Sabtu, 13 Juni 2020

Lengkungan Berkah

Oleh: Nendi Dwi Wahyuni


Malam begitu gelap. Meski berkelap-kelip, bintang tidak terlihat indah seperti biasanya. Meski sudah makan, namun rasa lapar tak kunjung reda. Meski sudah tidur semalaman, namun kantuk terus menerpa. Meski bernapas tanpa biaya, namun tetap sesak melihat yang lain bahagia. Meski semua terlihat berkecukupan, namun tak pernah syukur tercipta. Aku, manusia.

“Gila kamu!”

“Tidak, bu. Justru karena aku tidak gila aku mengambil keputusan ini,”

“Tidak. Ibu tidak akan mengizinkanmu!”

“Bu, aku mohon.”

Aku, manusia. Makhluk paling sempurna di antara ciptaanNya. Aku, seorang wanita. Yang diciptakan Sang Pencipta begitu mulia. Derajatnya tinggi menjulang.

Selama ini aku hidup berkecukupan. Menjadi anak tunggal dari kedua orangtua yang tidak kenal lelah mencari kebutuhan.

Suatu hari aku diberikan video yang begitu menyedihkan oleh temanku. Banyak anak-anak yang kelaparan. Ledakan bom di mana-mana. Perang. Meski negara-negara di dunia terlihat bahagia, ternyata masih ada negara yang belum merdeka. Aku sudah lama mendengar kabar tentang ini. Namun, aku tidak pernah begitu menanggapinya. Mungkin dulu aku begitu melakoni sebagai seorang manusia yang tak berjiwa.

Kini, aku tersadar. Ada cinta dari mereka untukku. Ada kasih berupa peduli yang mereka inginkan dariku. Tidak. Mereka bahkan tidak pernah meminta kepadaku yang tidak punya rasa cinta. Mereka hanya berharap pada Sang Maha Cinta. Hatiku diketuk olehNya, hingga mulai tumbuh rasa manusia yang hakikatnya dicipta.

Aku mengambil keputusan. Sudah cukup selama ini aku berlebihan. Sudah cukup selama ini aku tidak punya kepedulian. Berhenti menjadi manusia yang penuh keegoisan. Aku mengambil keputusan. Aku akan berangkat membantu saudara-saudaraku di sana.

Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak di atas dipan, sementara mereka tengah disiksa. Aku di sini hanya mempertahankan cita-cita untuk menggapai dunia, sementara mereka mempertahankan agama. Aku diberi kelebihan, sementara mereka serba kekurangan. Aku harus memberikan kontribusi terbaik. Kuberikan cinta lewat doa. Kini, Sang Pemilik Takdir telah menetapkan bahwa aku bisa untuk membantu saudara di Palestina.

“Ayah,”

Ayah hanya diam. Sementara Ibu, sibuk menangis.

“Lebih baik Ibu jatuh miskin daripada harus kehilangan kamu, nak,” isak tangis Ibu semakin kencang.

“Apa sebenarnya tujuan kamu?” akhirnya Ayah angkat bicara.

Dengan pasti dan tanpa keraguan aku menjawab, “Keberkahan dari Allah, yah,”

“Lalu kuliah kamu bagaimana?” Tanya Ayah lagi.

“Aku akan menyelesaikannya segera. Setelah wisuda, barulah aku berangkat, yah,” jawabku dengan tenang.

“Bagaimana dengan perusahaan yang sudah menunggumu untuk segera wisuda dan bekerja di sana?”

Seketika aku teringat. Betapa pelupanya aku. Aku lupa bahwa perusahaan tempat aku magang sudah menjajikan agar aku bekerja di sana setelah menjadi sarjana. Bahkan aku dijanjikan sebuah posisi yang diidamkan banyak orang.

“Jika benar di sana Allah menetapkan rezekiku, maka aku akan tetap diterima bekerja di sana setelah pulang dari Palestina nantinya. Tapi jika tidak, maka rezekiku sudah ditempatkan di tempat lain oleh Allah, yah. Dan itu jauh lebih baik,” aku berusaha meyakinkan Ayah.

“Baiklah. Dengan terpaksa, Ayah mengizinkanmu,” Ayah mengusap kepalaku.

“Bu,” aku kembali menatap Ibu yang sesenggukan.

“Tapi kamu harus berjanji kembali dengan selamat,” Ibu memegang wajahku.

Kutatap mata Ibu. Terlihat jelas ia begitu takut kehilangan aku, anak semata wayangnya. Wanita yang dengan susah payah merawatku hingga dewasa. Bagaimana mungkin Ibu melepasku begitu saja.

“Karena itu, aku butuh doa Ibu. Doakan aku agar selamat di sana, bu,” kupeluk erat tubuh Ibu. Akhirnya air mataku jatuh. Aku menangis dalam pelukan sang Ibu. Ayah juga ikut memeluk dua wanita yang paling ia sayang.

Setelah mendapat perizinan, aku semakin giat menyelesaikan kuliah. Tidak memakan waktu yang lama, aku wisuda. Kukirim pula email ke perusahaan yang menantiku bekerja di sana, bahwa aku memutuskan untuk menunda bekerja.

Ayah dan Ibu mengantarkanku ke bandara. Tidak banyak percakapan antara kami bertiga. Aku tahu, Ayah dan Ibu begitu mengkhawatirkan aku. Pun dengan diriku sendiri. Aku sebenarnya juga begitu takut, hanya saja tekadku untuk menolong para saudara di sana lebih besar dari rasa takut.

Aku pergi. Entah akan kembali atau tidak. Pun jika diizinkan kembali, entah masih sesempurna sekarang atau tidak. Tidak ada yang tahu. Yang jelas, niatku Lillah. Yang aku tahu, apa-apa yang kuperbuat demi mendapat keberkahanNya maka tidak ada yang sia-sia. Yang aku percaya, bahwa Allah tidak akan pernah mengingkari janjiNya.

“Ayah, Ibu. Aku pamit.”

Kembali kupeluk kedua malaikat berwujud manusia itu. Mungkin itu adalah pelukan terakhir atau mungkin itu adalah pelukan yang akan menyelamatkanku selama di sana.

Aku berangkat. Meninggalkan negara tercinta. Jauh dari orangtua. Aku melakukannya demi cita-cita, yang bukan hanya dunia balasannya, tapi juga di akhirat tempat kita kelak abadi selamanya.






Tentang Penulis

Nendi Dwi Wahyuni memiliki hobi menulis karena menulis mampu membuat sang penulis abadi. Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia ini memiliki karya-karya yang pernah diterbitkan, antara lain; Hadiah Giveaway Sina (antologi cerpen dan puisi sebagai karya cerpen terbaik 1), Kaya Materi Tersembunyi (antologi cerpen sebagai juara 3). Penulis bisa dihubungi melalui email:nendidwi6@gmail.com


1 komentar:

  1. Good job buat penulisnya... 👍 ditunggu karya selanjutnya dan semangat....😊

    BalasHapus