SAYAP ANGIN DESEMBER
OLEH : VIA INDRIANSI
Hidup bagaikan pelajaran statistik. Jika kamu tidak bisa menemukan rumus dan menyelesaikannya dengan baik, maka, kamu selamanya akan terperangkap dalam satu masalah yang tidak akan pernah bisa kamu selesaikan. Kamu perlu mencari tahu, tanpa diberitahu apa yang salah sebenarnya, jika kamu meminta bantuan orang lain, maka kamu tidak akan pernah bisa memahami masalahnya dan menyelesaikannya.
Ada begitu banyak hal yang harus diselesaikan dalam kehidupan, Tuhan telah menciptakan skenario yang begitu indah untuk makhluk ciptaannya di dunia. Aku sering, mendengar pepatah “Jika kamu menanam kebaikan pasti kamu akan menuai kebaikan, namun, jika kamu menanam keburukan maka kamu akan menuai keburukan pula”. Tuhan itu adil! tak ada satu pun kejadian di dunia ini berada di luar kendalinya. Tapi, apakah pepatah ini pantas aku jadikan sebuah referensi dalam hidupku? yang aku ketahui dari kecil hingga sekarang aku belum pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku pikir, aku pasti bisa mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya itu, nanti, setelah aku bisa menemukan jati diriku, setelah aku tahu tujuan hidupku, tapi karena kegagalan yang kerap kali hadir, aku merasa hidupku tak ada gunanya, bahkan tak ada sesuatu hal pun yang pantas dibanggakan dariku.
Namun aku bersyukur karena masih punya kedua orangtua yang sangat menyayangiku, orangtua yang berharap banyak kepadaku, orangtua yang berharap putri sulungnya pasti bisa merubahan kehidupannya, bisa merubah derajat keluarga. Namun, aku sendiri merasa ragu akan hal itu. Tertekan? tentu saja, iya! malu? apa lagi! Diusiaku sekarang ini, bahkan aku belum bisa menghasilkan uang untuk diriku sendiri apalagi untuk orangtua.
Dari kecil aku memang dididik oleh ayah untuk menjadi anak mandiri, tegas, kuat, bertanggung jawab, dan bisa diandalkan, tapi aku merasa semua itu percuma. Bahkan sekarang aku tumbuh menjadi sosok wanita lemah, rapuh, dan seperti tak punya apa pun yang pantas diperjuangkan dalam diriku.
Apa mungkin aku benar? tak ada yang pantas untuk diperjuangkan dalam diriku? mungkinkah aku terlahir hanya untuk menjadi seseorang yang ahli dalam merepotkan orang lain? entahlah, aku saja bingung untuk menjawabnya.
Keluargaku dari dulu memang bukan terlahir dari keluarga kaya, yang serba ada, punya kemewahan yang sekejap bisa terpenuhi. Tidak, dari kecil kami sudah diajarkan untuk bekerja keras demi mendapatkan sesuatu yang kami inginkan, bahkan sampai sekarang pun itu masih berlaku. Sepertinya dalam urusan asmara pun aku harus benar-benar bekerja keras.
Apa betul aku seseorang yang tak pantas untuk diperjuangkan?
Aku hanya ingin menjadi wanita seperti mereka, tapi mengapa sangat sulit? mereka dengan mudahnya menemukan seseorang yang sangat mencintainya, seseorang yang mengerti dia, seseorang yang memahaminya, menyayanginya dan rela mengorbankan segalanya untuk dia. Tapi aku? kerap kali aku terlihat seperti sampah dalam kehidupan seorang pria yang sudah kudedikasikan hidupku untuknya.
Sore itu, sore yang betul-betul ingin ku lupakan, ingin ku tenggelamkan memori itu bersama hujan yang jatuh ke dalam lautan, ingin ku terbangkan serpihan luka itu bersama sayap angin Desember yang berhembus kencang, ingin ku lenyapkan kenangan itu bersama awan hitam yang bergumpalan.
Harga diriku terlihat sudah tak lagi ada di hadapannya, laki-laki yang sudah kukencani selama enam bulan lebih, kini mencampakkanku bagaikan sampah, bahkan sampah yang tak dapat di daur ulang kembali. Kadang aku malu, melihat bayangan memori terkutuk itu terlintas dalam benakku. Harusnya aku yang mencampakkannya. Dia yang mengkhianati, dia yang sering ingkar janji, dan dia yang seperti makhluk yang selalu ingin dipuji. Jika ku pikir dengan akal sehat kembali, dia yang lebih buruk hidupnya dibandingkan aku. Harusnya dia yang ku buang jauh, kutenggelamkan di laut merah hingga ia membenam bersama fir’aun.
Tapi, kembali ku usap kasar mukaku, semua itu hanya keharusan sikap yang ku lakukan, bahkan aku tidak betul-betul bisa melakukannya. Buktinya, kini aku yang ia campakkan, aku yang menangis, aku yang tersakiti, aku yang masih belum bisa melupakan meski bersikeras ingin melupakan.
Tiga hari lamanya aku mengurung diri di kamar, tidak masuk kuliah apalagi untuk memikirkan konsenkuensi pada nilaiku. Aku hanya merenungi semua kebodohanku selama ini. Aku hanya ingin betul-betul menggunakan akal sehatku, mencari hikmah yang Tuhan selipkan dalam kejadian memalukan ini. Kini, ku rasa semuanya harus berbeda, tidak akan ada lagi kesedihan, tak akan ada lagi air mata, jua takkan ada rasa kecewa, apalagi umpatan sumpah serapah pada Tuhan. Aku percaya, punya sedikit kelebihan yang pantas dibanggakan.
Sekarang aku memutuskan hanya akan menggunakan akal sehat. Dan aku percaya, kejadian ini bentuk rasa cinta yang Sang pemilik cinta berikan padaku. Allah ingin aku sadar, bahwa ikatan yang tidak halal hanya akan membuatku kecewa, Allah ingin melindungiku dari panasnya neraka, Allah ingin menjauhkanku dari seseorang yang membuatku terluka, Allah ingin aku sadar, bahwa menyayangi diri sendiri itu sangat penting, Allah ingin aku tahu, bahwa Dia telah siapkan semua di saat yang indah, di waktu tak terduga.
Bandung, Pagi ini, 17 Desember 2017, aku berjalan dibawah payung biru yang ku gunakan untuk melindungi diri, dari rintik hujan yang bisa saja membasahi tubuh. Ku susuri jalan taman menuju auditorium kampus dengan hati yang lebih tertata. Tekatku hanya satu, akan ku ciptakan semua kebahagiaan yang mestinya selama ini aku rasakan.
Tapi, belum sempat aku sepenuhnya semangat, kutukan itu kembali datang, seolah ingin menghapus semua skema hidup yang baru saja ingin ku jalani. Mantan sialan itu tak hanya mencampkakanku, ternyata dia betul-betul ingin menghancurkanku, lihat saja sekarang dengan sengaja dia membeberkan kesadisannya memutuskan hubungan kami pada teman di kampus. Kini, aku beratus ribu kali bersyukur, Allah jauhkan spesies paling menjijikkan ini dari hidupku.
Baru sekitar 50 meter aku menyusuri jalan di taman menuju auditorium, tak sengaja mataku menatap sekumpulan pria dengan style famousnya sedang bercengkrama di bangku coklat di sebuah lorong depan gedung dekan fakultas hukum yang sedang ku susuri, salah satunya dia, Riu, Si mantan spesies paling menjijikkan yang ku ceritakan sebelumnya. Sentak, kakiku terhenti, aku diam, aku sendiri bingung dengan sikap otomatis yang dilakukan tubuhku. Jauh dalam lubuk hati, aku ingin bersikap biasa saja, terlihat seperti orang yang tidak pernah saling kenal, namun, tanpa ku sadari tubuhku tidak dapat ku arahkan seperti keinginan hati. Entah karena rasa malu, jengkel, kesal, atau marah, yang pasti bukan lagi karena cinta apalagi sayang.
Sekitar dua menit aku berdiam, kaku, tubuh yang tak bisa ku kendalikan sesuka hati. Dengan sekuat tenaga, ku kumpulkan keberanian penuh, aku mencoba berjalan biasa saja dengan tetap masih menggunakan payung yang kini hanya akan melindungiku agar tidak basah karena gerimis, karena hujan lebat hampir mereda. Selangkah biasa saja, tapi aku masih bisa merasakan mereka sedang tidak melihatku, dua langkah masih tak mengapa, Riu pun juga masih asik mengobrol, langkah ke lima ku dengar seseorang yang memanggil namaku, sontak kakiku kembali terhenti.
“Aaadeva Mecca Shellia...,” panggilnya dengan memenggal kata per kata namaku.
Aku berhenti, tapi tak sanggup menatap ke samping kiri untuk mencari pemilik suara.
“Dia gadis yang loe campakkan tiga hari yang lalu kan, Riiiuuu?” lanjutnya dengan nada ejekan, menata satu per satu kata yang dia ucapkan.
Aku yakin, kini Riu sedang tersenyum licik hanya menampakkan sebelah kiri bibir atasnya yang terangkat. Meski aku tak melihat, setidaknya aku masih ingat cara dia tersenyum saat melihat orang yang tak ia sukai.
“Pilihan loe tepat, Ri, ngebuang dia dan milih Tasya. Loe lihat aja meski dandan seperti apapun dia akan tetap jadi jelata yang tidak akan pernah bisa menjadi putri kerajaan,”
Aku masih diam, ku tahan umpatan serapah itu, meski hatiku terkoyak perih.
“Udah dibuang, masih aja berani nampakin muka buruknya, urat malu udah putus kali tuhhh,” timpal seorang temannya lagi.
Yang ku tahu, teman-teman Riu kemaren menjauhinya karena Riu mengencani aku, dan mungkin sekarang mereka kembali lagi pada bangsat itu, setelah tahu aku sudah dimusnahkan dalam hidupnya. Tentu saja mereka bahagia, karena mereka tak pernah sekalipun menyukaiku.
“Loe bisu ya habis diputusin Riu, mimpi ketinggian sih, ngarepnya jadi putri kerajaan, pas jatuh, loe sendirikan yang hancur. Sadar diri kek.”
Riu juga hanya diam sambil tersenyum khas membiarkan temannya mencaci makiku.
Demi Tuhan, kali ini tidak lagi sanggup aku menahan diri, ucapannya betul-betul menyayat, mengikis bahkan ke bagian hatiku terdalam. Tanpa sadar payung yang tadinya ku pegangi, kini terlepas dari genggaman. Air mataku keluar bersatu dengan sisa hujan bertemu pada satu titik, ujung daguku. Jilbab tosca yang ku kenakan pun mulai basah. Ku arahkan pandanganku ke mereka, mataku menatap tajam, merah, karena rasa sakit yang ku tahan bersama timpaan air hujan yang kembali deras.
“Aku salah apa sama kalian?” balasku dengan nada menahan amarah. “Apa miskin sebuah aib bagi kalian? apa kalian anggap orang miskin tak punya hati, tidak memiliki harga diri yang seenaknya mulut sampah kalian mencaci maki. Setidaknya jangan mencaci sekalipun kalian benci, satu hal yag perlu kalian ingat, tidak akan selamanya hidup kalian di atas. Di atas langit masih ada langit,” lanjutku setengah berteriak.
Mereka hanya tersenyum picik mendengar kalimatku yang bagi mereka cuma lelucon.
“Dan kamu, Riu, terimakasih, karena kamu, aku tahu membedakan mana yang baik dan mana yang munafik dan aku bersyukur,” ujarku pada mantan sialan itu.
Mereka bangkit, lalu pergi meninggalkan aku yang masih berdiam diri menatap tajam. Kutekuk lututku, posisi yang tadinya berdiri kini berubah jongkok. Aku hanya ingin menangis, tak peduli dengan orang sekitar, toh juga mereka sudah tahu masalahku, aku hanya merasa lelah setelah berperang dengan rasa takutku sendiri. Sekitar lima menit aku berjongkok di tengah hujan, aku kembali merasakan keteduhan, seseorang seperti sedang di dekatku, memegangi payung yang sempat tak ku pedulikan. Aku mendongak, lalu ku arahkan pandangan ke atas sejenak, ku lihat ke samping kanan, dia berdiri dengan ekspersi datar memegang payung itu tanpa sedikitpun melihatku, apalagi mengulurkan tanganya untukku.
“Berdiri! Kamu punya harga diri yang pantas kamu hargai, perbaiki hidupmu, pantaskan dirimu, setelah Ujian Akhir Semester akan ku temui Ayahmu untuk memintamu menjadi makmum dalam hidupku. Setelah itu, ku pastikan tak ada satu orang pun yang akan berani menghinamu lagi.”
Aku syock, jantungku macet, aliran darahku tersumbat mendengar kalimat yang terkesan becanda, tapi dia katakan dengan serius. Setelah beberapa menit aku sadar, baru saja aku dilamar seseorang yang sangat terjaga dirinya, ketampanan dan sifat cueknya membuat hampir semua gadis ingin jadi istrinya, terlebih karena dia, pria bernama Syauqi Malik yang dianggap sebagai pemuda ahli ibadah.
Aku berdiri, menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Tak ada yang perlu kamu tanyakan tentang sikap ini, apalagi alasan, kamu hanya perlu tahu, Adeva gadis yang pantas bahagia,” ucap Malik tersenyum tipis dan berlalu menempuh hujan dengan santai setelah memberikan payung itu padaku.
Entah ini nyata atau mimpi, jika benar mimpi aku tak ingin bangun dan ingin melanjutkan kisah itu lagi. Tapi, jika ini sungguh nyata, Malik akan menjadi bintangku dipekatnya malam, yang akan tetap bersinar, agar aku tak tenggelam dalam kegelapan. Tuhan terimakasih untuk hadiah indah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar