Aku Ingin Menjadi Kucing
Nafa Shahamah I.N
"Meong."
"Iya, sebentar!" sahut seorang pria yang masih menggunakan apron di depan seragam sekolahnya. Tangannya kini sibuk memindahkan makanan kucing ke wadah. Menimbang-nimbang takaran agar tidak kurang ataupun lebih.
"Candra! Kau pikir ini jam berapa?" Suara seorang gadis memekik yang berasal dari luar rumah. Gadis itu sangat jengah menunggu teman tetangganya itu.
"Sabar! Kunaya, Kumari, Kunaidi, dan Kunaca masih sarapan," kata Candra yang hanya membuka jendela rumahnya agar suaranya terdengar.
"Hah?" Gadis itu mulai kesal. "Kau sudah memberinya makan, bukan? Ya udah tinggal aja dong. Kenapa harus menunggu?"
Gadis berambut hitam pekat itu menjatuhkan tangannya di sisi jendela. Matanya berputar malas ketika mendapati temannya yang tersenyum menunggu kucing-kucingnya makan. Ia bahkan ikut duduk di lantai seolah tak ada lagi kebahagiaan selain itu. "Setelah diberi makan, wadahnya harus segera dibersihkan dan disimpan. Kalau tersampar rusak atau hilang, sulit mencarinya lagi."
"Tinggal beli lagi lah," ujar gadis itu menompang dagunya.
"Kau tak tahu kalau mereka itu memiliki wadah favorit?" tanya Candra dengan wajah seriusnya. "Misalnya Kunaca ini, wadah yang ia gunakan harus berwarna biru, bergambar bunga, dan-"
"Iya! Ayolah. Kita udah telat ini," desak gadis itu tak sabar lagi. Jam di pergelangannya sudah menunjukkan waktu 06.45, yang artinya mereka hanya memiliki waktu 15 menit lagi. Tapi waktu mereka terpotong lagi karena Candra harus bersih-bersih, merapikan diri, bahkan menyapa kucingnya satu per satu.
"Sampai jumpa semuanya!" pamit Candra melambaikan tangan.
"Meong." Seolah tahu, para kucing itu menyahut.
"Nafa! Apa yang kau lakukan? Kita bisa telat ini!" tegur Candra kepada gadis yang berjongkok di depan rumahnya. Ia melotot ketika melihat waktu mereka tinggal 5 menit lagi.
"Memangnya siapa yang membuat kita telat, huh?!" jerit Nafa tak peduli lagi. Ia bahkan ditinggal oleh Candra yang berlari terlebih dahulu setelah menegurnya.
Usai pulang sekolah, Nafa merebahkan tubuhnya di pulau kapuk berwarna biru. Menatap langit-langit sambil menerawang. Ia memikirkan betapa menyedihkan dirinya. Bahkan kucing saja jauh lebih baik daripada dirinya.
"Agh!" kesalnya memeluk bantal lalu berguling kesana kemari. "Kenapa jatuh cinta seribet ini, sih?"
Meskipun kesal, tak bisa dipungkiri bila pipinya sudah berubah menjadi merah sekarang. Hatinya gundah, menginginkan lebih. Tapi, ia tahu bila takdir tak semudah itu mengabulkannya.
"Oi! Kunaca!" Suara laki-laki itu menggema sampai di kamar Nafa yang berada di lantai dua. Membuat Nafa bangkit dan melihat ke bawah.
"Ada apa?" tanyanya yang sebenarnya ia tahu apa yang dilakukan lelaki pecinta kucing sialan itu. Terlihat jelas di wajah Candra, ia panik dan bingung. Peluh keringatnya yang menetes menunjukkan ia sudah bergerak cukup lama.
"Kunaca hilang! Kau melihatnya tidak?" Nafa melihat kembali ke dalam kamarnya. Matanya bertubrukan dengan mata kucing di atas kursi belajarnya. Kunaca si kucing hitam itu dengan santainya menjilat kaki depannya.
"Ada di kamarku!" teriak Nafa menunjuk ke dalam kamar dengan jempolnya.
"Oke, aku kesana!" ujar Candra lalu berlari ke dalam rumah Nafa. Membuat Nafa membulatkan mata tak percaya.
"Dia nggak menganggap aku perempuan atau bagaimana sih?" guman Nafa menepuk jidatnya sendiri. Padahal ia tadi berniat membawa Kunaca turun.
"Dimana?" tanya Candra yang langsung ke intinya. Karena Nafa tak menutup pintu kamarnya, ia bisa langsung masuk begitu saja. Nafa hanya pasrah dan menunjuk dengan dagunya.
"Ah, syukurlah. Kupikir hilang." Raut wajahnya berubah menjadi lega. Ia mendekat pada Kunaca dan mengelus kepalanya.
"Akan kubawakan minuman," kata Nafa keluar dari kamarnya. Ia bisa saja membunuh kucing itu bila terus berada disana.
"Yang dingin, ya!" pinta Candra yang dijawab gumanan oleh Nafa. Lalu ia kembali tersenyum-senyum pada Kunaca. "Oh, iya! Kau belum makan, bukan? Tunggu disini, akan kubawakan makananmu," ujar Candra beranjak pergi.
"Lho? Mau kemana?" tanya Nafa yang membawa nampan berisi 2 gelas minuman.
"Ambil makanan buat Kunaca!" jawab Candra sambil berlari. Langkah Nafa yang sempat terhenti kini kembali melangkah. Menatap mata kuning dan hitam itu dengan kesal.
"Apa? Kau senang bukan membuatku kesal seperti ini?" tanyanya ketus meletakkan nampan di atas meja. Lalu ia berjongkok menjajarkan tubuhnya sama tinggi dengan Kunaca.
"Meong."
"Heh! Kau bersalah disini. Andai saja kau, bahkan semua kucing nggak ada di dunia ini, mungkin dia nggak bakal begini. Kau enak, yang menderita aku tahu!" celoteh Nafa seolah tahu apa yang dikatakan kucing hitam di depannya itu.
"Meong," kata kucing itu menjilat kaki kanan depannya.
"Dasar kucing sialan," geram Nafa yang ingin mencabik-cabik kucing itu. Tapi, Kunaca sudah siap dengan cakar tajamnya. Membuat Nafa mendelik dan mundur duduk di kasurnya. "Dasar sombong. Mentang-mentang kau mendapatkan cintanya begitu? Ya maaf saja. Memangnya salah siapa aku tak mendapatkannya?"
"Kalian di cintai, tapi tidak mencintai. Sedangkan aku mencintai, tapi tidak di cintai. Kau pikir bagaimana tersiksanya aku, hmm? Setiap hari aku aku melihatnya tersenyum pada kalian, bukan padaku. Setiap hari kalian mendapatkan perhatiannya, sedangkan aku hanya dianggap angin lewat. Melihat keberuntunganmu itu saja memunculkan keinginanku untuk menjadi kucing," lirihnya menunduk. Ia menatap lantai itu dengan nanar.
Tap.
Suara langkah kecil yang mendekat pada ruangan bernuansa bunga nemophila yang berterbangan di setiap sisi tembok. Walaupun Nafa tak mendengarnya, telinga hitam itu bergerak dan mendekat tanpa suara. Hidung mungilnya mencium bau harum kesukaannya.
"Meong!"
Suara itu membuat Nafa mendongak, terkejut. Ia mendapati Candra yang menatapnya dengan ekspresi tak biasa. Candra berkedip lalu menggaruk tekuknya yang tak gatal. "Ah! Kau sudah menunggu lama? Maaf ya, Kunaca. Ini makan siangmu!" ujar Candra mengalihkan pandangannya lalu bersiap memberi Fandra makan.
Alis Nafa bertaut, ia yakin Candra mendengar celotehnya. "Ah, mungkin mulai besok aku akan menjauh darinya. Lagipula, siapa yang tidak jijik diikuti gadis bodoh yang mengungkapkan perasaannya kepada kucing?" batin Nafa dengan putus asa.
"Apa kau tahu?" tanya Candra memecah keheningan. "Aku menyukai kucing gara-gara kamu, lho."
"Hah? Aku saja membenci kucing," kata Nafa tak terima.
Tapi Candra justru tersenyum kecil. "Tidak, kau menyukai kucing. Lebih tepatnya, dirimu yang dulu. Apa kau ingat? Kucing putih yang kau selamatkan saat kita berumur 6 tahun?"
Nafa melihat ke atas sambil berpikir. "Kucing putih? Oh, maksudmu Kusam?"
"Benar. Kucing yang kau pikir hitam itu."
"Saat kutemukan dia menyedihkan sekali. Bau sampah, tatapannya tajam, gigi dan cakarnya juga tajam. Dia kucing terkusam yang pernah kutemui sampai sekarang," jelas Nafa memutar mata. Sedikit kesal kalau mengingat kucing pertamanya itu.
"Tapi, kau sangat menyanyanginya bukan? Tak peduli berapa luka yang kau dapatkan saat mencoba memandikan atau memberinya makan, kau tetap tersenyum riang saat membicarakannya. Bahkan saat kepergiannya, kau menangisi Kusam sampai tak mau masuk sekolah hingga seminggu," kata Candra sedikit terkekeh.
"Itu karena mataku membengkak besar tahu!" elak Nafa.
Tangan kanan Candra kini mengusap kepala Kunaca. Membuat Kunaca manja dengan ikut mengusap kepalanya dengan mata tertutup. "Saat itu aku iri. Kenapa bisa makhluk sekecil kucing bisa membuatmu seperti itu? Karena hal itu, aku mulai mencoba memeliharanya. Mencoba merasakan perasaanmu dulu."
Nafa sedikit tergagap ketika Candra melihatnya dengan tatapan hangat. Ia mengalihkan pandangannya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Setelah aku merawat mereka, aku jadi paham. Kucing itu binatang yang sensitif, manja, galak, bahkan jujur. Bila ia tak suka, ia akan menyakar. Bila ia suka, ia akan mengeong," ujar Candra menggendong Kunaca dan menyerahkannya pada Nafa.
"Meong." Kunaca pun nampak biasa saja saat ia berpindah ke pangkuan Nafa.
"Tapi kalau kucingnya itu kamu, aku tak tahu."
Mendengar hal itu, wajah Nafa berubah menjadi merah. Ia melotot dan memandang Candra yang masih tertawa. "Kau mendengar semuanya, ya?!"
Kedua tangan Nafa pun memukul lengan Candra. Ia sudah tak peduli lagi seperti apa wajahnya sekarang. "Aku juga terkejut tahu," cicit Candra yang membuat Nafa berhenti.
"Karena aku juga menyukaimu," tambahnya lagi dengan pipi yang merona. Tapi Candra menyembunyikan wajahnya dengan lengan yang dipukul oleh Nafa. Matanya pun tak berani menatap wajah Nafa yang entah berekspresi apa.
"Itu tidak membuatku berubah pikiran untuk menjadi kucing!" teriak Nafa tiba-tiba lalu menutup telinga dan matanya.
"Heh?" Candra terkejut dengan respon Nafa yang di luar dugaanya. Tanpa Nafa ketahui, wajahnya kini mengulum senyum manis. Senyuman yang biasa ia lontarkan pada kucing-kucingnya. Senyuman yang Nafa inginkan.
"Aku ingin menjadi kucing! Meong!" histeris Nafa mencoba menirukan suara kucing.
Tamat.
Tentang penulis
Namanya Nafa Shahamah I.N. Ia lahir dan bertempat tinggal sama, yakni di Sedayu, Jumantono, Karanganyar, Jawa Tengah. Tepatnya, pada tanggal 12 November 2003. Ia bisa dihubungi lewat Whatsapp 082137237669 dan email nafaizzunaa12@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar