


Keesokan harinya, wajah keduanya kembali berseri. Seperti tidak ada hal apapun. Kejadian semalam pun sudah terlupakan. Reza juga telah menepati janjinya untuk membuatkan sarapan lezat untuk sang istri. 

Hari demi hari berlalu, kehidupan mereka berjalan baik-baik saja. Tapi anehnya setiap malam Jum'at, Maya merasakan hal yang sama. Perutnya keram, begitu sakit, seperti ada yang meremas-remas. Hal itu, Maya rasakan hanya 20 menit. Begitu, berulang ulang, setiap malam Jumat. Sempat merasa aneh dan takut terhadap keadaan sang istri, tapi Maya selalu menolak setiap ingin dibawa ke rumah sakit. Ia memilih membiarkannya. Toh setelah 20 menit merasakan sakit, ia kembali sehat, bahkan lebih bugar dari sebelumnya. Reza pun meng ‘iya’ kan keinginan istrinya itu.

***

9 bulan telah berlalu, hari ke tujuh setelah bulan ke sembilan, Maya merasakan sakit yang sangat hebat. Tanpa berpikir panjang, Reza membawa istrinya ke rumah sakit. Ia paham bahwa Maya akan melahirkan. Keluarga Reza pun turut mengurus dan menemani Maya di rumah sakit. Tak sampai disitu, ada hal buruk yang disampaikan dokter, dan itu sontak membuat Reza kalang kabut. Ia bimbang. Kalimat demi kalimat yang diucapkan dokter itu seketika membuat Reza hilang arah. Ia tak tahu lagi mau berbuat apa. 


Sebelumnya di ruang tunggu, Reza di panggil dokter.

"Pak Reza?"

"Iya saya, Dok. Bagaimana kedaan istri saya, Dok?"

"Sebelumnya, Pak Reza harus kuat dan tabah  mendengar hal yang akan saya sampaikan."

Sebuah kalimat yang membuat Reza bingung.

"Maksudnya bagaimana, Dok?" Tanya Reza dengan cepat. 

"Istri dan anak bapak, dalam kondisi menghawatirkan. Harus ada salah satu yang dikorbankan, atau kalau tidak, keduanya bisa tak tertolong."

Kalimat dokter tersebut sontak menyayat hati Reza. Kebahagiaan baru yang selama ini ia idam-idamkan, kini harus musnah begitu saja. Hingga dengan sangat berat hati, juga atas permintaan istri yang sedang terbaring lemas itu. Akhirnya Reza meng 'iya' kan bahwa anaknya yang harus diselamatkan. 


Setelah lama menunggu, akhirnya buah hati yang selama ini diidam-idamkan  terlahir dengan selamat. Sehat dan tampan. Mukanya mirip sang ibu. Tapi sayang, ibunya tak bisa melihat anak tercinta lahir ke dunia. Jiwa raga telah ia korbankan demi keselamatan anaknya. Tapi, Maya meninggal dengan lengkung sabit di bibirnya. Hal tersebut menandakan bahwa ia telah bahagia di alam lain. Sebelumnya Maya juga berpesan agar sang suami merawat anaknya dengan sebaik mungkin. Juga satu permintaan aneh yang membuat Reza terenyuh. Yakni Maya ingin dikuburkan di wilayah rumahnya, tepat di samping kamar, biasa ia tidur dulu. Dan permintaan itu dikabulkan Reza. Sementara itu, orang tua Reza memutuskan agar ia tinggal bersama keluarga. Dengan tujuan, agar anaknya bisa lebih terurus. 

    ***

5 tahun berlalu, Reza berniat mengajak anaknya, Rizky Reihan, berkunjug ke rumah yang dulu. Sekalian berziarah ke makam ibunya. Anak polos itu tanpa sengaja berucap "Papa, kenapa mama tidur di bawah tanah?"

Pertanyaan tersebut membuat Reza merinding, ia tak tahu harus menjawab apa. Tak sampai sang ayah mengucapkan jawaban, Rizky mendengar sesuatu. Suara itu berasal dari kamar tempat mama dan papanya tidur, sewaktu ia masih dalam kandungan. "Pa, Rizky mendengar suara. Apa itu mama ya, Pa?" 

Sang ayah kaget, tiba tiba Reza juga mendengar suara rintihan, persis seperti suara Maya merintih kesakitan, waktu hamil dulu. Suara itu terus terdengar, hingga 20 menit lamanya. Rizky yang masih kecil itu sangat ketakutan, menangis sambil berteriak. "Mama, mama...."

Tak tahan dengan hal tersebut, Reza membawa anaknya pulang kerumah orang tuanya. Ia heran dengan apa yang telah terjadi. Seminggu kemudian Reza kembali mengunjungi rumah itu. Kali ini Ia berkunjung tanpa membawa anaknya. Dan ketika ia sampai di tempat tersebut, hasilnya sama. Suara itu terdengar lagi. Reza menangis seraya berkata “Sayang, Maya?.... Ada apa denganmu di alam sana? Apakah ada hal yang mengusikmu? Ataukah aku tidak becus merawat anak kita?" 

Suara aneh itu semakin kuat terdengar, Reza juga semakin panik. Dengan cepat ia melangkahkan kaki keluar, meninggalkan rumah itu. 

    ***

Beberapa bulan berjalan. setiap satu minggu sekali, Reza mengunjungi rumah lamanya. Namun, hal yang sama kembali ia rasakan. Suara tersebut berulang-ulang terdengar setiap Reza berkunjung. Hingga pada suatu saat Reza memutuskan untuk menjual rumah tersebut. Tak perlu menunggu lama, rumah itu langsung terjual. Tapi anehnya selalu ada orang yang meninggal setelah rumah itu ditempati pemilik yang baru. Begitu, berulang, sampai pergantian pemilik yang ketiga. Kali ini Reza terlebih dulu mengingatkan orang yang akan membeli rumah tersebut. Namun, calon pembeli tak peduli dan tetap ingin membeli rumahnya. Kejadian yang ditakutkan kembali terulang. Salah satu orang dari keluarga pemilik rumah itu meninggal. Kejadiannya selalu sama, meninggal di kamar Reza yang dulu ia tempati. Suara rintihan yang sangat menakutkan selalu bergema keras, setiap 20 menit sebelum korban meninggal. Kini rumah itu kembali diserahkan pada Reza untuk yang terakhir kalinya. 

Masih belum diketahui apa penyebab suara rintihan itu. Hingga suatu saat Reza melihat seorang kakek misterius melintas di samping rumah. Dengan buru-buru Reza menghampiri kakek tersebut. “Maaf, Kakek siapa? dan apa yang anda lakukan di sini?” 

Kakek tersebut menjawab dengan suara sangat berat. “Aku adalah penghuni rumah ini, sebelum kau dan istrimu tinggal di sini. Posisiku kala itu adalah teman kakeknya Maya. Kami dulu bersahabat dekat, hingga ada perselisihan diantara kami. Joko (Kakek Maya) iri dengan jabatanku yang lebih tinggi darinya di kantor, tempat biasa kita bekerja. Suatu ketika Joko membawakan makanan kesukaanku ke rumah. Kupikir itu adalah permintaan maafnya setelah sekian lama membenciku. Tapi tak disangka, ia menaruh racun dalam makanan itu. Aku tewas setelah beberapa menit memakan makanan tersebut. Meski perjalanan hidup Joko berakhir di penjara, tapi aku telah bersumpah, tidak akan membiarkan anak keturunan Joko hidup bahagia.” 

Reza sangat kaget mendengar penjelasan kakek tersebut, batinnya merinding. Badan Reza melemas dengan sesekali ia memejamkan mata. Namun setelah Reza membuka mata, kakek yang semula bebincang dengannya itu menghilang. Berkali-kali ia menoleh ke sekitar, tapi memang kakek misterius itu tak lagi dijumpainya. Reza hanya melihat pohon kamboja setinggi lutut yang tertanam di samping makam sang istri. Ia baru sadar bahwa pohon kamboja itu tak pernah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya. Tak pernah layu dan tak pernah gugur bunganya. Ia mengira, mungkin pohon tersebut adalah jelmaan kakek misterius tadi.


Kali ini Reza benar-benar tak habis pikir dengan kejadian yang menimpa hidupnya. Sebuah peristiwa mistis yang pernah ia rasakan. Akhirnya Reza memutus hubungan dengan keluarga Maya. Ia memilih untuk tidak tersangkut paut dengan hal-hal aneh. Rumah misterius itu pun juga dikosongkan hingga sekarang. Tak ada yang berani mengunjungi rumah tersebut. Reza ingin hidupnya kembali tenang seperti dulu. Ia memilih tinggal di rumah orang tuanya bersama  anak semata wayangnya. Rizky pun tumbuh sebagai pemuda yang tampan, berbakat dan penuh prestasi. Hal itu sudah cukup membuat Reza bangga. Ia membesarkan anaknya seorang diri tanpa sedikit pun ada niat untuk menikah lagi. Ia sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Meski tanpa sosok seorang ibu di samping anaknya.



Tamat. 

Sabtu, 22 Agustus 2020

Kenangan Di Rumah Mantan

Oleh : Ariantini



"Jadi kalian akan saya bagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Nah, dua orang dalam kelompok, saya yang tentukan. Sisanya silahkan menyesuaikan. Sampai di sini ada yang ingin ditanyakan?" tanya Pak Doni selaku dosen matematika itu.


"Tidak, Pak!" jawab para murid secara kompak.


"Baiklah. Untuk dua orang yang saya tentukan itu tujuannya supaya dalam satu kelompok ada mahasiswa/mahasiswi yang cukup pintar dan yang kurang. Saya akan ambil rangking sepuluh besar pertama dan sepuluh besar terakhir. Jadi kalian bisa saling membantu dalam pelajaran kali ini," terang Pak Doni lagi.


Terdengar bisikan-bisikan riuh di ruangan kelas itu. Pak Doni mulai membuka daftar absensi yang ia pegang.


"Harap tenang! Saya akan bacakan nama-namanya," ucap Pak Doni sembari memerhatikan nama-nama pada kertas yang ia pegang.


Semuanya menunggu dengan tegang nama-nama yang akan disebut. Hingga kini tinggal dua nama terakhir.


"Dara dan Yogi. Baiklah itu dua nama terakhir yang akan membimbing kelompok presentasinya. Sisanya silahkan menyesuaikan. Saya harap kalian bisa saling bekerja sama untuk presentasi kali ini. Kelas hari ini saya tutup, terima kasih dan selamat siang."


Setelah Pak Doni meninggalkan kelas, ruangan itu kembali riuh dengan suara-suara desakan dan ajakan untuk menjadi satu kelompok.


"Ra? Gue ikut lo, ya," ucap Anya.


"Oke! Cariin sekalian lagi dua biar pas berlima." Dara berucap sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.


"Ra! Gue ikut lo, ya. Soalnya ketua geng gue bareng lo," ucap seorang laki-laki berambut ikal dari arah belakang.


"Ketua geng?" ulang Dara sambil mengernyitkan dahinya.


"Iya, si Yogi," jawab laki-laki baru yang kini ikut berdiri di sebelah Dara.


"Oh, oke! Masuk aja. Jadi pas lima orang kalau kalian masuk kelompok gue," sahut Dara setuju.


"Jadi nanti kita buat presentasinya di mana?" tanya Yogi menghampiri mereka.


"Di rumah gue gimana?" tanya Dara pada keempat anggota kelompoknya.


"Gue sih, oke!" Anya menjawab dengan semangat.


"Gue sama Tama juga oke," timpal pria berambut ikal itu.


"Yaudah di rumah lo. Jam berapa?" tanya Yogi lagi memastikan.


"Jam lima, gimana? Biar gak kemaleman. Gue soalnya gak bisa sampai malem." Kali ini Anya yang menjawab dan mendapat anggukan setuju dari yang lain.


***


Dara sudah menyiapkan beberapa makanan ringan dan minuman dingin untuk teman-temannya.


Waktu baru menunjukkan pukul empat tiga puluh, tapi Dara sudah siap dengan laptop di hadapannya.


"Non Dara, di bawah ada teman Non Dara datang," ucap Bi Inem yang muncul dari balik pintu.


"Minta masuk aja, Bi," balas Dara.


Beberapa saat kemudian muncul Yogi dari balik pintu dan membuat Dara menoleh.


"Semangat banget lo. Baru juga jam setengah lima," ucap Dara.


Yogi tak menjawab, ia hanya tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya.



Yogi menatap balkon kamar dara dan membuat ingatan tiga tahun lalu kembali membayanginya.


"Ra? Gue haus. Ambilin minum dong! Gue lupa dapur di rumah lo," ucap pria manis yang duduk di balkon kamar Dara.


"Manja banget, deh, pacar gue," balas Dara dan membuat pria itu tertawa kencang.



"Gik? Are you ok?"  tanya Dara memastikan saat melihat Yogi melamun.


"Ah? Ya ya, gue baik-baik aja," sahut Yogi gelagapan.


Beberapa menit berikutnya kamar Dara sudah diisi oleh semua anggota kelompoknya. Mereka mulai mengerjakan tugas presentasi itu.


"Ra? Sini gue bantu ngetik. Lo yang bacain," ucap Tama sambil meraih laptop milik Dara.


    Ucapan Tama kembali membawa Yogi untuk mengingat kenangan di masa lalunya tiga taun lalu bersama dara.


"Ra? Biar gue yang ngetik sini, lo bacain aja," ucap pria itu sambil merebut laptop dari tangan Dara.


"Gak usah, gue bisa," tolak Dara halus.


"Ra, ini tugas kelompok, jadi buatnya bareng-bareng," ucap pria itu lagi dan membuat Dara mengalah.


Yogi kembali membiarkan ingatannya memutar kejadian yang ia alami bersama Dara tiga tahun lalu.


"Gantian sini. Gue yang ngetik, Anya yang bacain," ucap pria berambut ikal itu.


"Boleh-boleh," balas Dara kemudian menyerahkan buku tebal itu pada Anya.


"Eh, ini camilannya, silahkan," ucap Dara sambil menyodorkan nampan berisi beberapa makanan ringan dan minuman dingin.


Ternyata melupakan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Satu persatu kenangan tiga tahun lalu terus terulang diingatan Yogi bak film bioskop yang sedang dinikmati para penotonnya.


"Ra? Gue maunya disuapin," ujar pria berseragam putih abu itu.


"Manja banget lo sumpah!" ledek Dara tetapi ia tetap menyuapi pria itu.


"Gi?" Tama mengguncang lengan ketua gengnya yang sedari tadi terus melamun.


"Ya, kenapa?" tanya Yogi bingung.


"Astaga, lu udah kayak anak ayam yang bingung nyari induknya," ejek pria berambut ikal itu.


"Apaan, sih, lo!"


"Makanya orang ngomong dengerin! Ngelamun aja! Nanti tugas lo, print materi ini, terus fotocopy lima rangkap. Oke?" ucap pria berambut ikal itu lagi.


"Siap Pak Yudi!" sahut Yogi dan membuat pria berambut ikal itu nyengir kuda.


Setelah menyelesaikan tugas presentasi mereka, semuanya berpamitan untuk pulang.


Semua sudah pulang, kecuali Yogi. Laki-laki itu masih meng-copy file tugas yang harus ia print.


Potongan kenangan kembali terputar, namun kali ini kenangan itu terasa sangat pahit bagi Yogi.


"Ra, kenapa harus putus? Kita bisa kan bicara baik-baik. Ada masalah apa?"


"Gak ada yang bisa dibicarakan. Setelah kelulusan, gue akan tunangan sama cowok pilihan papa."


"Tapi, kenapa?"


"Demi perusahaan papa, gue harus terima perjodohan ini."


"Hallo?" Dara melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Yogi.


Yogi tersadar dari lamunannya, ia mengerjapkan matanya beberapa kali.


"Ra? Bisa bicara sebentar?" tanya Yogi saat Dara mulai merapikan laptopnya.


"Ya? Ada apa?"


"Gue... Gue masih sayang sama lo."


"Gik, tolong. Kita udah berpisah tiga tahun. Kenapa, sih, lo masih mempersulit semuanya?" tanya Dara dengan emosi.


"Ra, gue udah berusaha hapus semua tentang lo. Tapi sulit, Ra," jelas Yogi.


"Gue udah tunangan, Gik! Setelah wisuda gue akan nikah sama Bagas. Tolong ngerti!" jelas Dara masih dengan emosi yang sama.


"Lo yang harusnya tolong ngerti."


"Lo kira gue gak berjuang buat hapus semua kenangan kita? Kenangan yang terjalin tiga tahun itu udah gue hapus dalam waktu tiga tahun terakhir ini. Jadi gue harap lo juga bisa ngelakuin itu!" tegas Dara.


"Apapun yang lo bilang. Gue gak akan bisa menghapus lo dan semua kenangan kita. Ketika gue masuk ke rumah lo, semua kenangan itu berputar, Ra."


"Mulai sekarang jangan pernah ke rumah gue lagi. Gue gak mau lo sakit hati dengan semua ini. Tolong, Gik." Dara mulai menurunkan nada bicaranya.


"Boleh peluk lo untuk yang terakhir kalinya?" pinta Yogi sambil menatap Dara penuh harap.


 'Brukk'


Dara menabrakkan tubuh rampingnya ke dalam dada bidang Yogi.


"Maaf, Gik, maaf! Gue sayang lo! Gue gak mau lo sakit hati terlalu jauh! Tanggal pernikahan gue udah ditentukan!"


"Gue janji, ini yang terakhir. Setelah ini gue bakalan simpan semua tentang lo. Dan gue gak akan ganggu lo lagi."


TAMAT




Tentang Penulis

Hallo! Nama lengkapku Ari Kartini, panggil saja aku Ar. Aku adalah gadis manis yang lahir di Pulau Bali 22 tahun lalu tepat pada Hari Kartini. Aku suka membaca dan menulis karena dengan membaca dan menulis aku merasa bebas dari beban hidup. Kenali aku lebih dekat lewat akun Instagram, Wattpad & Dreame : @ariantini21

Rumah Rindu



Di sini lah aku, di kota kecil yang hiruk pikuk bagai kota besar. Ditemani sang senja yang kian menghilang. Dan juga semilir angin yang menyisir rambutku. Aku sedang menanti seseorang. Seseorang yang berjarak 5280 kilometer dari tempatku berteduh. Padahal aku tidak tahu kapan ia akan datang. Bahkan mungkin takkan pernah datang. Tapi aku sudah tenggelam dalam rindu. Sudah 8 tahun lamanya aku tak melihat mata indahnya yang menyapa setiap pagiku. Atau Senyum manisnya yang tak pernah pudar itu pun sudah menjadi candu. Tapi Aku masih bisa merasakan jari-jarinya yang dulu senang bermain dengan anak rambutku yang menjuntai saat rambut yang lainnya terikat rapih.

Canggihnya teknologi nyatanya tak mampu menghapus rindu yang kian memilu. Sialnya, ia bahagia di negeri Ginseng itu. Hingga aku tak bisa memaksanya pulang ke rumah yang kini dipenuhi lukisan rindu.

Semua itu terjadi karena aku yang dengan bodohnya mau diperbudak oleh cinta. Cinta membuatku memiliki dua pilihan setiap harinya, menuruti keinginannya atau berpisah dengannya. Keluh kesah yang tak bisa aku sampaikan kepada pena, hanyalah tentang cinta yang kian lama kian menjebak.

Tiba suatu hari saat senja mulai menyapa aku. Dia memberi kabar yang terasa seperti pertanyaan. Tentang cita-cita yang ingin digapainya datang kembali mengetuk pintu ponsel pintarnya. Ia ingin menjadi bintang lagi. Ia ingin menjadi kebanggaan lagi. Ia ingin harta dan tahta, karena sudah memiliki wanita.

Mencintai memang berat. Karena cinta bukan hanya tentang saling memberi kasih. Namun juga melepaskan pergi demi kebahagiannya. Aku memang tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di negeri Ginseng. Tapi jika aku melarangnya, aku tidak tahu sampai kapan ia akan kecewa dan bersedih. Dukanya hanya akan membunuhku secara perlahan. Menenggelamkanku ke palung Mariana yang tak sengaja dibuat oleh egoku sendiri.

"Bukankah kau akan bangga denganku bila aku kaya? Tidakkah kau lelah hidup seperti ini? Hanya untuk pergi ke negeri Ginseng saja hanya cukup untuk satu orang." Suara itu masih lekat bergulir di otakku. Kata-kata yang mampu meluluhkan hatiku untuk melepaskannya pergi. Membujuk hatiku untukku belajar hidup sendiri tanpanya. Sambil menantinya menjadi bintang negeri seberang.

Penantian nyatanya tak sesakit yang ku bayangkan. Dunia ini sudah tidak kuno. Nyatanya ia masih mampu membuatku bahagia lewat pesan suara. Namun membuatku sakit pula, karena itu hanya pesan suara. Sedang yang dibutuhkan bukan hanya suara. Begitulah teknologi menyakitiku.

Seperti saat ini, di tengah gemuruh petir dan hujan. Priaku tak henti-hentinya mengirimiku pesan singkat berbumbu cinta, berdefinisikan rindu. Hari jadi pernikahan memang tak pernah dirayakan dengan meriah, hanya sekedar berbagi cerita, lagu, ataupun puisi tentang betapa besarnya cinta yang menyelimuti kami selama 10 tahun ini. Cinta yang didominasi rindu. Cinta yang belum juga dilengkapi oleh peri kecil berpopok yang terhambat oleh jarak dan cita-cita. Yah, tak ada salahnya mengejar cita-cita bukan? Ah, aku bisa gila.

Lalu bagaimana aku bisa bertahan selama ini tanpanya? Setiap senti dari rumah yang sangat sederhana ini merekam semua yang priaku lakukan selama dua tahun ini. Dimulai dari kamar tidur yang hangat menyapaku dengan bayangnya sangat nyata bagiku. Lalu lantai berlapiskan tikar jerami yang dihiasi kopi hangat teman setia disetiap pagi yang akan kami sesap bersama dengan singkong rebus dan mie instan yang menyusul beberapa jam setelahnya. Ketika senja menyapa biasanya ia datang membawa kabar dari kota besar tentang apa saja yang terjadi di hari ini juga kemarin. Disaat itu, aku menemani membaca lembar demi lembar kertas yang orang sebut koran. Barulah dimalam saat bulan tepat menyinari atap rumah kita, engkau pergi berkeliling perumahan  menggunakan seragam hijau kesayangan .

"Katanya tadi malam ada maling di dekat rumah pak Sobari, tertangkap tidak?" Kala itu kau tidur sampai mentari hampir sejajar dengan atap rumah.

"Maling mana sih yang tidak bisa ditangkap oleh seorang Sehun?" banggamu.

"Jika tak ada maling yang lolos darimu, lalu mengapa kau dikeluarkan dari kepolisian?" argumenku membuatmu mengerutkan dahi. Sebenarnya argumen itu tak seharusnya aku lontarkan, aku tahu Sehun sedikit sakit saat mendengar itu.

"Karena ada satu maling yang sampai saat ini belum bisa aku tangkap."

"Siapa? Katanya tidak ada," seruku membuatmu tersenyum.

"Kamu," katamu membuatku sedikit marah dan terheran.

"Sini, kembalikan hatiku!" aku harus apa? Aku berbunga sekaligus kesal saat itu. Hingga satu tinju gemas kulontarkan pada otot bisepmu. Disusul oleh tawa darimu.

Aku tersenyum-senyum sendiri melihat tembok yang menghadap televisi itu. Mengingatkanku akan salah satu kejadian roman itu.

Tak kusangka, 8 tahun tak seatap dengan belahan hatiku telah menjadikan rumah ini museum kenangan roman dalam rumah tangga. Bahkan bayang Sehun kian nyata alih-alih memudar.

Anggrek pemeluk pohon mangga yang selalu disiram Sehun ikut menceritakan betapa rindunya dia akan kehadiran Sehun. Cangkir coklat bergaris yang mulai berdebu itu memanggil nama Sehun di setiap paginya. Sepeda motor buatan jepang yang meraung-raung kehilangan pengendara setianya yang tampan. Televisi yang yang setiap harinya menayangkan berita rindu membuatku resah. Ditambah kipas angin elektrik yang hanya bisa meniupkan angin kenangan tentang Sehun. Aku iri pada lemari plastik yang memeluk hangat aroma tubuhmu yang tertinggal di beberapa bajumu membuatku rindu akan peluk hangatmu. Langit-langit rumah yang tiap malam berbisik tentang tampannya dirimu waktu itu membuatku selalu membayangkan betapa indahnya ukiran wajahmu saat ini.

Mereka ikut mengisi rindu yang meledak-ledak di rumah ini. Mereka semua berdebu. Namun, masih bisa menghantarkan hangat kasih yang ada di Korea. Mereka semua pun, membutuhkanmu. Rumah ini berubah menjadi rindu. Dan aku sudah terlalu nyaman hidup berdampingan dengannya. Padahal aku juga butuh kamu.


Selesai.



Hai Readers,

Namaku Roselyn NorthGod, aku adalah seorang penulis  pemula dari Cirebon kelahiran 2002 yang juga sangat menyayangi kucing. Hobby menulisku berawal dari kesukaanku membuat cerita untuk diceritakan kepada orang lain. Selain menulis, aku juga hobby bermain game, scroll beranda instagram, dan membaca beberapa komik di webtoon. Bila kalian punya kesamaan silahkan follow instagramku @rozieoci294. Selamat membaca karyaku semoga suka, jangan lupa untuk meninggalkan komentar bila kalian suka :).

Pencuri Rumah Merah

Oleh: Nendi Dwi Wahyuni


    Di luar, hujan mengguyur dengan deras. Jelas sekali terdengar tetesannya yang bergantian menempa bebatuan. Sementara angin, tidak perlu dijelaskan. Semua juga tahu betapa kencangnya ia bertiup. Para manusia akan lebih cepat menarik selimut. Tidak akan ada yang mau berjalan dengan alasan menikmati alam.

    Aku ingat sekali, malam itu seharusnya aku seperti yang lain. Beristirahat, memejamkan mata, mengambil sedikit masa agar melupakan banyak hal yang tengah dipikirkan. Tapi aku tidak bisa. Ada saja gangguan yang datang.

    “Kau wanita!” bentakku pada seorang gadis yang usianya jauh lebih muda. Jika saja aku sudah memiliki anak, pastilah seusia dengannya. Gadis remaja berwajah manis, namun, tersirat banyak misteri di balik tatapannya.

    Gadis itu duduk di atas kursi kayu. Badan dalam keadaan terikat dan mulutnya tertutup kain. Sesekali ia meraung agar segera dilepaskan. Sudah hampir 3 jam aku mengomel padanya. Sementara mimik wajah dia sama sekali tidak merasa bersalah. Sekeras apa hati gadis ini, tanyaku.

    Aku melangkah mendekat. Gadis itu tertunduk lesu. Sudah habis perlawanannya.

    “Sekarang bicara!” aku membuka kain yang menyumpal mulutnya.

    Dia menggeleng.

    “Dasar keras kepala! Kubilang bicara, ya bicara!” kembali aku membentaknya.

    Terdengar isakan tangis. “Aku ti…dak ta...hu,” ucapnya terbata-bata sambil berusaha menahan tangis.

    Bahkan dalam keadaan terjepit sekalipun, dia tetap saja tidak ingin mengungkapkan apa-apa. Menjawab pertanyaanku pun tidak.

    “Katakanlah, Nak,” tiba-tiba saja melompat keluar perkataan lembut dari mulutku. Aku wanita, tidak tega.

    Gadis itu mendongakkan kepalanya, mata kami saling tatap. “Namaku Sira,” dia kembali menunduk.

    “Kenapa kau lakukan ini, Sira? Kau masih remaja. Masa depanmu begitu panjang. Jika kau butuh bantuan, semua orang juga tahu aku akan siap membantu. Tidak perlu kau memakai cara hina ini,”

    “Trauma,” Sira kembali mengangkat kepalanya, menatap wajahku, “aku trauma,” matanya berkaca-kaca.

    “Beberapa minggu lalu, kudengar sudah dua rumah bercat merah juga kemalingan. Awalnya, aku tidak begitu percaya. Mungkin hanya kebetulan, rumah yang menjadi sasaran pencuri sama-sama berwarna merah. Ternyata, rumahku yang juga berwarna merah menjadi incaranmu selanjutnya. Kau yang mencuri dua rumah merah sebelumnya, kan?” aku menatapnya tajam, menyelidik.

    “Ya, aku yang melakukannya,” Sira mengangguk. Meski sedang menangis, tetap tidak terlihat penyesalan di wajahnya.

    “Kenapa?” tanyaku.

    “Aku benci warnah merah!” dia kembali menunduk dan terisak. Tetesan air matanya jatuh ke lantai. 

    “Lantas, jika membenci merah, haruskah kau luapkan dengan cara seperti ini?”

    “Aku tidak punya siapa-siapa. Aku juga tidak punya apa-apa. Semua orang membenciku. Kebaikan apalagi yang harus aku perbuat jika begini keadaannya?” air matanya mengalir deras.

    “Ceritakan, Nak. Ceritakan apa yang telah terjadi pada kau?” kugenggam tangannya yang masih terikat.

    “Sejak kecil, aku hanya tinggal bersama nenek. Hanya nenek yang sayang padaku, selebihnya membenciku. Teman-teman di sekolah, tetangga, bahkan orang tuaku sendiri, semuanya benci padaku. Termasuk kau!”

    “Aku?”

    “Ya, sudah kubilang, semuanya membenciku!”

    “Aku baru ingat, kau gadis kecil yang tinggal di ujung blok sebelah, kan?” aku teringat sesuatu saat menatap wajah Sira dari dekat. “Ya, aku mengingatmu. Kau gadis kecil yang dulunya begitu menyukai warna merah. Dengan riang, kau sering berlarian keliling kompleks memakai pakaian bahkan sandal berwarna merah.

    “Kenapa sekarang kau bilang benci warna merah, Sira?” tanyaku kembali.

    “Aku selalu diejek semua orang karena menyukai warna merah. Teman-teman di sekolah selalu mengatakan bahwa aku siswa paling norak. Para tetangga juga bilang aku orang yang aneh karena sering bicara sendiri. Apa kau ingat ketika kau mengunjungi nenek?”

    “I-i-iya. Ketika nenekmu masih hidup, beberapa kali aku sempat berkunjung mengantarkan makanan dan keperluan lainnya,”

    “Bagus! Itu berarti kau juga ingat ketika melihat tumpukan bukuku, dengan lantang kau bilang bahwa aku psikopat. Sadarkah kau, hanya karena aku menyukai bacaan thriller lalu kau sandangkan kata psikopat kepadaku?” mata Sira tampak merah, menahan marah.

    Aku tertegun.

    “Sekarang kau sudah ingat!?” sekarang ia yang membentakku.

Tatapan mata Sira seperti menghujam jantung. Bagaimana mungkin dahulu aku pernah berkata seperti itu. Manusia, makhluk pelupa akan dosa. Mulut tidak punya saringan, hingga keluarnya api dan air sama saja rasanya.

“Aku minta maaf.” kini aku yang menahan tangis.

“Tidak perlu maafmu! Sejak kau mengatakan aku psikopat, kau tau? Aku mendapatkan ide ini. Ide untuk menjadi pencuri rumah berwarna merah. Dan entah kebetulan seperti apa, kau mengganti cat rumahmu menjadi merah,” Sira tersenyum bak senyum pemeran antagonis di film. “Untungnya, aku tidak cukup disebut psikopat karena masih membiarkan nyawa pemilik rumah merah bertahan. Aku masih tidak tega untuk membunuh manusia, meski diriku telah lama terbunuh oleh omongan kalian!”

“Sekarang apa mau kau, Sira?” tanyaku.

“Lepaskan aku!” teriaknya.

“Tidak. Kau sudah tidak sehat. Tidak layak dibiarkan berkeliaran. Aku akan menghubungi pihak yang mampu mengatasimu. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku,”

“Aku tidak butuh manusia lainnya!” Sira kembali berteriak saat melihat aku menekan-nekan ponsel untuk menghubungi pihak yang akan mengatasi permasalah kejiwaan Sira.

Manusia, makhluk paling sempurna, namun, juga mudah lengah. Tidak menambatkan hal yang seharusnya menjadi bagian utama. Hati adalah sang raja. Apapun katanya, maka itu adalah titah. Lihat saja, bagaimana mungkin seorang raja memberi titah kebaikan jika ia tidak baik. Bagaimana pula rakyatnya, anggota tubuh yang lain bisa melakukan perlawanan pada sang raja.

Manusia, penuh dengan dosa. Namun, selama waktu masih ada, bukankah itu menjadi sebuah tanda? Ya, tanda bahwa cintaNya membujuk sang raja untuk segera mengubah titah. Membersihkan noda hitam menjadi titik-titik indah.

Ah, manusia. Keputusan ada padanya. Dan ini keputusanku untuk membantu Sira, gadis penyuka merah agar kembali menjadi manusia. 

Semoga semua dosa melebur sebelum dijemput masuk kubur.




 

Biodata Penulis

Nendi Dwi Wahyuni, penulis buku Nabastala Impian ini adalah seorang Sarjana lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Padang. Nendi memiliki karya-karya yang pernah diterbitkan, antara lain; Hadiah Giveaway Sina (antologi cerpen dan puisi sebagai karya cerpen terbaik 1), Kaya Materi Tersembunyi (antologi cerpen sebagai juara 3). Penulis bisa dihubungi melalui email:nendidwi6@gmail.com atau instagram: @nendidwiwahyuni.



Bukan Sekedar Rumah Kuno

Oleh : Ilmi Kurnia Islamiyah


Suasana malam yang mencekam serta udara dingin yang menyelimuti perjalananku pulang tak sesekali sekujur tubuhku merinding dan menggigil kedinginan. Netraku melirik ke arah sekitar jalan yang kulewati, jalanan kali ini sangatlah sepi tidak ada satu orang pun yang berlalu lalang. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri, shit pantas saja jalanan sepi, sekarang sudah jam 23:15 WIB. 

Aku merutuki diriku sendiri, kalau saja aku tidak melakukan kesalahan fatal ke dosen pembimbingku yang membuat aku harus terkena hukuman, pastinya saat ini aku sudah terlelap dalam dunia mimpiku. Namun, lagi-lagi kesialan menghampiriku, di tengah perjalananku pulang  sepeda yang kutumpangi mogok yang mengharuskan untuk kubawa ke bengkel. Tidak ada jalan lain selain pulang dengan jalan kaki, sungguh hari ini sangat menguji kesabaranku.

Langkah kakiku semakin cepat, tak sesekali kepalaku menoleh ke arah belakang untuk memastikan tidak ada sesuatu yang mengganjal. Tanganku memegang erat tali tas yang ku selempangkan ke arah depan dada. Tidak jarang suara burung hantu menemani ritme perjalananku. Aku menundukan kepala ke bawah sambil meramalkan doa, berharap tidak terjadi apa-apa. 

Sebentar lagi aku melewati sebuah rumah kuno di ujung pertigaan jalan Mawar. Rasanya aku ingin putar balik lewat kampung sebelah tetapi akalku menolak keras karena jika aku putar balik otomatis aku harus berjalan lebih jauh lagi untuk sampai di rumah. Hanya melewati jalan Mawar inilah salah satu alternatif untuk cepat sampai di rumah. Konon katanya, rumah kuno yang terletak di pertigaan jalan Mawar adalah peninggalan jaman penjajahan Belanda yang terbengkalai begitu saja. 





Sreeettt

Deg!

Langkahku terhenti ketika mendengar suara aneh dari dalam rumah kuno tersebut. nafasku tersenggal-senggal tidak beraturan, jantungku semakin berdebar begitu cepat. Mataku menyipit melihat ke arah rumah kuno yang kini ada di depanku, rumah kuno tersebut terlihat tidak terurus halaman rumahnya di tumbuhi tumbuhan  liar yang menjulang tinggi. 

Sreeettt

Lagi, suara itu terdengar  jelas di telingaku. Entah kenapa, niat ingin melanjutkan untuk pulang malah langkah kaki menyeretku untuk ke rumah kuno tersebut. Untungnya ada jalan kecil untuk ke rumah tersebut yang tidak membuatku menerobos tumbuhan liar itu.

 Aku mencari celah agar bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Netraku melihat ke arah dalam rumah tersebut melalui celah jendela yang terbuat dari kayu jati. Cahaya yang redup menerangi ruangan di dalamnya, ruangan tersebut kosong tidak ada satu barang pun yang tergelatak begitu saja. 

“Akhh, ku-mohon.”

Mataku melotot melihat adegan di sudut ruangan. Keringatku mulai bercucuran, dadaku kembang-kepis. Ini tidak mungkin tetapi ini sangat terlihat jelas. Aku melihat orang berpakaian serba hitam yang memunggungiku sedang melakukan pembunuhan kepada seorang wanita. Tak hanya itu, perut wanita tersebut ia robek-robek dengan pisau yang ada di tangannya. Parahnya lagi usus dan ginjalnya ia masukan ke dalam kantong plastik hitam.

Bau anyir dari darah yang keluar membuat gejolak di perutku, sebisa mungkin aku menahan rasa ingin mual. Aku menutupi hidung dan mulutku dengan telapak tanganku, mataku melihat ke arah tangan kirinya ia membawa sebuah paku, tetapi untuk apa? 

Jleb




Aku meringis ngeri melihat apa yang ia lakukan. Ini sangat tidak manusiawi bahkan ia seperti binatang yang tidak beradab. Kelopak mata wanita itu ditusuk-tusuk dengan paku yang ada di tangannya, darah yang keluar muncrat begitu saja. Orang berpakaian hitam tersebut membungkuk kan tubuhnya, ia mencondongkan kepalanya ke arah wajah wanita yang sudah kehilangan nyawa tersebut. 

Huekkk

Sungguh aku tidak tahan dengan bau anyir ini. Aku bernafas lega karena orang tersebut tidak mendengar suaraku. Memang sudah gila, batinku. Orang itu menjilati darah yang ada di tubuh wanita tersebut, tak hanya itu darah yang ada di ubin pun juga ia jilati. 

Setelah puas menjilati darah ia melangkahkan kakinya ke arah pintu. Tanpa berpikir panjang aku segera meninggalkan rumah kuno tersebut. Sepanjang perjalanan pulang aku berlari sekencang-kencangnya, otakku berpikir keras semoga ini hanya bunga tidurku.

Jumat, 21 Agustus 2020

Rumah, Bukan Tujuanku Kembali

Oleh : Nafa Shahamah I.N.

Gemericik suara air menggema di telinga. Harum bau tanah menenangkan pikiran. Meski rasa dingin menerpa, tidak ada alasan untuk membenci hujan. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh seorang gadis yang meringkuk di pinggir jalan.

Gadis mungil itu mencampakkan tubuhnya yang menggigil lesu, menghiraukan perut yang meronta, serta mentiadakan keberadaannya di dalam kuasa malam. Bibir pucatnya mengela napas. Ia tak mampu mengeluh. Sudah terlalu banyak rasa tak adil dalam hidupnya. Hingga akhirnya ia lupa cara menghitung angka.

Tiba-tiba, ada sepasang sepatu berada di depannya. Ia tertegun ketika hujan tak lagi menjatuhi tubuhnya. Kedua matanya menangkap sesosok laki-laki yang membawa payung. Ikut berjongkok di depannya sambil tersenyum.

"Halo. Siapa namamu?" sapa pria itu. Namun gadis itu memalingkan wajah. Menolak menjawab dan memilih terdiam. "Kau tidak kedinginan?" tanya pria itu lagi. "Rumahku tak jauh dari sini. Kau mau mampir? Setidaknya aku bisa memberimu cokelat panas."

Gadis itu menautkan alis. Ia tak menyukai orang yang sok kasihan padanya. Tapi, perutnya tergiur oleh minuman cokelat itu. Berselang beberapa detik, gadis itu mengangguk pelan.

Pria bersetelan jas hitam itu tersenyum kecil. Ia menggandeng tangan mungil si gadis dan berjalan berdampingan menuju rumahnya. Setelah sampai, pria itu meminta si gadis agar mandi dan mengganti bajunya. Ia tahu gadis itu tak nyaman menggunakan pakaian basah seperti itu.

"Seperti yang kujanjikan," kata si pria menyodorkan cangkir pada si gadis. Tanpa mengeluarkan suara, si gadis langsung menerima dan meminumnya perlahan. Cairan cokelat itu mengalir ke lehernya dan memberikan kehangatan. Ah, si gadis nyaris melupakan rasa hangat ini.

"Terima kasih, Paman," cicit si gadis sambil menunduk.

Mendengar suara kecil si gadis, membuat pria berkacamata itu tersenyum. "Namaku David Steven, kau boleh memanggilku apa saja. Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

Gadis itu berkedip perlahan. Menyakinkan dirinya untuk membuka suara. "Nafa."

"Nafa, ya? Nama yang bagus," puji David sebelum meminum cokelat panasnya. Ia menatap jendela yang masih menampilkan hujan deras di luar rumah. "Sepertinya hujan masih lebat. Di mana rumahmu? Akan kuantar dengan mobil," tawarnya.

"Rumah?" gumam Nafa yang nyaris tak terdengar oleh David. Mata kosongnya kini menatap David. "Paman, rumah itu apa?"

"Eh? Itu ...." David tertegun. Ia memutar kedua matanya mencari jawaban. "Rumah itu tempat tinggal."

Nafa memiringkan kepalanya. "Aku tinggal di jalanan. Apakah jalanan rumahku?"

"Mungkin iya? Mungkin juga tidak?" David menyengir dan menggigit bibirnya. Ia takut perkataannya akan menyinggung perasaan lugu gadis di depannya.

"Intinya, rumah itu adalah tempat di mana kau merasa senang untuk kembali. Walaupun kau pergi ke ujung dunia sekalipun, tempat terakhir yang akan kau kunjungi adalah rumah," jelas David ngelantur. Ia sendiri bahkan tak yakin dengan apa yang ia barusan bicarakan.

Nafa menunduk, menatap pantulan dirinya di minuman cokelat. "Jadi aku harus kembali ke tempat 'itu' ya?" gumamnya.

"Hmm? Kau mengatakan sesuatu?"

"Sebenarnya sebelum aku di jalanan aku mungkin memiliki tempat yang Paman sebut rumah," jelas Nafa.

"Benarkah?" Nafa mengangguk. "Kalau begitu kau bisa pulang. Di mana itu? Aku akan mengantarkanmu ke sana!" ujar David antusias. Ia berdiri dan mengajak gadis itu keluar. Meski hujan masih deras, tak membuat mobil itu berhenti.

"Kau pasti rindu dengan rumahmu, bukan?" tanya David tanpa melihat ke arah gadis yang kini duduk di sampingnya.

"Kurasa Paman sedikit salah." David melirik Nafa sambil terus berusaha fokus ke jalanan. "Tempat 'itu' terlalu dingin untuk disebut rumah. Kalau tidak, tidak mungkin aku berakhir di jalanan."

Mendengar hal itu, David sedikit ragu. Apakah memulangkan gadis ini adalah pilihan yang tepat? Tidak. Anak-anak memang seharusnya berada di rumah. Bukan di jalanan yang penuh bahaya. Ia meminggirkan mobilnya di tepi jalan. Ia harus menyakinkan gadis ini terlebih dahulu.

"Jadi, kau tidak mau pulang?" tanyanya. "Aku tak tahu apa yang sudah kau alami. Tapi apapun itu, meski rasanya kau ingin pergi. Rumah adalah tempat paling aman. Setidaknya itu lebih baik daripada jalanan."

"Tidak!" tolak Nafa sambil mencengkram bajunya. "Paman tak mengerti. Tempat 'itu' bukan rumah. Tempat 'itu' adalah neraka. Di dalamnya hanya ada iblis, bukan keluarga."

David memegang bahu mungilnya. "Meskipun begitu. Rumah adalah satu-satunya tempatmu kembali," ujarnya lembut. 

Tapi rasa lembut David tak mampu menggoyahkan Nafa. Justru, kilatan kebencian keluar dari matanya. "Daripada aku harus ke sana, lebih baik aku tak pernah kembali, saja!" pekiknya lalu keluar dari mobil itu. Menembus hujan yang kembali menerpanya.

"Tunggu, Nafa!" panggil pria itu ikut keluar dari mobil. Menyusul Nafa yang tengah berlari menuju gang kecil. Entah karena lari Nafa yang cepat atau apa, David kehilangan jejaknya. Merasa putus asa, ia kembali ke dalam mobil dan memutarnya menuju tempat yang ia sebut rumah.

"David, lagi-lagi kau terlalu ikut campur dengan urusan orang lain," gerutunya pada dirinya sendiri. 

Meskipun pikirannya menolak, setiap hari ia mencari keberadaan gadis mungil itu. Segala cara ia lakukan untuk menemukannya. Namun hasilnya selalu nihil. Gadis itu menghilang tanpa jejak. Seminggu sudah ia mencari. David mulai menyerah. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya mencari Nafa. Ia sudah terlalu banyak membuang waktunya.

Hari ini adalah Hari Sabtu. Akhir pekan untuk pekerja kantoran seperti David. Di bawah rintik hujan, ia kembali ke gang sempit itu. Mencari keberadaan Nafa untuk terakhir kalinya. Tak seperti hari sebelumnya, ia melangkah lesu memasuki jalanan yang tak pernah ia lalui sebelumnya.

Bruk.

Ah, cerobohnya dia. Karena tak semangat, ia nyaris menginjak seseorang yang terkapar di jalanan. Tunggu, apa orang ini mati?

"Hei, kau tak apa?" tanyanya pelan lalu membalik tubuh orang itu. Betapa terkejutnya David ketika wajah yang ia dapati adalah wajah seorang gadis yang selama ini David cari. Sontak ia membuang payungnya dan mengangkat Nafa ke pangkuannya. Tubuhnya lebih lemah dibandingkan saat pertama mereka berjumpa.

"Nafa, kau tak apa? Apa yang terjadi? Jawablah aku," ujar David getir. Inilah yang ia khawatirkan dari jalanan. Terlalu berbahaya untuk gadis mungil seumuran dengan Nafa.

"A ... da di ... saku," lirih Nafa sambil menunjuk ke arah saku celananya. David yang mengerti kode itu langsung merogoh dan mencari sesuatu di dalam sana. Ia menemukan sebuah botol. 

"Apa ini obat?" Hati David ragu.

Tapi tangan Nafa seolah ingin menggapai botol itu membuatnya yakin. Setelah membuka tutup botol, David membantu Nafa untuk meminumnya. "Ayo kita ke rumah sakit. Mereka pasti bisa menyembuhkanmu," ujar David saat Nafa selesai meminumnya.

"Tidak perlu, Paman," kata Nafa sedikit tersenyum. Sedikit membuat David lega, gadis itu baik-baik saja.

"Kalau begitu, kita akan ke rumahku. Aku tak bisa membiarkanmu tidur di tempat seperti ini." David menggendong Nafa dan berjalan pelan keluar dari gang.

"Rumah?" cicit Nafa.

"Iya rumahku. Kau masih ingat, bukan? Kita akan kembali ke sana."

"Jangan," tolak Nafa sambil mencengkram kemeja David. "Aku sudah memiliki tempat untuk kembali."

Mendengar hal itu, membuat David berbinar. "Kau mau pulang ke rumahmu?"

Nafa menggeleng. "Bukan. Tempat ini jauh lebih baik daripada rumah. Jauh lebih hangat, lebih nyaman, dan lebih menyenangkan."

"Itu pasti tempat yang indah, ya?" David tersenyum tulus. Pencariannya tak sia-sia. Kini Nafa memiliki tempat kembali. "Apa aku boleh mengunjunginya?"

"Tentu saja. Tanpa harus kuundang, Paman pasti akan ke sana. Tempat di mana semua manusia akan berakhir. Tempat di mana semua manusia akan kembali," jelas Nafa yang membuat langkah David terhenti.

"Tunggu, Nafa. Jangan bilang--" sepenggal kata David terpotong oleh senyuman Nafa.

"Akan kutunggu di sana. Selamat tinggal, Paman," kata Nafa tersenyum sebelum akhirnya ia menutup mata.

"Apa maksudmu, Nafa? Hei, Nafa?!" David mulai panik. Tangannya lalu bergerak menyentuh leher Nafa. Tubuhnya seolah ambruk ketika tak mendapati denyut jantung di sana. David menahan air matanya.

Gadis itu sudah pergi. Atau bisa dibilang ia kembali?

Tamat.


Selasa, 18 Agustus 2020

Life After COVID-19

Ditulis oleh Erica Agustina 


Kuhirup kuat-kuat udara segar pagi hari yang masih temaram. Aku sudah siap dengan kaos oblong dan celana basket bekas SMA dulu, juga sepatu yang ala kadarnya untuk mengawali hariku dengan lari pagi keliling kampung. Lebih tepatnya berkeliling sebatas RT-ku saja. Bermodal style bajuku yang alakadarnya, aku pun telah melakukan pemanasan, kini aku siap untuk lari pagi. Setiap pagi, banyak warga yang juga melakukan olahraga. Tak hanya berlari, banyak pula yang memilih untuk bersepeda, bermain bulutangkis, bermain volly, atau hanya sekedar jalan-jalan menikmati udara sejuk. Bukan karena hari ini hari minggu, tapi olahraga telah menjadi kebiasaan masyarakat kami semenjak pandemic covid-19 dua tahun lalu.

Semenjak kedatangan tamu tak diundang itu, kehidupanku berubah drastis. Aku Rana 23 tahun yang hanya seorang buruh pabrik sabun. Aku harus berbesar hati menerima putusan pemberhentian hubungan kerja dari perusahaan. Aku kelimpungan. Bagaimana aku membantu orang tua menguliahkan adikku? Mengapa dulu aku tak merampungkan kuliahku hanya karena terlena pada lelaki yang sekarang malah jadi suami orang lain. Sial!  Aku tengah duduk santai di depan rumah dengan secangkir kopi pahit sepahit pikiranku yang penuh sesal.

Tanganku memukul kasur yang mulai tipis. Seandainya kasurku bisa bicara, mungkin dia akan protes padaku. Sebab sudah lima hari ini aku tak beranjak darinya kecuali ke ruang makan dan ke kamar mandi. beginilah seorang pengacara alias, pengangguran banyak acara. Ibuku hanya seorang penjual gado-gado sedangkan ayah, beliau seorang supir taxi. Adikku, Oge sedang mengampu pendidikan strata satu. Mengandalkan penghasilan ayah yang tak menentu, tak berbeda dengan penghasilan ibu, keduanya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari yang harganya makin melonjak saat itu. Mau tak mau, otakku yang sederhana ini berpikir keras mencari solusi untuk mendapatkan tambahan rupiah. Demi menyanggupi kebutuhan kuliah Oge juga menjaga dapur tetap mengepul.

"Bu, aku jualan online saja ya! Gara-gara pandemi, sekarang serba online." celetukku secara tiba-tiba membuat keseriusan ibu, juga ayah yang sedang asik nonton sinetron menjadi terpecah.

"Mau jualan apa? Gado-gadonya Ibu, hm?"

"Ya gak pa-pa, Bu. Aku daftar itu loh ojek makanan." kataku, sambil asik mengutak-atik ponselku mencari informasi ojek makanan online.

"Coba aja, Mbak." jawaban Ayah memberiku semangat untuk begadang semalaman mendaftar layanan ojek makanan online tersebut.

Pagiku selalu terganggu dengan wanita bersuara cempreng berkoar melalui toa. Itu tandanya mobil desa sedang berkeliling mengingatkan para warga agar waspada dengan pandemi yang saat itu sedang melonjak tinggi dalam tiga bulan terakhir. 

“Ayo bapak, ibu, ajak seluruh anggota keluarga untuk berolahraga dan berjemur pagi hari. Selalu jaga kesehatan dengan makan-makanan yang bergizi. Jangan lupa tetap menjaga kebersihan dengan mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, jaga jarak, dan jangan lupa menggunakan masker.” Begitulah kurang lebih. Kalimat yang sama, berulang-ulang diucapkan oleh suara sumbang itu. Mobil desa berkeliling setiap hari dipagi hari. Seminggu sekali petugas desa menyemprot desinfektan, katanya. Tapi nyatanya cuma dua kali dalam kurun waktu  satu bulan. Itu pun hanya di awal bulan saja. Tak hanya suara sumbang yang mengganggu nyamanku, tapi suara lembut ibu sedang menggerutu. Ibu sedang dongkol. Sebab ibu tidak mendapat jatah sembako dari pemerintah.

"Katanya sembako diberikan merata, tapi kenapa aku gak dapat?" kata ibu. Telingaku terasa panas. Dengan berat siku, aku bangun dari tempat tidur dan melihat ibu sedang berkacak pinggang sembari mulutnya manyun. Lucu sekali.

"Sudahlah, Bu. Anggap saja kita orang kaya yang tidak berhak dapat sembako." jawabku ingin membesarkan hati ibuku. Namun, malah sebaliknya. Aku dicacinya habis-habisan.

"Helleh … Buktinya haji Udin dapat sembako. Padahal, dia salah satu orang kaya di desa kita. Itu tidak adil namanya. Virus ini berdampak pada semua orang, tidak memandang status sosial. Pasti ini dari sono ada yang korupsi ini. Bagaimana Negara ini mau maju kalau masyarakatnya menggerogoti tanpa rasa bersalah seperti itu. Tak ada akhlak." Selesai mendengar protes hatinya ibu, aku berlalu pergi. Lebih baik aku tak berkomentar mengenai itu daripada aku berdebat panjang mengenai politik Negeri ini yang … entah lah.

Sorot sinar jingga mulai terlihat dari ufuk barat. Langit ikut berwarna jingga, sangat cantik sekali. Pagi ini tidak seperti pagi biasanya. Begitu pula dengan ibu, hari ini tidak seperti ibu biasanya. Beliau masih sibuk melayani pembeli. Hingga menjelang magrib berkumandang, ibu tetap menerima pesanan gado-gado online. Paling tidak, kesibukan hari ini membuatnya lupa akan kemarahannya mengenai sembako yang tidak dibagi rata itu. Lebih tepatnya tidak dibagi secara adil, menurut ibuku.

*****

Peraturan pemerintah mengenai pembatasan sosial sudah mulai menjadi budaya baru. Keluar rumah selalu pakai masker dan tak lupa membawa hand sanitizer. Aku pun juga mulai terbiasa dengan pemberlakuan jam malam. Menikmati secangkir kopi hitam bersama bapak di depan rumah menjadi kebiasaan baru. Beda dengan adikku. 

"Ah, seperti anak kosan saja. Jam sembilan akses keluar masuk udah ditutup." Oge masuk rumah sambil mulutnya mancung. 

Ibu yang sedang duduk di ruang tamu menyambut Oge dengan pertanyaan, "Ge, dari mana? Udah cuci tangan belum?"

"Apaan sih, Bu. Oge cuma nongkrong di warung kopinya Mas Ulung, ngapain pake cuci tangan? dekat sini juga kan. Ribet amat!" jawaban Oge membuat ibu naik pitam. 

"Orang-orang ngeyel kayak kamu ini yang bikin pandemic nggak mau pergi. Nyusahin Negara aja. Mana masuk rumah nggak pakai salam lagi, sana cuci tangan. Jangan bantah!"  bentak ibu. Melihat wajah ibu yang seram, membuat Oge kikuk. Lalu dengan jalan cepat ia pergi ke kamar mandi.

Sudah seminggu, Oge pulang dari tanah perantauan. Dia kuliah dengan sistem daring. Hal itu pula yang membuat ibuku ngoceh merdu ketika Oge memberi tahu mengenai pembayaran uang semester.

"Uang semester nggak ada potongan, Ge? ‘Kan nggak dapat fasilitas kampus, harusnya dapat keringanan dong." tanya ibu protes.

Oge pergi meninggalkan ibu yang tetap dengan kebingungan. Ia enggan untuk menjawab protes itu, karena dia juga tidak mengerti harus menjawab apa. Namun, suara samar-samar kudengar, Oge menggumamkan sesuatu sebelum hilang dibalik pintu kamarnya. “Dasar ibu-ibu tetap aja nggak mau rugi meskipun lima ratus perak.”

"Dosa lu, Ge, ngatain Ibu gitu." ujarku sambil tertawa kecil. 

"Apaan sih, Mbak." ucapnya setengah teriak diakhiri dengan debam suara pintu kamarnya. Sedangkan ibu celingukan, penasaran dengan percakapanku dengan Oge. 

"Ada apa, kok bawa ibu segala?" Aku menggeleng disertai senyum kecil.

Makin hari, penjualan gado-gado online ibu makin laris. Ucap syukur tak pernah putus terucap dalam setiap bungkus gado-gado yang diantar ke pelanggan. Kini giliranku yang mencoba peruntungan lewat lapak yang kubuka di beberapa ecomers. Aku menjual masker kain yang belum buming saat itu. Aku membantu Mbak Ike menjual masker kain buatannya. Mbak Ike adalah seorang make up pengantin yang sekarang sedang sepi job. Hal itu membuatnya putar otak mencari penghasilan. Kemudian, akhirnya Mbak Ike membuat masker kain dengan modal keahliannya yang dulu pernah melakukan kursus menjahit. 

Penjualanku laris manis. Kebanyakan masyarakat beralih memilih masker kain, dikarenakan penjualan masker yang umum dikenakan oleh tenaga medis itu, mengalami kelonjakan harganya kian hari kian membumbung tinggi seiring peraturan pemerintah yang mewajibkan penggunaan masker. 

Aku merasa semakin nyaman berbisnis online. Tak kusangka, aku bisa buka bisnis yang kuurus sendiri tanpa repot mengikuti jam masuk pabrik. Walau penghasilanku tak sebesar upah kerja buruh pabrik, tapi setidaknya aku tak capek mengejar target minimal produksi. Cukup duduk di rumah, buat kalimat promosi yang akan disebar dan upload pada media social. Aku hanya menunggu pembeli yang dating dengan sedirinya. Sungguh mengasikkan.

Begitulah kehidupanku dua tahun yang lalu. Kehidupanku berubah drastis. Kini kita masuk pada masa normal yang baru pasca pandemi. Aku meyakini, musibah datang bersama dengan hikmahnya. Pandemi datang membuat sebuah peradapan baru pada dunia.

Survival of the fittest and healthy life with eco environment.

*****

Di awal-awal pandemi, kita merasa keberatan untuk merubah kebiasaan lama. Yang malas bangun pagi, harus bangun pagi. Yang malas olahraga wajib melakukan olah tubuh demi menjaga imunitas. Yang tak suka makan sayur, harus dipaksa suka sayur untuk memenuhi kebutuhan vitamin dalam tubuh. Survival of the fittest, daya tahan tubuh kita harus kuat demi terhindar dari penularan virus berbahaya itu.

Udara menjadi makin bersih. Asap hitam yang biasa setiap pagi dan sore keluar dari cerobang tempat produksi pabrik telah berkurag, sebab ketidak seimbangan antara hasil produksi dan permintaan yang mengharuskan perusahaan mengurangi hasil produkainya. Ditambah, pembatasan sosial berskala besar yang mengharuskan masyarakat untuk membatasi pergerakan atau mobilitasnya di luar rumah. Jadi, volume asap kendaraan bermotor pun jauh berkurang. Hidup kita menjadi lebih sehat dan ramah lingkungan, healthy life with eco environment.

Kita jadi bisa melakukan hal-hal baru diluar zona nyaman, out of the box sepertiku. Berkah dari pemberhentian kontrak kerja, berjualan online alias berbisnis yang telah membawaku ketitik sukses. Berkah yang tak kalah baik yaitu kita bisa puas berkumpul bersama keluarga. 

Aku yakin, alam memiliki caranya sendiri untuk meremajakan kondisinya kembali. Mungkin, pandemi ini adalah salah satu caranya untuk memperbaiki kebobrokan bumi yang semakin hari semakin kotor akibat keserakahan manusia yang tidak tahu terima kasih karena telah diberi kehidupan dan diperbolehkan menumpang di atasnya.

Semoga dikehidupan normal yang baru ini, kita makin sadar akan teguran alam. Alam mengingatkan kita untuk kembali pada fitrah sebagai manusia, manusia yang cinta, juga menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan. 


-Selesai-



Bionarasi


Erica Agustina, seorang ibu rumah tangga lahir pada 24 Agustus 1994 di Sidoarjo, Jawa Timur. Hasil karya yang telah diterbitkan yaitu; antologi cerpen – La Storia Del Barista; antologi cerpen – Dreamer’s Challenge; antologi puisi – Cinta yang Akan datang.  Segala kritik dan saran dari rekan-rekan bisa disampaikan melalui akun wattpad @RLanduh_ atau surel erica.agustina55@gmail.com. Menjadi ibu rumah tangga tak menjadi batasan untuk tetap terbang meraih mimpi.