MELODY RINTIHAN RINDU
OLEH : VIA INDRIANSI
Denting piano itu masih terdengar nyaring di telingaku, melody rindu yang selalu dia rekam dan kirimkan kepadaku, dikala ia harus menyelesaikan pengabdiannya pada negeri dan tak bisa bertemu dalam waktu yang cukup panjang. Dulu, aku tersenyum setiap menerima rekaman melody itu. Kukatakan padanya untuk bersabar, semua akan indah pada waktunya. Namun, kini, aku hanya bisa merintih rindu saat memutar kembali rekaman melody piano yang telah usang di makan waktu. Sebelas tahun lamanya kami menjalin cinta, merajut kasih dengan komitmen dan kesetiaan, tapi, kesetiaan itu kini hanya tinggal kata yang tak bisa kudeskripsikan rasa sakitku saat mendengarnya.
Pria yang telah kudedikasikan seluruh hidup dan cintaku padanya, kini hilang, lenyap, bahkan untuk terakhir kali saja aku tak bisa menatap matanya. Mata yang selalu menatapku dengan penuh cinta, mata yang ikut bersedih disaat aku berduka, mata yang tersenyum ikhlas saat mendengar cerita kegiatanku hari ini, mata yang telah berjanji hanya akan menatapku sebagai wanitanya, wanita nomor satu dalam hidupnya. Namun, itu semua dulu, kini, hanya tinggal sayup-sayup kenangan yang mestinya kutenggelamkan di laut bersama dirinya yang ikut membenam.
Seminggu sebelum pernikahan kami, dia mengatakan hal yang sangat mencengangkan bathinku. Membuat aku harus memutar ekstra otakku untuk mengiyakan permintaanya. Ia tersenyum, menatap mataku sangat dalam. Sendu. Namun, aku, menganggap semuanya hanya lelucon. Ia sering seperti ini, pikirku, tak mungkin akan terjadi hal aneh sementara kami akan segera bersama, bathinku.
“Sha, kamu tahu...?” tanyanya tiba-tiba.
“Aku tahu,” jawabku pasti dengan kalimat pertanyaan yang bahkan belum tuntas ia katakan, seolah aku sudah sangat paham apa yang akan dikatakannya.
“Aku sungguh mencintaimu,” tambahnya.
“Dan aku tak pernah meragukan itu,” jawabku dengan senyum tulus.
“Karena itu, jika nanti..., aku tidak datang di hari pernihakan kita, kamu harus tetap memakai gaun pengantinnya,” ucapnya seolah bercanda, tapi sungguh terlihat serius.
“Heehe, itu hari pernikahan kita, hari yang paling kita nanti, bagaimana mungkin kamu melewatkanya,” balasku tetap bersikap normal, meski hatiku mengatakan ada hal yang tidak biasa.
“Benar, itu hari bahagia kita, bagaimana mungkin aku tidak datang,” balasnya seolah meyakinkan diri disusul senyuman seperti biasa, tapi kali ini terlihat sendu.
“Zam, ada apa?” tanyaku setelah sejenak membiarkan suasana hening.
“Aku hanya ingin memastikan, kamu, tetap memakai gaun pengantin itu apapun yang terjadi.”
Aku tersenyum. Zam menapatapku, mengibaskan poni yang menghalanginya melihat seluruh inci wajahku. Setelah beberapa saat, ia mengecup keningku. Tulus, terasa sangat tulus.
Aku tersenyum mengangguk pasti mengiyakan perkataanya yang entah mengapa seperti kata perpisahan darinya. Namun, kembali kutepis jauh pikiran terkutuk itu, aku hanya ingin menjalankan semua skema kehidupan berumahtangga yang telah lama kususun bersamanya. Sebuah pelukan hangat dari belakang, saat aku tengah sibuk memasak sarapan pagi atau sajian untuk makan malam bersama. Berbelanja bahan makanan sambil terkekeh pelan saat ada bahan yang tak penting dibelinya. Sebuah senyuman penuh cinta saat ia akan menguncir rambutku ketika aku sedang tidak sehat. Beberapa kalimat manja yang akan dia gunakan untuk merayuku agar tidak lagi marah padanya. Namun, kini, skema itu pun ikut buram kembali menjadi kertas putih bersih.
Rasanya masih belum percaya mendengar kabar tentang dirinya, kabar duka yang sangat mendalam bagiku. Kabar yang teramat menusuk dada hingga menembus pungguku dan akhirnya aku merasakan yang namanya luka tak berdarah. Luka bathin yang seumur hidup tak akan bisa kulupakan. Bahkan rasanya untuk kembali mencintai dan membuka diri saja, aku sudah tak ingin melakukannya.
Pesawat terbang itu seperti malaikat pencabut nyawa Zam, ia membawa Zam mendekat hingga menumpanginya dan akhirnya ia juga yang membawa Zam kembali pada Tuhan Yang Esa. Yang membuatku harus mengahadiri sendiri hari pernikahan itu tanpa pengantin prianya.
Dan akhirnya hari pernikahan kami tiba. Pernikahan Zamharta Alfawwaz dan Sharoonia Aisyah. Hari yang harusnya teramat membahagiakan dalam hidupku. Sejarah pertama didaftar history yang akan kutulis. Namun, ternyata, hari ini, hanya tinggal aku bersama bayang semu calon suami yang sangat kucintai. Ingin sekali rasanya aku mengutuk dunia. mengapa harus mengambil dia? dan kenapa harus di waktu yang kebahagian sempurna hampir kami rasakan? Rasanya tidak adil, sangat pilih kasih. Di sini aku yang diuji, dia masih bisa tersenyum melihatku dari atas sana, sementara aku, harus membengkakkan mata karena air mata ini meluap terlalu banyak.
Aku terlanjur sayang, sudah sangat cinta, sampai tak pernah terbesit di benakku untuk meninggalkannya, terbesit saja tidak! apalagi untuk melakukannya, sungguh tidak mungkin! Aku kecewa, sangat terluka. Dia yang selama ini tak pernah ingkar janji, mengapa kini untuk saat paling kami nanti dia pergi, menghapus semua kenangan bersamaku, melupakan setiap inci wajahku, pergi dengan pasti, tanpa sekali saja berbalik badan dan menatapku lagi, sembari berpikir dua kali sebelum betul-betul pergi.
Kini, aku hanya bisa menatap fotonya, memaki dirinya yang pergi tanpa pamit. Ingin kukubur semua kenangan itu, tapi tak bisa, semuanya terlukis terlalu kentara. Semuanya tertanam terlalu dalam hingga kupikir, aku tak akan pernah mampu untuk mengusirnya dari pikiranku.
Menurutmu, apa mungkin aku bisa hidup dengan semua kenangan indahku bersamanya? aku bukan malaikat yang tak punya rasa, aku manusia. Aku bukan wonder woman dengan kekuatan supernya, juga bukan cat woman dengan keteguhan dirinya. Aku hanya wanita biasa yang tahu bagaimana bahagia, dan, kini, kurasa, bahagia itu sedang berjalan menjauh dariku. Sekarang, kurasa, aku hanya merasakan sakit yang teramat menadalam.
Tetapi, aku kembali ingat akan janji terakhir yang harus kutepati. Aku beranjak pergi dari ranjang yang sudah tiga jam lebih menemaniku dan ikhlas menampung semua air mataku. Kubuka pintu kamar mandi, kucuci bersih wajahku. Dari pantulan cermin, aku tersenyum melihat diriku yang kini telihat buruk. Tidak! aku tak boleh seperti ini, Zam akan sangat sedih melihatku jika terus bersedih. Aku yakin dia pasti di sini, sedang memberikan semangat dan menugguku keluar dengan gaun pengantinku. Bathinku memberi semangat akan hal yang tidak nyata.
Usai membersihkan muka. Kubuka laci dan mengambil beberapa kosmetik yang telah kami persiapkan untuk hari pernikahan ini. Kemudian kulanjutkan memakai gaun pengantinku. Setelah dandananku selesai, aku sejenak menatap kembali tubuhku.
“Cantik! harusnya kamu melihat ini, Zam,” gumamku disusul senyuman getir.
Kucari handphone yang entah dimana kuletakakan setelah mendengar kejadian itu. Setelah mengingat, aku pun menemunya kembali. Kubuka applikasi kameranya, kulebarkan senyuman agar semua terlihat baik-baik saja dan kemudian kuabadikan kecantikan ini dengan mengambil beberapa potret fotoku bersama gaun pengantinku, sebagai pembuktian janji yang sudah kutepati. Sempurna! semua terlihat sempurna jika seadainya dia masih di sampingku.
Kau tahu, malam ini harusnya jadi malam pengantinku, tapi yang kulakukan hanyalah menatap langit sembari tersenyum yang entah bagaimana akan kudeskripsikan senyuman itu. Senyum bahagia? tentu saja tidak, bagaimana mungkin ada manusia yang bisa tersenyum bahagia kala pengantin pria mengacaukan hari pernikannya. Senyum luka? jika dikatakan begitu, sepertinya tak ada bagian tubuhku yang berdarah. Atau senyum kesedihan? aku bahkan belum pernah tahu bagaimana cara seseorang tersenyum di kala sedih. Entahlah, apapun arti senyuman ini, bukankah tidak penting, yang terpenting hanyalah seseorang harus tetap terlihat bahagia dengan senyumannya, sekalipun ia sendiri tak bisa mengartikan senyuman itu.
“Zam, aku tahu kamu bisa melihatku, meski aku hanya bisa melihat fotomu. Hmmm, pembohong, katamu, kamu ingin tetap bersamaku seratus tahun lagi, tapi apa ini? kamu hanya kuat sebelas tahun saja. Kelak saat kita bertemu kembali akan kutagih janji yang belum sempat kau tepati, yaaa, anggap saja kini kau masih berhutang padaku. Zam, apa kamu senang? kini kau tak perlu mengirimkan melody lagi kala kau rindu, kau bebas datang kapan saja. Zam, sering-sering lah berkunjung di mimpiku dan tetap awasi aku dari atas sana.”
Mungkin kini saatnya aku memberikan ucapan selamat tinggal. Pada cinta yang sudah kujaga sebelas tahun lamanya. Pada kesetiaanya yang selalu kupelihara. Pada rindu, oh tidak! aku tak akan pernah mengakhiri rindu ini, sampai akhirnya kami dipertemukan kembali.
“Selamat jalan, Zam, aku akan bertemu denganmu kembali dikehidupan selanjutnya. Terimakasih semua warna kehidupan luar biasa yang pernah kita ciptakan bersama. Kini, aku ikhlas.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar