Sabtu, 13 Juni 2020

KILAU PERMATA BANGSA

Raydinda Laili Shofa


    Pagi cerah berpayungkan awan biru diiringi hembusan alun sang bayu. Alunan musik gamelan menghiasi sebuah padepokan sederhana di sudut desa yang asri. Suasana kebudayaan telah tercium nun jauh sebelum menemukan tempat itu. Pemiliknya tak lain adalah seorang lelaki tua yang berdedikasi tinggi, Ki Sukma. Suara seorang sinden yang tak lain adalah putri bungsu Ki Sukma sendiri turut memeriahkan persiapan pementasan wayang yang akan digelar malam itu.

    “Sinta, bapak kepengen kamu yang nantinya meneruskan padepokan ini,” ujar Ki Sukma mengawali pembicaraan.

    “Pak, kita sudah sering membicarakan ini. Sinta sudah jawab kalau Sinta ndak mau. Kenapa Bapak selalu memaksa Sinta sih, Pak?” Sinta bertanya dengan nada marah.

    “Karena hanya kamu yang masih bisa bapak andalkan, Sinta. Kakak-kakakmu itu sudah ndak mau lagi meneruskan padepokan ini. Lagipula, kamu sudah kuliah, jurusan seni juga, sudah selayaknya kamu bekerja, juga menikah dengan Rama. Bapak dan bapaknya Rama itu berteman baik, saat kalian lahir, kami sepakat untuk menjodohkan kalian. Makanya, kami memberi nama Sinta dan Rama. Agar nantinya kalian bisa menjadi pasangan yang serasi, seperti tokoh wayang Dewi Sinta dan Rama,” ujar Ki Sukma panjang lebar.

    “Tapi, Pak, Sinta juga punya mimpi. Sinta juga pengen seperti Mas Pandu, Mas Arjuna, Mas Sadewa, yang bisa menggapai apa yang mereka cita-citakan, Pak. Impian Sinta itu jadi penyanyi pop terkenal, bukan sinden, Sinta juga belum pengen menikah, Pak. Bapak juga ndak berhak menentukan pendampingku. Aku harap bapak bisa mengerti itu,” jawab Sinta sembari meninggalkan bapaknya.

    Ki Sukma terbatuk lagi. Semakin hari semakin parah. Beliau melihat tangannya, tampak bercak darah yang sudah biasa dilihatnya. Ia menatap para remaja yang tengah berlatih memainkan gamelan untuk pementasan nanti malam. Beliau sungguh ingin padepokan ini terus berjaya sampai ke tangan anak cucunya kelak. Tapi sepertinya itu tak mungkin terjadi jika melihat perilaku anak bungsunya, anak satu-satunya yang bisa ia harapkan, karena hanya Sinta yang menuruni bakatnya.

    “Sinta, kamu harus bersiap untuk nanti malam,” ujar Ki Sukma pelan.

    “Pak, Sinta kan udah bilang, nanti malam Sinta ada panggilan konser, bayarannya juga lebih besar daripada nyinden. Aku cuma pengen kehidupan kita meningkat, Pak. Sinta juga pengen membuat bapak bahagia dengan kehidupan kita yang lebih baik. Kakak-kakak Sinta sudah berhasil. Sinta juga ingin dibanggakan seperti mereka, Pak,” jawab Sinta sembari mempersiapkan alat make up-nya.

    Mereka terdiam sejenak hingga akhirnya, Sinta angkat bicara.

    “Oke, Sinta mau ke pementasan bapak. Tapi setelah konser Sinta selesai,” ujar Sinta kemudian dengan nada agak terpaksa..

    “Apa hanya karena bayaran kamu sudah ndak mau nyinden lagi, Sin? Lagu-lagu barat itu sudah membuat kamu ndak cinta lagi sama budaya negeri ini. Bapak bahagia kalau kamu mau meneruskan padepokan ini. Bukan uang yang bapak inginkan, tapi budaya negeri yang terus berjaya-lah yang bapak harapkan, dan bapak ingin itu berada di tangan kamu, Nak,” ucap Ki Sukma yang disambut suara Sinta menutup tasnya.

    “Sudahlah, Pak. Sinta capek membahas ini. Sinta mau latihan dulu, itu teman band Sinta sudah datang. Permisi, Assalamu’alaikum,” ujar Sinta meminta izin.

    “Wa’alaikumsalam,” jawab Ki Sukma mendesah.

    Sungguh, Ki Sukma benar-benar ingin Sinta meneruskan padepokan ini, membawa budaya ini sampai dikenal oleh lebih banyak orang. Ia ingin putri bungsunya itu mengerti bahwa kebahagiaan bagi bapaknya adalah melihat Sinta nyinden di pementasan, bersedia meneruskan padepokannya, serta mau menikah dengan Rama.

***

    Lagu California King Bed telah selesai dinyanyikan oleh Sinta, tentunya dengan iringan alat musik modern dari teman-teman band-nya. Tapi, tampaknya teman-temannya agak kecewa dengan penampilan mereka kali ini, mereka merasa tone Sinta banyak yang tidak terkontrol. Entah mengapa Sinta selalu kepikiran dengan pementasan bapaknya. Ia segera pamit dengan teman-temannya dan pulang untuk nyinden di pementasan bapaknya.

    “Teman-teman, aku pulang dulu, ya. Kalian sudah pasti tahu aku mau ke mana, kan?” ujar Sinta pamit pada teman-teman band-nya.

    “Iya, Sin. Pulanglah, kalau suatu saat kamu mau keluar dari band kita demi bapakmu kami juga nggak akan nahan kamu, kok!” kata Allycia, gitaris band Sinta.

    Sinta hanya tersenyum dan segera mengemasi barangnya, kemudian pergi.

***

    “Sinta nggak telat kan, Pak?” tanya Sinta tersenyum.

    Ki Sukma menggeleng sambil tersenyum melihat putri bungsunya memakai konde dan lipstik merah dengan kebaya yang membuatnya sangat anggun. Cantik? Sudah pasti. Ki Sukma menikmati suara Sinta. Tapi batuk kembali mengganggunya. Ki Sukma semakin takut jika Sinta tidak mau meneruskan padepokan ini, sementara umurnya sudah tidak panjang lagi.

    Ki Sukma segera memasukkan tangannya yang penuh bercak darah ke dalam saku saat Sinta menghampirinya dengan senyum, entah tulus atau tidak Malam itu adalah malam yang indah bagi Ki Sukma. Ia seperti punya harapan baru bahwa bisa jadi putrinya ini berubah pikiran. Ia mulai merasa lega.

***

    Apa yang diduga Ki Sukma semalam ternyata salah. Hari ini, Sinta akan pergi ke Jakarta untuk mengejar impiannya selama ini, penyanyi. Sinta berencana tinggal di rumah bibinya. Kakak-kakaknya sudah membujuk Sinta agar ia tidak pergi, tapi Sinta keras kepala. Sinta tetap pergi, meskipun tanpa restu bapaknya.

    “Sinta, apa kamu tidak lihat, remaja-remaja bule itu belajar gamelan, belajar nyinden, kenapa kamu yang orang asli sini ndak mau meneruskannya, Nak? Padahal kamu punya bakat,” ucap Ki Sukma yang tak dibalas apapun oleh Sinta.

    “Zaman ini memang zaman edan. Semuanya terbalik. Orang luar negeri belajar gamelan, orang yang punya budaya ini malah belajar lagu-lagu barat, yang sama sekali ndak punya nilai seni yang unik,” lanjut Ki Sukma yang disambut dengan jawaban keras dari Sinta.

    “Terserah apa kata bapak, yang penting Sinta mau pergi. Kalau bapak ingin aku seperti orang bule itu, suruh saja mereka yang meneruskan padepokan ini!” seru Sinta sembari menenteng tas besar miliknya.

    Ki Sukma hanya bisa terdiam. Ia memberikan foto Rama, yang sama sekali tak dilihat oleh Sinta. Ki Sukma hanya ingin suatu saat Sinta bisa sadar, bahwa budaya ini sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan.

***

    Di Jakarta, nasib tak berpihak pada Sinta. Semuanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu sulit mencari uang di sana. Hampir satu bulan ia kerja serabutan. Akhirnya ia mendapat pekerjaan menjadi seorang penyanyi di sebuah kafe berkelas di Jakarta. Tapi akhirnya ia keluar juga dari sana, hanya karena seorang laki-laki hidung belang nan menyebalkan yang telah menggoda dan memfitnahnya.

    “Aku mau pulang hari ini, Bi. Aku kepikiran sama bapak,” ucap Sinta sedih.

    “Dengan pakaian seperti ini kamu mau pulang? Ini sudah malam. Kamu bisa sakit, Sinta. Lagipula, apa kata bapakmu nanti jika melihat kamu berpakaian seperti ini? Apalagi rambutmu yang sekarang sudah pendek. Pulanglah besok pagi,” jawab bibinya menasihati.

    Setelah berganti pakaian, Sinta mengambil gunting dan merusak baju seragamnya saat menjadi penyanyi di kafe itu. Merobeknya hingga tak berbentuk lagi. Sinta memandangi dirinya di depan kaca. Rambutnya yang dulu dengan susah payah ia panjangkan, kini telah tiada. Ia memotongnya tanpa ragu. Di tengah lamunannya, Sinta tertidur pulas tanpa ia sadari.

***

    “Sudah saya katakan, saya tidak akan menjual padepokan ini. Apa kalian tidak mengerti juga? Berapa pun kalian mau membayarnya, saya tidak akan memberikannya pada kalian. Apalagi kalian hanya ingin menjadikannya sebagai tempat karaoke. Saya tidak sudi!” Ki Sukma berteriak.

    “Sudahlah, Pak. Terima saja tawaran kami. Berapa pun bapak minta, akan kami berikan. Tenang saja, Pak. Bapak akan menerima harta yang jauh lebih berharga dari tempat ini beserta tanahnya,” ujar orang-orang itu dengan sombong.

    Orang-orang itu adalah suruhan seorang bos karaoke yang sejak dua bulan lalu memaksa Ki Sukma untuk menjual padepokan dan tanahnya. Meski Ki Sukma sudah mengatakan bahwa ia tak ingin menjualnya, tapi sepertinya orang-orang itu akan melakukan apapun, termasuk dengan cara kasar.

    “Ki, kami tidak mau bertindak kasar, tapi kalau Ki Sukma memaksa, kami tak akan segan melakukannya,” tantang salah satu dari mereka sembari meninggalkan Ki Sukma.

    “Jika saya masih bisa hidup seribu tahun lagi, selama itu pula saya tidak akan memberikan tanah ini pada kalian, orang-orang yang tak bertanggung jawab. Tempat ini penuh dengan budaya negeri yang tak bisa dibeli. Semua yang kalian lakukan tak akan merubah keputusan saya. Di padepokan dan tanah ini saya hidup, maka di sini juga saya akan mati!” tegas Ki Sukma pada orang-orang itu dengan nada marah.

    Orang-orang itu pergi dengan perasaan kesal. Tapi, mereka tak akan tinggal diam. Ki Sukma pun tahu dan merasakan hal itu. Ia mengeluarkan lipatan kertas serta foto Sinta. Ia menulis surat untuk Sinta. Tapi lagi-lagi bercak darah menodai kertas putih itu, juga foto Sinta. Bersamaan dengan itu, tercium bau asap yang membuat Ki Sukma terbatuk keras. Ia tak ingin meninggalkan tempat ia berdiri. Ia sudah mengatakan ia hidup di sini, maka di sini juga ia mati, dan itu benar-benar ia pegang teguh. Saat Pandu datang untuk menyelamatkannya, Ki Sukma telah tiada. Sebelumnya, ia menitipkan surat yang ia buat untuk Sinta. Pandu segera membawa jasad Ki Sukma keluar.

    Padepokan itu kini telah hangus terbakar, tak ada yang tersisa. Namun bau harum budaya negeri yang luhur masih bisa tercium dari aroma abunya.

***

    “Bapak!!” Sinta berteriak dengan dahi yang basah oleh keringat.

    “Kamu kenapa, Sin? Kamu mimpi buruk?” tanya bibinya setengah panik.

    “Aku mimpi bapak, Bi. Aku mau pulang sekarang,” ujar Sinta sembari mengambil tas dan memasukkan pakaiannya.

    Sinta diantar bibinya sampai di stasiun, kemudian naik kereta menuju rumah dengan perasaan tidak enak. Di perjalanan, ia hanya bisa berdoa semoga bapaknya baik-baik saja.

    Sinta terkejut saat melihat tumpukan abu di atas tanah milik bapaknya. Tasnya terjatuh. Arjuna yang melihat kedatangan Sinta langsung menjelaskan semuanya. Ia juga memberikan surat yang dititipkan Ki Sukma pada Pandu.

    “Bapak titip ini buat kamu, Sin.” Arjuna menyodorkan lipatan kertas pada Sinta.

    “Makasih, Mas.” Sinta menerima surat itu.

    “Sebenarnya Bapak sudah sakit kanker paru-paru stadium akhir, tapi Bapak ndak pengen kamu tahu tentang itu, Sinta. Makanya ia selalu membujuk kamu agar kamu mau meneruskan padepokan ini, karena Bapak tahu umurnya ndak panjang lagi. Bapak cuma pengen kamu bahagia, Sin.” Sadewa menjelaskan dengan muka tertunduk.

    “Ya sudah. Mas tinggal dulu.” Arjuna dan Sadewa meninggalkan Sinta.


Untuk putri bapak yang sangat bapak sayangi,

    Bapak rindu kamu, Sin. Bapak minta maaf jika kamu ndak suka cara bapak membujuk kamu. Bapak hanya takut kalau budaya ini jatuh ke tangan yang salah. Jika bapak bisa hidup seribu tahun lagi, bapak akan selalu mempertahankan tanah dan budaya negeri ini, apapun yang terjadi. Namun raga ini


    Surat itu terhenti. Tampak bercak darah yang telah mengering di kertas itu. Sinta menitikkan air mata. Ia merasa tidak bisa jadi anak yang baik. Andai saja ia menuruti apa kata bapaknya, mungkin semua ini tak akan terjadi. Tiba-tiba Sinta teringat sesuatu. Foto Rama yang sudah diberikan bapak sejak tiga bulan lalu, yang tak pernah dia lihat sedikit pun, kini ia keluarkan dari dalam dompetnya. Saat ia memperhatikan foto itu...

    “Ngganteng ya? Ternyata kamu tetap cantik, walaupun berambut pendek.” Seorang laki-laki tiba-tiba saja berdiri di belakang Sinta.

    “Aku Rama. Bapakmu punya harapan penuh pada kamu, Sin. Kamu mengerti kan sekarang?” ujarnya lagi.

    “Aku mengerti. Kamu mau kan, bantu aku mewujudkan cita-cita bapak? Membangun dinding angannya yang hampir runtuh?” Sinta bertanya masih dengan tatapannya pada abu padepokan Ki Sukma.

    “Pasti. Aku akan melakukan apapun untukmu. Bapakmu sudah percaya padaku untuk menjagamu. Aku ndak akan pernah mengecewakanmu.” Rama meyakinkan Sinta.

    Sinta mengangguk. Kini, ia tahu mengapa bapak melakukan semua ini. Bapak hanya ingin ia bahagia dan bapak tahu bagaimana ia akan bahagia.

***

    Banyak tawaran konser yang ditolak Sinta. Teman-teman band-nya pun sudah mencari vokalis baru. Ia fokus untuk membangun kembali dinding angan bapaknya yang sudah hampir ia hancurkan. Tentunya dengan bantuan Rama.

    “Mas, gimana kabar orang-orang itu?” tanya Sinta pada Sadewa.

    “Tidak usah dipikirkan, mereka ternyata sindikat pencuri tanah yang sudah menjadi buronan polisi. Mereka sudah banyak menipu orang dengan uang yang mereka janjikan. Beruntung bapak tidak tergiur,” jawab Sadewa tersenyum.

    “Ndak mungkin bapak tergiur, Mas. Aku tahu bapak ndak pengen uang, bapak sangat cinta sama budaya, bapak bahagia kalau kita sukses memperkenalkan budaya ini ke mata dunia, bapak bahagia kalau anak-anaknya mau meneruskan cita-citanya, dan aku akan melakukannya demi bapak, Mas. Aku janji.” Sinta berkata dengan matanya yang menerawang jauh, sangat jauh.

    Padepokan selesai dibangun. Di tanah yang sama. Bentuk bangunan yang sama. Sinta tidak ingin padepokan itu dirubah bentuknya, karena bapak juga yang membuat denahnya. Malam nanti akan diadakan syukuran, sekaligus pementasan pertama bagi Sinta setelah lebih dari tiga bulan ia tidak nyinden.

    Acara malam itu berjalan lancar. Sedikit demi sedikit, dinding angan itu telah terbangun kembali. Dua hari lagi, akan ada seminar kebudayaan nasional yang mengundang Sinta sebagai pembicara, sekaligus memperkenalkan budaya yang ada di padepokan yang sekarang ini sudah menjadi miliknya. Sinta yakin, kini bapaknya sudah tenang karena ia sudah bisa memperkenalkan budaya negeri yang selama ini bapak banggakan.

    “Bapakmu pasti bangga kamu bisa melakukan lebih dari apa yang beliau inginkan, Sin. Aku yakin itu,” ujar Rama tersenyum tipis.

    “Semoga. Aku ndak akan bisa melakukan semua ini tanpa bantuanmu. Makasih untuk semuanya, ya.” Sinta tersenyum tipis ke arah Rama, namun ketulusannya sangat jelas terlihat.

    “Ngomong-ngomong, rambutmu cepat juga ya panjangnya.” Rama mengalihkan pembicaraan.

    Sinta hanya tersenyum. Ia masih memandang jauh. Jauh sekali. Andai bapaknya bisa melihat keberhasilannya saat ini, mungkin semuanya akan lebih sempurna. Sangat sempurna.

***

    “Budaya itu layaknya perhiasan bagi sebuah bangsa. Bagaikan emas dan permata yang selalu berkilau. Ia mempunyai sinar seindah mentari pagi. Tapi tak jarang kita tak menyadarinya. Kita hanya bisa marah saat melihat budaya kita direbut bangsa lain. Padahal, kita tidak pernah mau berusaha untuk menjaganya. Jika begitu, siapa yang akan bertindak? Apakah harus bangsa lain yang menjaganya? Itu tidak mungkin dan tidak pantas. Hanya kita, sang pemilik budaya itulah yang berhak memiliki, menjaga, mempertahankan, serta melestarikannya. Budaya ini milik kita. Laksana rumah, jika ada yang bertamu, layanilah. Tapi jangan sampai mereka menguasai apa yang kita miliki. Artinya, saat ada wisatawan asing yang ingin mempelajari budaya kita, ajarilah! Tapi jangan sampai mereka mengambil apa yang kita miliki. Ayo lestarikan budaya dan jagalah kilaunya!” Sinta menutup pidatonya.

    Sinta tersenyum manis ke arah Rama berdiri. Rama tersipu, merasa Sinta tak salah memilihnya.


Raydinda Laili Shofa, remaja yang meminang halu sebagai hobinya. Dara yang akrab disangka lelaki karena menggunakan nama “Ray” sebagai username-nya. Selalu membanggakan hari kelahirannya yang bertepatan dengan Hari Wanita Internasional. Terbiasa disakiti pengalaman, tapi tak pernah kehabisan stok “bodo amat” dalam etalase penawar gundahnya. Bisa ditemui secara pribadi di instagram @ralisha_rayfa. Bila berminat menikmati ke-gaje-an Ray dalam tulisan, silakan berkunjung ke @catatan_blueray. Salam Blue-Apocope untuk semua Dearest Blue!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar