Minggu, 21 Juni 2020

SEGUMPAL HADIAH UNTUK BUNDA

OLEH : VIA INDRIANSI

Langit senja mulai berubah warna, petala jingga kian membenam bersama matahari yang tergantikan oleh bulan. Hal ini pertanda selamat tinggal siang, selamat datang malam yang pekat hitam. Hanya ada sepercik cahaya bintang di sudut kanan langit, kecil, tak terlalu terang, tapi ia punya keindahan yang membuat orang terkagum bahagia.

Syahra Melia, gadis malang itu menatap sendu pada wajah langit malam yang akan segera datang, aku bisa membaca raut mukanya yang kini memohon kepada Tuhan untuk mengabulkan keinginan hati yang selama ini ia panjatkan. Sendu, sangat sendu. Sedih, tak bisa kugambarkan. Wajah yang penuh pengharapan pada Tuhan untuk ia bisa segera menajwab penantiannya selama ini, bukan penantian pada lawan jenis, bukan pula pada cinta. tapi sosok bunda, wanita yang ia bersenyemayam dalam rahimnya selama sembilan bulan, wanita yang melahirkannya hingga menampakkan wajah pada dunia, wanita yang tentu dia rindukan. Wanita yang setiap saat dia nantikan kedatangannya, dengan wajah ceria, membawa sebuah boneka panda berwarna merah muda, merentangkan tangannya seraya berlari dan memeluk tubuhnya dengan rasa rindu yang tiada kata.

Perlahan wajah itu kian sendu, hingga air mata yang lama dia tahan kini sudah tumpah dan merayap pada pipi indahnya, meluncur di sela bulu halus pipinya hingga berlabuh pada dagu mungilnya dan kini, air mata itu telah jatuh disambut lantai tempat ia berdiri memohonkan pengharapannya.

Aku berjalan, mendekat dan kupegang pundaknya dengan wajah simpati. Dia, malaikat kecil yang paling kusayangi, kumanjakan, kucurahkan segenap kasih sayang agar ia tak pernah kesepian. Dia, malaikat kecil yang selalu kurindukan saat aku harus pergi keluar kota untuk bekerja. Dia, malaikat kecil, dua belas tahun yang kutemukan di halaman rumah saat ia masih balita, yang kurawat dengan penuh harapan, yang kubesarkan sebagai jawaban Tuhan atas rinduku pada sosok anak yang tak pernah bisa kulahirkan dari rahimku sendiri. Kini, malaikat kecil itu telah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik, baik, sopan, santu, hingga aku tak pernah bisa memarahinya, karena kesempurnaan yang ia lakukan disetiap kegiatan atau tingkah lakunya yang tak pernah diluar batas yang memancing amarahku mencuap.

Meski ia tak pernah kekurangan kasih sayang, tapi sosok yang membawanya ke dunia ini tak pernah bisa ia lupakan, sangat ia rindukan kedatangannya menjemputnya pulang, meski ia memiliki aku sebagai mamanya dalam kartu keluarga dan akta kelahirannya. Aku tak pernah marah ia merindukan bundanya, hanya saja melihatnya terluka dengan tekanan bathin merindu membuatku lebih sakit. Bahkan aku yang memberinya kebahagiaan tiada tara tak pernah membuatnya menangis, lalu kenapa bundanya membuat putri kecilku selalu merasakan desakan kepedihan menahan rindu yang menyesakkan dada?

“Mama” ucapnya menyadari ada sosok aku yang kini menopang bahunya.

“Iya sayang, ini Mama,” balasku dengan raut simpati.

Ia berbalik badan menghadapku.

“Syahra rindu Bunda,” ucapnya pilu, dan air mata itu tumpah lebih deras lagi.

Kupeluk tubuhnya yang kini bahkan hampir sama tingginya denganku, padahal dua belas tahun yang lalu aku harus duduk setengah berdiri dulu baru bisa memeluknya. Kubelai pelan kepalanya yang ditutupi kerudung biru muda itu. 

“Ternyata malaikat kecilku memang sudah besar,”bathinku.

“Kenapa Bunda tidak pernah datang, bahkan untuk sekali saja, Mama?” tanyanya di sela segukan air mata.

“Syahra percaya, sabar akan berbuah keindahan? Kerinduan akan bersambut pertemuan? Dan pertanyaan akan memiliki jawaban?” tanyaku kembali padanya.

Syahra menjawab dengan anggukan.

“Lalu untuk apa Syahra bersedih? Allah punya cara yang lebih indah untuk mempertemukan Syahra dengan Bunda, bersabarlah sebentar lagi sayang, Allah akan mengabulkan,” lanjutku membuatnya lebih tenang.

Ia mengangguk dengan sedikit senyum kecil di sudut bibir mungilnya.

Aku berdiri, ku tuntun ia untuk memakan makanan yang tadi kuletakkan di atas meja biru di samping ranjang putihnya. Kusuapi lagi malaikat kecil ku seperti saat pertama kali aku menyapinya saat masih balita. Meski masih dengan perasaan sendu, ia melahap semua makanan yang kusuguhkan. Begitulah caranya menghargaiku, dan membuatku merasa seperti ibu kandungnya.

Setelah Syahra tenang, aku pun berlalu keluar kamarnya untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Aku kembali mendapati kursi dan meja kerjaku, dokumen yang menumpuk itu membuatku semakin letih. Namun, bagaimanapun juga harus kukerjakan karena sudah menjadi tanggung jawab dan semua demi masa depan putriku.

Sudah sekitar tiga puluh menit aku berkecimpung dengan kertas dokumen yang memusingkan itu, ku letakakan pena hitam yang tadi kupegang kembali di atas meja, ku dongakkan kepalaku dan membiarkan sandaran kursi membuat punggungku lebih nyaman. Tiba-tiba ponsel ku berdering, kubiarkan sedikit lebih lama, karena sandaran kursi nyaman ini membuatku malas untuk merubah posisi. Seperti biasa, paling yang menelpon suamiku, untuk menanyakan keadaanku dan putri kami Syahra, karena urusan perkerjaan kerap kali memisahkan kami untuk sementara waktu.  Sekali deringan aku biarkan, dua kali masih kubiarkan, tiga kali tak kuhiraukan, dan deringan ke empat langsung kuangkat tanpa melihat layarnya, karena ini pasti sesuai dugaanku, pikirku.

“Assalamu’alaikum Pa, Mama lagi istirahat dan Syahra sudah tidur,” ucapku sedikit kesal karena suamiku kerap kali mengganggu di saat-saat nyaman seperti ini.

“Wa’alaikumsalam, tidak bisakah aku menemui Syahra?” tanyanya dari balik sana. 

Aku kaget, segera kulepaskan ponsel itu dari telinga dan kulihat siapa sebenarnya yang menelpon. Benar, ini bukan suamiku. Nomor ini belum tersimpan di kontak ponselku. Lalu dengan perasaan waspada kudekapkan kembali ponsel itu ke telingaku.

“Siapa ini? untuk apa kamu bertemu putriku malam-malam begini?” tanyaku dengan perasaan was-was tapi tetap tenang.

“Kamu mungkin tidak percaya, bisakah kamu keluar sebentar dan menemui saya? akan saya jelaskan semuanya” tuturnya.

“Keluar kemana? Ini sudah malam?” balasku semakin bingung.

“Saya sedang di depan rumahmu, tidak bisakah kamu menemui saya sebentar? saya suami Bundanya Syahra,” balasnya membuat pengakuan.

Aku menghela napas panjang. Dengan perasaan bertanya-tanya kukumpulkan energi yang tersisa berjalan keluar, menemui orang yang katanya suami dari bundanya Syahra alias ayah tiri putriku.

Setelah berkenalan, kupersilahkan laki-laki yang seusia suamiku masuk. agar kami bisa berbicara lebih nyaman, ditemani asisten rumah tanggaku agar tidak menimbulka fitnah tetangga nantinya. Kudengarkan semua penjelasannya tentang masa kecil putriku, keadaan yang memaksa bundanya meninggalkan Syahra di halaman rumahku, dan tentang kaadaan yang kini menimpa ibu kandung putriku. Aku percaya! karena dia juga menunjukkan buktinya dan tak ada hal yang meragukan dari penjelasannya.

Kembali aku menghela napas panjang. Apa artinya aku akan terlupakan? apa ini artinya Syahra akan meninggalkanku dan kembali ke Bundanya? apa aku akan kembali kesepian lagi? meskipun begitu aku tidak bisa menghalangi putriku untuk menemui bundanya, sosok yang lama dirindukanya. Sekalipun ini membuatku takut kehilanganya.  

aku berjalan ke kamar Syahra lalu membangunkannya, untuk segera pergi menemui bundanya ke rumah sakit, karena keadaan bundanya yang kini sangat parah. Aku tak ingin menyesal suatu saat nanti karena selalu melihat putriku bersedih yang tidak pernah bisa melihat bundanya. mendengar penjelasanku Syahra sangat bahagia, ia sungguh semangat meski tahu bundanya sedang dalam keadaan terparahnya. Mungkin menurutnya hanya dengan melihat saja sudah membuatnya lebih bahagia.

Sampai di rumah sakit, Syahra langsung berlari memeluk bundanya yang tergeletak lemas di ranjang pasien, karena ginjalnya yang harus segera ditransplantasi, tapi sayang ia belum juga bisa mendapatkan pendonornya, hingga akhirnya kalimat yang membuatku kaku keluar dari bibir putriku.

“Mama, Syahra mau mendonorkan satu ginjal Syahra untuk Bunda.”

Kali ini aku menentang, dengan susah payah kubesarkan dia tanpa cacat, dan tidak mungkin bisa kubiarkan dia hidup dengan anggota tubuh tak lengkap, apalagi hanya dengan satu ginjal saja. Namun, seberapa kerasnya aku menentang, putriku tetap dengan kemantapannya, dan akupun jua hanya bisa mengiklaskan.

“Hanya segumpal hadiah ini yang bisa Syahra berikan untuk membalas jasa Bunda,” tambahnya tersenyum ikhlas yang membuatku hanya bisa menghela napas pasrah.

MELODY RINTIHAN RINDU

OLEH : VIA INDRIANSI

Denting piano itu masih terdengar nyaring di telingaku, melody rindu yang selalu dia rekam dan kirimkan kepadaku, dikala ia harus menyelesaikan pengabdiannya pada negeri dan tak bisa bertemu dalam waktu yang cukup panjang. Dulu, aku tersenyum setiap menerima rekaman melody itu. Kukatakan padanya untuk bersabar, semua akan indah pada waktunya. Namun, kini, aku hanya bisa merintih rindu saat memutar kembali rekaman melody piano yang telah usang di makan waktu. Sebelas tahun lamanya kami menjalin cinta, merajut kasih dengan komitmen dan kesetiaan, tapi, kesetiaan itu kini hanya tinggal kata yang tak bisa kudeskripsikan rasa sakitku saat mendengarnya.

Pria yang telah kudedikasikan seluruh hidup dan cintaku padanya, kini hilang, lenyap, bahkan untuk terakhir kali saja aku tak bisa menatap matanya. Mata yang selalu menatapku dengan penuh cinta, mata yang  ikut bersedih disaat aku berduka, mata yang tersenyum ikhlas saat mendengar cerita kegiatanku hari ini, mata yang telah berjanji hanya akan menatapku sebagai wanitanya, wanita nomor satu dalam hidupnya. Namun, itu semua dulu, kini, hanya tinggal sayup-sayup kenangan yang mestinya kutenggelamkan di laut bersama dirinya yang ikut membenam.

Seminggu sebelum pernikahan kami, dia mengatakan hal yang sangat mencengangkan bathinku. Membuat aku harus memutar ekstra otakku untuk mengiyakan permintaanya. Ia tersenyum, menatap mataku sangat dalam. Sendu. Namun, aku, menganggap semuanya hanya lelucon. Ia sering seperti ini, pikirku, tak mungkin akan terjadi hal aneh sementara kami akan segera bersama, bathinku. 

“Sha, kamu tahu...?” tanyanya tiba-tiba.

“Aku tahu,” jawabku pasti dengan kalimat pertanyaan yang bahkan belum tuntas ia katakan, seolah aku sudah sangat paham apa yang akan dikatakannya.

“Aku sungguh mencintaimu,” tambahnya.

“Dan aku tak pernah meragukan itu,” jawabku dengan senyum tulus.

“Karena itu, jika nanti..., aku tidak datang di hari pernihakan kita, kamu harus tetap memakai gaun pengantinnya,” ucapnya seolah bercanda, tapi sungguh terlihat serius.

“Heehe, itu hari pernikahan kita, hari yang paling kita nanti, bagaimana mungkin kamu melewatkanya,” balasku tetap bersikap normal, meski hatiku mengatakan ada hal yang tidak biasa.

“Benar, itu hari bahagia kita, bagaimana mungkin aku tidak datang,” balasnya seolah meyakinkan diri disusul senyuman seperti biasa, tapi kali ini terlihat sendu.

“Zam, ada apa?” tanyaku setelah sejenak membiarkan suasana hening.

“Aku hanya ingin memastikan, kamu, tetap memakai gaun pengantin itu apapun yang terjadi.” 

Aku tersenyum. Zam menapatapku, mengibaskan poni yang menghalanginya melihat seluruh inci wajahku. Setelah beberapa saat, ia mengecup keningku. Tulus, terasa sangat tulus.

Aku tersenyum mengangguk pasti mengiyakan perkataanya yang entah mengapa seperti kata perpisahan darinya. Namun, kembali kutepis jauh pikiran terkutuk itu, aku hanya ingin menjalankan semua skema kehidupan berumahtangga yang telah lama kususun bersamanya. Sebuah pelukan hangat dari belakang, saat aku tengah sibuk memasak sarapan pagi atau sajian untuk makan malam bersama. Berbelanja bahan makanan sambil terkekeh pelan saat ada bahan yang tak penting dibelinya. Sebuah senyuman penuh cinta saat ia akan menguncir rambutku ketika aku sedang tidak sehat. Beberapa kalimat manja yang akan dia gunakan untuk merayuku agar tidak lagi marah padanya. Namun, kini, skema itu pun ikut buram kembali menjadi kertas putih bersih.

Rasanya masih belum percaya mendengar kabar tentang dirinya, kabar duka yang sangat mendalam bagiku. Kabar yang teramat menusuk dada hingga menembus pungguku dan akhirnya aku merasakan yang namanya luka tak berdarah. Luka bathin yang seumur hidup tak akan bisa kulupakan. Bahkan rasanya untuk kembali mencintai dan membuka diri saja, aku sudah tak ingin melakukannya. 

Pesawat terbang itu seperti malaikat pencabut nyawa Zam, ia membawa Zam mendekat hingga menumpanginya dan akhirnya ia juga yang membawa Zam kembali pada Tuhan Yang Esa. Yang membuatku harus mengahadiri sendiri hari pernikahan itu tanpa pengantin prianya.

Dan akhirnya hari pernikahan kami tiba. Pernikahan Zamharta Alfawwaz dan Sharoonia Aisyah. Hari yang harusnya teramat membahagiakan dalam hidupku. Sejarah pertama didaftar history yang akan kutulis. Namun, ternyata, hari ini, hanya tinggal aku bersama bayang semu calon suami yang sangat kucintai. Ingin sekali rasanya aku mengutuk dunia. mengapa harus mengambil dia? dan kenapa harus di waktu yang kebahagian sempurna hampir kami rasakan? Rasanya tidak adil, sangat pilih kasih. Di sini aku yang diuji, dia masih bisa tersenyum melihatku dari atas sana, sementara aku, harus membengkakkan mata karena air mata ini meluap terlalu banyak.

Aku terlanjur sayang, sudah sangat cinta, sampai tak pernah terbesit di benakku untuk meninggalkannya, terbesit saja tidak! apalagi untuk melakukannya, sungguh tidak mungkin! Aku kecewa, sangat terluka. Dia yang selama ini tak pernah ingkar janji, mengapa kini untuk saat paling kami nanti dia pergi, menghapus semua kenangan bersamaku, melupakan setiap inci wajahku, pergi dengan pasti, tanpa sekali saja berbalik badan dan menatapku lagi, sembari berpikir dua kali sebelum betul-betul pergi.

Kini, aku hanya bisa menatap fotonya, memaki dirinya yang pergi tanpa pamit. Ingin kukubur semua kenangan itu, tapi tak bisa, semuanya terlukis terlalu kentara. Semuanya tertanam terlalu dalam hingga kupikir, aku tak akan pernah mampu untuk mengusirnya dari pikiranku.

Menurutmu, apa mungkin aku bisa hidup dengan semua kenangan indahku bersamanya? aku bukan malaikat yang tak punya rasa, aku manusia. Aku bukan wonder woman dengan kekuatan supernya, juga bukan cat woman dengan keteguhan dirinya. Aku hanya wanita biasa yang tahu bagaimana bahagia, dan, kini, kurasa, bahagia itu sedang berjalan menjauh dariku. Sekarang, kurasa, aku hanya merasakan sakit yang teramat menadalam.

Tetapi, aku kembali ingat akan janji terakhir yang harus kutepati. Aku beranjak pergi dari ranjang yang sudah tiga jam lebih menemaniku dan ikhlas menampung semua air mataku. Kubuka pintu kamar mandi, kucuci bersih wajahku. Dari pantulan cermin, aku tersenyum melihat diriku yang kini telihat buruk. Tidak! aku tak boleh seperti ini, Zam akan sangat sedih melihatku jika terus bersedih. Aku yakin dia pasti di sini, sedang memberikan semangat dan menugguku keluar dengan gaun pengantinku. Bathinku memberi semangat akan hal yang tidak nyata.

Usai membersihkan muka. Kubuka laci dan mengambil beberapa kosmetik yang telah kami persiapkan untuk hari pernikahan ini. Kemudian kulanjutkan memakai gaun pengantinku. Setelah dandananku selesai, aku sejenak menatap kembali tubuhku. 

“Cantik! harusnya kamu melihat ini, Zam,” gumamku disusul senyuman getir.

 Kucari handphone yang entah dimana kuletakakan setelah mendengar kejadian itu. Setelah mengingat, aku pun menemunya kembali. Kubuka applikasi kameranya, kulebarkan senyuman agar semua terlihat baik-baik saja dan kemudian kuabadikan kecantikan ini dengan mengambil beberapa potret fotoku bersama gaun pengantinku, sebagai pembuktian janji yang sudah kutepati. Sempurna! semua terlihat sempurna jika seadainya dia masih di sampingku.

Kau tahu, malam ini harusnya jadi malam pengantinku, tapi yang kulakukan hanyalah menatap langit sembari tersenyum yang entah bagaimana akan kudeskripsikan senyuman itu. Senyum bahagia? tentu saja tidak, bagaimana mungkin ada manusia yang bisa tersenyum bahagia kala pengantin pria mengacaukan hari pernikannya. Senyum luka? jika dikatakan begitu, sepertinya tak ada bagian tubuhku yang berdarah. Atau senyum kesedihan? aku bahkan belum pernah tahu bagaimana cara seseorang tersenyum di kala sedih. Entahlah, apapun arti senyuman ini, bukankah tidak penting, yang terpenting hanyalah seseorang harus tetap terlihat bahagia dengan senyumannya, sekalipun ia sendiri tak bisa mengartikan senyuman itu.

“Zam, aku tahu kamu bisa melihatku, meski aku hanya bisa melihat fotomu. Hmmm, pembohong, katamu, kamu ingin tetap bersamaku seratus tahun lagi, tapi apa ini? kamu hanya kuat sebelas tahun saja. Kelak saat kita bertemu kembali akan kutagih janji yang belum sempat kau tepati, yaaa, anggap saja kini kau masih berhutang padaku. Zam, apa kamu senang? kini kau tak perlu mengirimkan melody lagi kala kau rindu, kau bebas datang kapan saja. Zam, sering-sering lah berkunjung di mimpiku dan tetap awasi aku dari atas sana.”

Mungkin kini saatnya aku memberikan ucapan selamat tinggal. Pada cinta yang sudah kujaga sebelas tahun lamanya. Pada kesetiaanya yang selalu kupelihara. Pada rindu, oh tidak! aku tak akan pernah mengakhiri rindu ini, sampai akhirnya kami dipertemukan kembali. 

“Selamat jalan, Zam, aku akan bertemu denganmu kembali dikehidupan selanjutnya. Terimakasih semua warna kehidupan luar biasa yang pernah kita ciptakan bersama. Kini, aku ikhlas.”

SAYAP ANGIN DESEMBER

OLEH : VIA INDRIANSI

Hidup bagaikan pelajaran statistik. Jika kamu tidak bisa menemukan rumus dan menyelesaikannya dengan baik, maka, kamu selamanya akan terperangkap dalam satu masalah yang tidak akan pernah bisa kamu selesaikan. Kamu perlu mencari tahu, tanpa diberitahu apa yang salah sebenarnya, jika kamu meminta bantuan orang lain, maka kamu tidak akan pernah bisa memahami masalahnya dan menyelesaikannya.

Ada begitu banyak hal yang harus diselesaikan dalam kehidupan, Tuhan telah menciptakan skenario yang begitu indah untuk makhluk ciptaannya di dunia. Aku sering, mendengar pepatah “Jika kamu menanam kebaikan pasti kamu akan menuai kebaikan, namun, jika kamu menanam keburukan maka kamu akan menuai keburukan pula”. Tuhan itu adil! tak ada satu pun kejadian di dunia ini berada di luar kendalinya. Tapi, apakah pepatah ini pantas aku jadikan sebuah referensi dalam hidupku? yang aku ketahui dari kecil hingga sekarang aku belum pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku pikir, aku pasti bisa mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya itu, nanti, setelah aku bisa menemukan jati diriku, setelah aku tahu tujuan hidupku, tapi karena kegagalan yang kerap kali hadir, aku merasa hidupku tak ada gunanya, bahkan tak ada sesuatu hal pun yang pantas dibanggakan dariku. 

Namun aku bersyukur karena masih punya kedua orangtua yang sangat menyayangiku, orangtua yang berharap banyak kepadaku, orangtua yang berharap putri sulungnya pasti bisa merubahan kehidupannya, bisa merubah derajat keluarga. Namun, aku sendiri merasa ragu akan hal itu. Tertekan? tentu saja, iya!  malu? apa lagi! Diusiaku sekarang ini, bahkan aku belum bisa menghasilkan uang untuk diriku sendiri apalagi untuk orangtua.

 Dari kecil aku memang dididik oleh ayah untuk menjadi anak mandiri, tegas, kuat, bertanggung jawab, dan bisa diandalkan, tapi aku merasa semua itu percuma. Bahkan sekarang aku tumbuh menjadi sosok wanita lemah, rapuh, dan seperti tak punya apa pun yang pantas diperjuangkan dalam diriku.

Apa mungkin aku benar? tak ada yang pantas untuk diperjuangkan dalam diriku? mungkinkah aku terlahir hanya untuk menjadi seseorang yang ahli dalam merepotkan orang lain? entahlah, aku saja bingung untuk menjawabnya.

Keluargaku dari dulu memang bukan terlahir dari keluarga kaya, yang serba ada, punya kemewahan yang sekejap bisa terpenuhi. Tidak, dari kecil kami sudah diajarkan untuk bekerja keras demi mendapatkan sesuatu yang kami inginkan, bahkan sampai sekarang pun itu masih berlaku. Sepertinya dalam urusan asmara pun aku harus benar-benar bekerja keras.

Apa betul aku seseorang yang tak pantas untuk diperjuangkan?

Aku hanya ingin menjadi wanita seperti mereka, tapi mengapa sangat sulit? mereka dengan mudahnya menemukan seseorang yang sangat mencintainya, seseorang yang mengerti dia, seseorang yang memahaminya, menyayanginya dan rela mengorbankan segalanya untuk dia. Tapi aku? kerap kali aku terlihat seperti sampah dalam kehidupan seorang pria yang sudah kudedikasikan hidupku untuknya.

Sore itu, sore yang betul-betul ingin ku lupakan, ingin ku tenggelamkan memori itu bersama hujan yang jatuh ke dalam lautan, ingin ku terbangkan serpihan luka itu bersama sayap angin Desember yang berhembus kencang, ingin ku lenyapkan kenangan itu bersama awan hitam yang bergumpalan.

Harga diriku terlihat sudah tak lagi ada di hadapannya, laki-laki yang sudah kukencani selama enam bulan lebih, kini mencampakkanku bagaikan sampah, bahkan sampah yang tak dapat di daur ulang kembali. Kadang aku malu, melihat bayangan memori terkutuk itu terlintas dalam benakku. Harusnya aku yang mencampakkannya. Dia yang mengkhianati, dia yang sering ingkar janji, dan dia yang seperti makhluk yang selalu ingin dipuji. Jika ku pikir dengan akal sehat kembali, dia yang lebih buruk hidupnya dibandingkan aku. Harusnya dia yang ku buang jauh, kutenggelamkan di laut merah hingga ia membenam bersama fir’aun. 

Tapi, kembali ku usap kasar mukaku, semua itu hanya keharusan sikap yang ku lakukan, bahkan aku tidak betul-betul bisa melakukannya. Buktinya, kini aku yang ia campakkan, aku yang menangis, aku yang tersakiti, aku yang masih belum bisa melupakan meski bersikeras ingin melupakan.

Tiga hari lamanya aku mengurung diri di kamar, tidak masuk kuliah apalagi untuk memikirkan konsenkuensi pada nilaiku. Aku hanya merenungi semua kebodohanku selama ini. Aku hanya ingin betul-betul menggunakan akal sehatku, mencari hikmah yang Tuhan selipkan dalam kejadian memalukan ini. Kini, ku rasa semuanya harus berbeda, tidak akan ada lagi kesedihan, tak akan ada lagi air mata, jua takkan ada rasa kecewa, apalagi umpatan sumpah serapah pada Tuhan. Aku percaya, punya sedikit kelebihan yang pantas dibanggakan. 

Sekarang aku memutuskan hanya akan menggunakan akal sehat. Dan aku percaya, kejadian ini bentuk rasa cinta yang Sang pemilik cinta berikan padaku. Allah ingin aku sadar, bahwa ikatan yang tidak halal hanya akan membuatku kecewa, Allah ingin melindungiku dari panasnya neraka, Allah ingin menjauhkanku dari seseorang yang membuatku terluka, Allah ingin aku sadar, bahwa menyayangi diri sendiri itu sangat penting, Allah ingin aku tahu, bahwa Dia telah siapkan semua di saat yang indah, di waktu tak terduga.

Bandung, Pagi ini, 17 Desember 2017, aku berjalan dibawah payung biru yang ku gunakan untuk melindungi diri, dari rintik hujan yang bisa saja membasahi tubuh. Ku susuri jalan taman menuju auditorium kampus dengan hati yang lebih tertata. Tekatku hanya satu, akan ku ciptakan semua kebahagiaan yang mestinya selama ini aku rasakan.

Tapi, belum sempat aku sepenuhnya semangat, kutukan itu kembali datang, seolah ingin menghapus semua skema hidup yang baru saja ingin ku jalani. Mantan sialan itu tak hanya mencampkakanku, ternyata dia betul-betul ingin menghancurkanku, lihat saja sekarang dengan sengaja dia membeberkan kesadisannya memutuskan hubungan kami pada teman di kampus. Kini, aku beratus ribu kali bersyukur, Allah jauhkan spesies paling menjijikkan ini dari hidupku.

Baru sekitar 50 meter aku menyusuri jalan di taman menuju auditorium, tak sengaja mataku menatap sekumpulan pria dengan style famousnya sedang bercengkrama di bangku coklat di sebuah lorong depan gedung dekan fakultas hukum yang sedang ku susuri, salah satunya dia, Riu, Si mantan spesies paling menjijikkan yang ku ceritakan sebelumnya. Sentak, kakiku terhenti, aku diam, aku sendiri bingung dengan sikap otomatis yang dilakukan tubuhku. Jauh dalam lubuk hati, aku ingin bersikap biasa saja, terlihat seperti orang yang tidak pernah saling kenal, namun, tanpa ku sadari tubuhku tidak dapat ku arahkan seperti keinginan hati. Entah karena rasa malu, jengkel, kesal, atau marah, yang pasti bukan lagi karena cinta apalagi sayang.

Sekitar dua menit aku berdiam, kaku, tubuh yang tak bisa ku kendalikan sesuka hati. Dengan sekuat tenaga, ku kumpulkan keberanian penuh, aku mencoba berjalan biasa saja dengan tetap masih menggunakan payung yang kini hanya akan melindungiku agar tidak basah karena gerimis, karena hujan lebat hampir mereda. Selangkah biasa saja, tapi aku masih bisa merasakan mereka sedang tidak melihatku, dua langkah masih tak mengapa, Riu pun juga masih asik mengobrol, langkah ke lima ku dengar seseorang yang memanggil namaku, sontak kakiku kembali terhenti.

“Aaadeva Mecca Shellia...,” panggilnya dengan memenggal kata per kata namaku.

Aku berhenti, tapi tak sanggup menatap ke samping kiri untuk mencari pemilik suara.

“Dia gadis yang loe campakkan tiga hari yang lalu kan, Riiiuuu?” lanjutnya dengan nada ejekan, menata satu per satu kata yang dia ucapkan.

Aku yakin, kini Riu sedang tersenyum licik hanya menampakkan sebelah kiri bibir atasnya yang terangkat. Meski aku tak melihat, setidaknya aku masih ingat cara dia tersenyum saat melihat orang yang tak ia sukai.

“Pilihan loe tepat, Ri, ngebuang dia dan milih Tasya. Loe lihat aja meski dandan seperti apapun dia akan tetap jadi jelata yang tidak akan pernah bisa menjadi putri kerajaan,”

Aku masih diam, ku tahan umpatan serapah itu, meski hatiku terkoyak perih. 

“Udah dibuang, masih aja berani nampakin muka buruknya, urat malu udah putus kali tuhhh,” timpal seorang temannya lagi.

Yang ku tahu, teman-teman Riu kemaren menjauhinya karena Riu mengencani aku, dan mungkin sekarang mereka kembali lagi pada bangsat itu, setelah tahu aku sudah dimusnahkan dalam hidupnya. Tentu saja mereka bahagia, karena mereka tak pernah sekalipun menyukaiku.

“Loe bisu ya habis diputusin Riu, mimpi ketinggian sih, ngarepnya jadi putri kerajaan, pas jatuh, loe sendirikan yang hancur. Sadar diri kek.”

Riu juga hanya diam sambil tersenyum khas membiarkan temannya mencaci makiku.

Demi Tuhan, kali ini tidak lagi sanggup aku menahan diri, ucapannya betul-betul menyayat, mengikis bahkan ke bagian hatiku terdalam. Tanpa sadar payung yang tadinya ku pegangi, kini terlepas dari genggaman. Air mataku keluar bersatu dengan sisa hujan bertemu pada satu titik, ujung daguku. Jilbab tosca yang ku kenakan pun mulai basah. Ku arahkan pandanganku ke mereka, mataku menatap tajam, merah, karena rasa sakit yang ku tahan bersama timpaan air hujan yang kembali deras.

“Aku salah apa sama kalian?” balasku dengan nada menahan amarah. “Apa miskin sebuah aib bagi kalian? apa kalian anggap orang miskin tak punya hati, tidak memiliki harga diri yang seenaknya mulut sampah kalian mencaci maki. Setidaknya jangan mencaci sekalipun kalian benci, satu hal yag perlu kalian ingat, tidak akan selamanya hidup kalian di atas. Di atas langit masih ada langit,” lanjutku setengah berteriak.

Mereka hanya tersenyum picik mendengar kalimatku yang bagi mereka cuma lelucon.

“Dan kamu, Riu, terimakasih, karena kamu, aku tahu membedakan mana yang baik dan mana yang munafik dan aku bersyukur,” ujarku pada mantan sialan itu.

Mereka bangkit, lalu pergi meninggalkan aku yang masih berdiam diri menatap tajam. Kutekuk lututku, posisi yang tadinya berdiri kini berubah jongkok. Aku hanya ingin menangis, tak peduli dengan orang sekitar, toh juga mereka sudah tahu masalahku, aku hanya merasa lelah setelah berperang dengan rasa takutku sendiri. Sekitar lima menit aku berjongkok di tengah hujan, aku kembali merasakan keteduhan, seseorang seperti sedang di dekatku, memegangi payung yang sempat tak ku pedulikan. Aku mendongak, lalu ku arahkan pandangan ke atas sejenak, ku lihat ke samping kanan, dia berdiri dengan ekspersi datar memegang payung itu tanpa sedikitpun melihatku, apalagi mengulurkan tanganya untukku.

“Berdiri! Kamu punya harga diri yang pantas kamu hargai, perbaiki hidupmu, pantaskan dirimu, setelah Ujian Akhir Semester akan ku temui Ayahmu untuk memintamu menjadi makmum dalam hidupku. Setelah itu, ku pastikan tak ada satu orang pun yang akan berani menghinamu lagi.”

Aku syock, jantungku macet, aliran darahku tersumbat mendengar kalimat yang terkesan becanda, tapi dia katakan dengan serius. Setelah beberapa menit aku sadar, baru saja aku dilamar seseorang yang sangat terjaga dirinya, ketampanan dan sifat cueknya membuat hampir semua gadis ingin jadi istrinya, terlebih karena dia, pria bernama Syauqi Malik yang dianggap sebagai pemuda ahli ibadah.

Aku berdiri, menatapnya dengan penuh tanda tanya. 

“Tak ada yang perlu kamu tanyakan tentang sikap ini, apalagi alasan, kamu hanya perlu tahu, Adeva gadis yang pantas bahagia,” ucap Malik tersenyum tipis dan berlalu menempuh hujan dengan santai setelah memberikan payung itu padaku.

Entah ini nyata atau mimpi, jika benar mimpi aku tak ingin bangun dan ingin melanjutkan kisah itu lagi. Tapi, jika ini sungguh  nyata, Malik akan menjadi bintangku dipekatnya malam, yang akan tetap bersinar, agar aku tak tenggelam dalam kegelapan. Tuhan terimakasih untuk hadiah indah ini.

Sabtu, 13 Juni 2020

Lengkungan Berkah

Oleh: Nendi Dwi Wahyuni


Malam begitu gelap. Meski berkelap-kelip, bintang tidak terlihat indah seperti biasanya. Meski sudah makan, namun rasa lapar tak kunjung reda. Meski sudah tidur semalaman, namun kantuk terus menerpa. Meski bernapas tanpa biaya, namun tetap sesak melihat yang lain bahagia. Meski semua terlihat berkecukupan, namun tak pernah syukur tercipta. Aku, manusia.

“Gila kamu!”

“Tidak, bu. Justru karena aku tidak gila aku mengambil keputusan ini,”

“Tidak. Ibu tidak akan mengizinkanmu!”

“Bu, aku mohon.”

Aku, manusia. Makhluk paling sempurna di antara ciptaanNya. Aku, seorang wanita. Yang diciptakan Sang Pencipta begitu mulia. Derajatnya tinggi menjulang.

Selama ini aku hidup berkecukupan. Menjadi anak tunggal dari kedua orangtua yang tidak kenal lelah mencari kebutuhan.

Suatu hari aku diberikan video yang begitu menyedihkan oleh temanku. Banyak anak-anak yang kelaparan. Ledakan bom di mana-mana. Perang. Meski negara-negara di dunia terlihat bahagia, ternyata masih ada negara yang belum merdeka. Aku sudah lama mendengar kabar tentang ini. Namun, aku tidak pernah begitu menanggapinya. Mungkin dulu aku begitu melakoni sebagai seorang manusia yang tak berjiwa.

Kini, aku tersadar. Ada cinta dari mereka untukku. Ada kasih berupa peduli yang mereka inginkan dariku. Tidak. Mereka bahkan tidak pernah meminta kepadaku yang tidak punya rasa cinta. Mereka hanya berharap pada Sang Maha Cinta. Hatiku diketuk olehNya, hingga mulai tumbuh rasa manusia yang hakikatnya dicipta.

Aku mengambil keputusan. Sudah cukup selama ini aku berlebihan. Sudah cukup selama ini aku tidak punya kepedulian. Berhenti menjadi manusia yang penuh keegoisan. Aku mengambil keputusan. Aku akan berangkat membantu saudara-saudaraku di sana.

Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak di atas dipan, sementara mereka tengah disiksa. Aku di sini hanya mempertahankan cita-cita untuk menggapai dunia, sementara mereka mempertahankan agama. Aku diberi kelebihan, sementara mereka serba kekurangan. Aku harus memberikan kontribusi terbaik. Kuberikan cinta lewat doa. Kini, Sang Pemilik Takdir telah menetapkan bahwa aku bisa untuk membantu saudara di Palestina.

“Ayah,”

Ayah hanya diam. Sementara Ibu, sibuk menangis.

“Lebih baik Ibu jatuh miskin daripada harus kehilangan kamu, nak,” isak tangis Ibu semakin kencang.

“Apa sebenarnya tujuan kamu?” akhirnya Ayah angkat bicara.

Dengan pasti dan tanpa keraguan aku menjawab, “Keberkahan dari Allah, yah,”

“Lalu kuliah kamu bagaimana?” Tanya Ayah lagi.

“Aku akan menyelesaikannya segera. Setelah wisuda, barulah aku berangkat, yah,” jawabku dengan tenang.

“Bagaimana dengan perusahaan yang sudah menunggumu untuk segera wisuda dan bekerja di sana?”

Seketika aku teringat. Betapa pelupanya aku. Aku lupa bahwa perusahaan tempat aku magang sudah menjajikan agar aku bekerja di sana setelah menjadi sarjana. Bahkan aku dijanjikan sebuah posisi yang diidamkan banyak orang.

“Jika benar di sana Allah menetapkan rezekiku, maka aku akan tetap diterima bekerja di sana setelah pulang dari Palestina nantinya. Tapi jika tidak, maka rezekiku sudah ditempatkan di tempat lain oleh Allah, yah. Dan itu jauh lebih baik,” aku berusaha meyakinkan Ayah.

“Baiklah. Dengan terpaksa, Ayah mengizinkanmu,” Ayah mengusap kepalaku.

“Bu,” aku kembali menatap Ibu yang sesenggukan.

“Tapi kamu harus berjanji kembali dengan selamat,” Ibu memegang wajahku.

Kutatap mata Ibu. Terlihat jelas ia begitu takut kehilangan aku, anak semata wayangnya. Wanita yang dengan susah payah merawatku hingga dewasa. Bagaimana mungkin Ibu melepasku begitu saja.

“Karena itu, aku butuh doa Ibu. Doakan aku agar selamat di sana, bu,” kupeluk erat tubuh Ibu. Akhirnya air mataku jatuh. Aku menangis dalam pelukan sang Ibu. Ayah juga ikut memeluk dua wanita yang paling ia sayang.

Setelah mendapat perizinan, aku semakin giat menyelesaikan kuliah. Tidak memakan waktu yang lama, aku wisuda. Kukirim pula email ke perusahaan yang menantiku bekerja di sana, bahwa aku memutuskan untuk menunda bekerja.

Ayah dan Ibu mengantarkanku ke bandara. Tidak banyak percakapan antara kami bertiga. Aku tahu, Ayah dan Ibu begitu mengkhawatirkan aku. Pun dengan diriku sendiri. Aku sebenarnya juga begitu takut, hanya saja tekadku untuk menolong para saudara di sana lebih besar dari rasa takut.

Aku pergi. Entah akan kembali atau tidak. Pun jika diizinkan kembali, entah masih sesempurna sekarang atau tidak. Tidak ada yang tahu. Yang jelas, niatku Lillah. Yang aku tahu, apa-apa yang kuperbuat demi mendapat keberkahanNya maka tidak ada yang sia-sia. Yang aku percaya, bahwa Allah tidak akan pernah mengingkari janjiNya.

“Ayah, Ibu. Aku pamit.”

Kembali kupeluk kedua malaikat berwujud manusia itu. Mungkin itu adalah pelukan terakhir atau mungkin itu adalah pelukan yang akan menyelamatkanku selama di sana.

Aku berangkat. Meninggalkan negara tercinta. Jauh dari orangtua. Aku melakukannya demi cita-cita, yang bukan hanya dunia balasannya, tapi juga di akhirat tempat kita kelak abadi selamanya.






Tentang Penulis

Nendi Dwi Wahyuni memiliki hobi menulis karena menulis mampu membuat sang penulis abadi. Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia ini memiliki karya-karya yang pernah diterbitkan, antara lain; Hadiah Giveaway Sina (antologi cerpen dan puisi sebagai karya cerpen terbaik 1), Kaya Materi Tersembunyi (antologi cerpen sebagai juara 3). Penulis bisa dihubungi melalui email:nendidwi6@gmail.com


Aku Ingin Menjadi Kucing

Nafa Shahamah I.N


"Meong."

"Iya, sebentar!" sahut seorang pria yang masih menggunakan apron di depan seragam sekolahnya. Tangannya kini sibuk memindahkan makanan kucing ke wadah. Menimbang-nimbang takaran agar tidak kurang ataupun lebih.

"Candra! Kau pikir ini jam berapa?" Suara seorang gadis memekik yang berasal dari luar rumah. Gadis itu sangat jengah menunggu teman tetangganya itu.

"Sabar! Kunaya, Kumari, Kunaidi, dan Kunaca masih sarapan," kata Candra yang hanya membuka jendela rumahnya agar suaranya terdengar.

"Hah?" Gadis itu mulai kesal. "Kau sudah memberinya makan, bukan? Ya udah tinggal aja dong. Kenapa harus menunggu?" 

Gadis berambut hitam pekat itu menjatuhkan tangannya di sisi jendela. Matanya berputar malas ketika mendapati temannya yang tersenyum menunggu kucing-kucingnya makan. Ia bahkan ikut duduk di lantai seolah tak ada lagi kebahagiaan selain itu. "Setelah diberi makan, wadahnya harus segera dibersihkan dan disimpan. Kalau tersampar rusak atau hilang, sulit mencarinya lagi."

"Tinggal beli lagi lah," ujar gadis itu menompang dagunya.

"Kau tak tahu kalau mereka itu memiliki wadah favorit?" tanya Candra dengan wajah seriusnya. "Misalnya Kunaca ini, wadah yang ia gunakan harus berwarna biru, bergambar bunga, dan-"

"Iya! Ayolah. Kita udah telat ini," desak gadis itu tak sabar lagi. Jam di pergelangannya sudah menunjukkan waktu 06.45, yang artinya mereka hanya memiliki waktu 15 menit lagi. Tapi waktu mereka terpotong lagi karena Candra harus bersih-bersih, merapikan diri, bahkan menyapa kucingnya satu per satu.

"Sampai jumpa semuanya!" pamit Candra melambaikan tangan.

"Meong." Seolah tahu, para kucing itu menyahut. 

"Nafa! Apa yang kau lakukan? Kita bisa telat ini!" tegur Candra kepada gadis yang berjongkok di depan rumahnya. Ia melotot ketika melihat waktu mereka tinggal 5 menit lagi.

"Memangnya siapa yang membuat kita telat, huh?!" jerit Nafa tak peduli lagi. Ia bahkan ditinggal oleh Candra yang berlari terlebih dahulu setelah menegurnya.

Usai pulang sekolah, Nafa merebahkan tubuhnya di pulau kapuk berwarna biru. Menatap langit-langit sambil menerawang. Ia memikirkan betapa menyedihkan dirinya. Bahkan kucing saja jauh lebih baik daripada dirinya.

"Agh!" kesalnya memeluk bantal lalu berguling kesana kemari. "Kenapa jatuh cinta seribet ini, sih?"

Meskipun kesal, tak bisa dipungkiri bila pipinya sudah berubah menjadi merah sekarang. Hatinya gundah, menginginkan lebih. Tapi, ia tahu bila takdir tak semudah itu mengabulkannya.

"Oi! Kunaca!" Suara laki-laki itu menggema sampai di kamar Nafa yang berada di lantai dua. Membuat Nafa bangkit dan melihat ke bawah.

"Ada apa?" tanyanya yang sebenarnya ia tahu apa yang dilakukan lelaki pecinta kucing sialan itu.  Terlihat jelas di wajah Candra, ia panik dan bingung. Peluh keringatnya yang menetes menunjukkan ia sudah bergerak cukup lama.

"Kunaca hilang! Kau melihatnya tidak?" Nafa melihat kembali ke dalam kamarnya. Matanya bertubrukan dengan mata kucing di atas kursi belajarnya. Kunaca si kucing hitam itu dengan santainya menjilat kaki depannya.

"Ada di kamarku!" teriak Nafa menunjuk ke dalam kamar dengan jempolnya.

"Oke, aku kesana!" ujar Candra lalu berlari ke dalam rumah Nafa. Membuat Nafa membulatkan mata tak percaya.

"Dia nggak menganggap aku perempuan atau bagaimana sih?" guman Nafa menepuk jidatnya sendiri. Padahal ia tadi berniat membawa Kunaca turun.

"Dimana?" tanya Candra yang langsung ke intinya. Karena Nafa tak menutup pintu kamarnya, ia bisa langsung masuk begitu saja. Nafa hanya pasrah dan menunjuk dengan dagunya.

"Ah, syukurlah. Kupikir hilang." Raut wajahnya berubah menjadi lega. Ia mendekat pada Kunaca dan mengelus kepalanya.

"Akan kubawakan minuman," kata Nafa keluar dari kamarnya. Ia bisa saja membunuh kucing itu bila terus berada disana.

"Yang dingin, ya!" pinta Candra yang dijawab gumanan oleh Nafa. Lalu ia kembali tersenyum-senyum pada Kunaca. "Oh, iya! Kau belum makan, bukan? Tunggu disini, akan kubawakan makananmu," ujar Candra beranjak pergi.

"Lho? Mau kemana?" tanya Nafa yang membawa nampan berisi 2 gelas minuman.

"Ambil makanan buat Kunaca!" jawab Candra sambil berlari. Langkah Nafa yang sempat terhenti kini kembali melangkah. Menatap mata kuning dan hitam itu dengan kesal.

"Apa? Kau senang bukan membuatku kesal seperti ini?" tanyanya ketus meletakkan nampan di atas meja. Lalu ia berjongkok menjajarkan tubuhnya sama tinggi dengan Kunaca.

"Meong."

"Heh! Kau bersalah disini. Andai saja kau, bahkan semua kucing nggak ada di dunia ini, mungkin dia nggak bakal begini. Kau enak, yang menderita aku tahu!" celoteh Nafa seolah tahu apa yang dikatakan kucing hitam di depannya itu.

"Meong," kata kucing itu menjilat kaki kanan depannya. 

"Dasar kucing sialan," geram Nafa yang ingin mencabik-cabik kucing itu. Tapi, Kunaca sudah siap dengan cakar tajamnya. Membuat Nafa mendelik dan mundur duduk di kasurnya. "Dasar sombong. Mentang-mentang kau mendapatkan cintanya begitu? Ya maaf saja. Memangnya salah siapa aku tak mendapatkannya?"

"Kalian di cintai, tapi tidak mencintai. Sedangkan aku mencintai, tapi tidak di cintai. Kau pikir bagaimana tersiksanya aku, hmm? Setiap hari aku aku melihatnya tersenyum pada kalian, bukan padaku. Setiap hari kalian mendapatkan perhatiannya, sedangkan aku hanya dianggap angin lewat. Melihat keberuntunganmu itu saja memunculkan keinginanku untuk menjadi kucing," lirihnya menunduk. Ia menatap lantai itu dengan nanar.

Tap.

Suara langkah kecil yang mendekat pada ruangan bernuansa bunga nemophila yang berterbangan di setiap sisi tembok. Walaupun Nafa tak mendengarnya, telinga hitam itu bergerak dan mendekat tanpa suara. Hidung mungilnya mencium bau harum kesukaannya.

"Meong!"

Suara itu membuat Nafa mendongak, terkejut. Ia mendapati Candra yang menatapnya dengan ekspresi tak biasa. Candra berkedip lalu menggaruk tekuknya yang tak gatal. "Ah! Kau sudah menunggu lama? Maaf ya, Kunaca. Ini makan siangmu!" ujar Candra mengalihkan pandangannya lalu bersiap memberi Fandra makan.

Alis Nafa bertaut, ia yakin Candra mendengar celotehnya. "Ah, mungkin mulai besok aku akan menjauh darinya. Lagipula, siapa yang tidak jijik diikuti gadis bodoh yang mengungkapkan perasaannya kepada kucing?" batin Nafa dengan putus asa.

"Apa kau tahu?" tanya Candra memecah keheningan. "Aku menyukai kucing gara-gara kamu, lho."

"Hah? Aku saja membenci kucing," kata Nafa tak terima.

Tapi Candra justru tersenyum kecil. "Tidak, kau menyukai kucing. Lebih tepatnya, dirimu yang dulu. Apa kau ingat? Kucing putih yang kau selamatkan saat kita berumur 6 tahun?"

Nafa melihat ke atas sambil berpikir. "Kucing putih? Oh, maksudmu Kusam?"

"Benar. Kucing yang kau pikir hitam itu."

"Saat kutemukan dia menyedihkan sekali. Bau sampah, tatapannya tajam, gigi dan cakarnya juga tajam. Dia kucing terkusam yang pernah kutemui sampai sekarang," jelas Nafa memutar mata. Sedikit kesal kalau mengingat kucing pertamanya itu.

"Tapi, kau sangat menyanyanginya bukan? Tak peduli berapa luka yang kau dapatkan saat mencoba memandikan atau memberinya makan, kau tetap tersenyum riang saat membicarakannya. Bahkan saat kepergiannya, kau menangisi Kusam sampai tak mau masuk sekolah hingga seminggu," kata Candra sedikit terkekeh.

"Itu karena mataku membengkak besar tahu!" elak Nafa.

Tangan kanan Candra kini mengusap kepala Kunaca. Membuat Kunaca manja dengan ikut mengusap kepalanya dengan mata tertutup. "Saat itu aku iri. Kenapa bisa makhluk sekecil kucing bisa membuatmu seperti itu? Karena hal itu, aku mulai mencoba memeliharanya. Mencoba merasakan perasaanmu dulu."

Nafa sedikit tergagap ketika Candra melihatnya dengan tatapan hangat. Ia mengalihkan pandangannya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Setelah aku merawat mereka, aku jadi paham. Kucing itu binatang yang sensitif, manja, galak, bahkan jujur. Bila ia tak suka, ia akan menyakar. Bila ia suka, ia akan mengeong," ujar Candra menggendong Kunaca dan menyerahkannya pada Nafa.

"Meong." Kunaca pun nampak biasa saja saat ia berpindah ke pangkuan Nafa.

"Tapi kalau kucingnya itu kamu, aku tak tahu."

Mendengar hal itu, wajah Nafa berubah menjadi merah. Ia melotot dan memandang Candra yang masih tertawa. "Kau mendengar semuanya, ya?!"

Kedua tangan Nafa pun memukul lengan Candra. Ia sudah tak peduli lagi seperti apa wajahnya sekarang. "Aku juga terkejut tahu," cicit Candra yang membuat Nafa berhenti.

"Karena aku juga menyukaimu," tambahnya lagi dengan pipi yang merona. Tapi Candra menyembunyikan wajahnya dengan lengan yang dipukul oleh Nafa. Matanya pun tak berani menatap wajah Nafa yang entah berekspresi apa.

"Itu tidak membuatku berubah pikiran untuk menjadi kucing!" teriak Nafa tiba-tiba lalu menutup telinga dan matanya.

"Heh?" Candra terkejut dengan respon Nafa yang di luar dugaanya. Tanpa Nafa ketahui, wajahnya kini mengulum senyum manis. Senyuman yang biasa ia lontarkan pada kucing-kucingnya. Senyuman yang Nafa inginkan.

"Aku ingin menjadi kucing! Meong!" histeris Nafa mencoba menirukan suara kucing.

Tamat.


Tentang penulis

Namanya Nafa Shahamah I.N. Ia lahir dan bertempat tinggal sama, yakni di Sedayu, Jumantono, Karanganyar, Jawa Tengah. Tepatnya, pada tanggal 12 November 2003.  Ia bisa dihubungi lewat Whatsapp 082137237669 dan email nafaizzunaa12@gmail.com

CINTA TERAKHIRKU

Syabrinaaputri

        Rully sudah berada di depan  rumah teman Finda, mereka akan pergi jalan setelah lama tidak berjumpa. Rully membunyikan klackson mobilnya, Finda berlari dan pamit kepada Putri sahabatnya.

        “Sampai kapan kita kayak gini terus?” tanya Rully sambil melihat Finda.

        “Maksud kamu?”

        “Kita ini sudah sama-sama dewasa, apalagi aku. Dengan umur aku yang segini, aku nggak mau terus-terusan jalan sama kamu. Tapi, nggak pernah pamit dengan orangtua kamu.”

        “Kamu sabar ya, aku belum siap mengenalkan kamu sama orangtua aku.”

        “Aku udah nggak bisa sabar lagi. Sudah hampir Sembilan bulan aku menunggu, aku kasih kamu waktu sampai akhir bulan depan. Kalau tidak bisa juga, mungkin hubungan kita akan berakhir.”  

        Finda terdiam dan hanya menundukkan kepala. Rully melihat wajah Finda yang terlihat murung, ia merasa tidak enak hati dengan ucapannya tadi. Rully mencoba menghibur Finda saat sedang jalan, mereka pergi menonton film drama romantis.

        Saat adegan romantis didalam film, Rully melihat Finda mulai tersenyum. Ia merasa lega melihat kekasihnya tidak murung lagi. Perlahan Rully menggenggam tangan Finda, mereka saling menatap satu sama lain, lalu tersenyum. Finda menyandarkan kepalanya ke pundak Rully.

        Finda berbisik “Maafkan aku ya.”

        Rully tersenyum dan mengecup kening kekasihnya itu. Untuk pertama kalinya, tidak mudah bagi Finda berpacaran dengan seorang pria. Untuk memperkenalkan seorang laki-laki kepada orangtuanya tidak lah mudah, apalagi mengingat ayah Finda yang terlihat sangat pemarah. Ia hanya merasa takut jika hubungannya nanti tidak di restui oleh orangtuanya.

        ***

Umur bukan lah segalanya. Namun, menikah merupakan siap nya diri untuk menjalani segala hal berdua. Bagi Rully menikah cepat-cepat tidak lah penting. Tapi, ibunya selalu saja menyuruh dan menanyakan kapan dia akan menikah. Itu membuat pikiran Rully selalu terganggu. 

Karena selalu di tanyakan oleh ibunya, Rully menjadi kepikiran tentang menikah. Malam di basahi dengan hujan yang deras. Ia menelepon Finda, lalu menanyakan bagaimana tentang persiapan Finda. 

"Jadi, kapan kamu akan mengenalkan aku dengan orangtua kamu?"

"Aku belum tahu, kenapa kamu tiba-tiba bertanya lagi?"

Finda mendengar Rully mendesah, ia merasa bersalah kepada pacarnya itu. Ketakutan Finda mulai hadir. 

"Aku mau kita putus," ucap Rully 

"Kamu jangan bicara seperti itu."

"Aku ingin sendiri dulu, lebih baik kamu pikirkan dulu masalah ini dengan baik."

Rully langsung menutup telepon tanpa mendengar penjelasan dari Finda terlebih dahulu. Tiba-tiba malam itu air mata Finda jatuh tanpa ia minta, hujan pun turun begitu deras berfikir mungkin hujan tahu malam ini ia akan menangis. 

***

Sudah dua hari Rully tidak memberi kabar kepada Finda. Rasa khawatir, rindu, dan takut bercampur menjadi satu. Finda tidak bisa berbuat apapun, ia merasa sedih dan bingung. Finda menelepon Putri, sahabatnya yang sejak kecil selalu bersamanya. 

"Kau dimana?"

"Dirumah, kenapa?"

"Aku putus, aku datang kerumah ya."

"Iya, datanglah. Aku tunggu."

Finda siap-siap untuk pergi kerumah Putri, saat ia sampai dirumah sahabatnya itu. Putri mengajak Finda pergi jalan keluar, melihat wajah Finda yang saat baru tiba murung. Putri tahu bahwa sebenarnya Finda sangat sedih, ia hanya mencoba tersenyum dan tidak ingin terlalu menampakkan nya. 

Saat sedang makan Putri diam-diam melihat wajah Finda yang tidak selera untuk makan. Putri mengajak cerita tentang percintaan nya kepada Finda untuk mengalihkan suasan haru yang ada. Putri merasa sedih dan bingung, ingin dirinya menghibur. Namun, ia tidak bisa bagaimana cara mengekspresikan dirinya bahwa sebenarnya ia peduli.

Putri masih bercerita tentang kisah cintanya yang juga sedih, Finda memberi saran dan tersenyum. Walau sebenarnya Putri tahu bahwa senyum itu palsu, tapi Putri hanya pura-pura tidak tahu dengan keadaan Finda agar dirinya tidak merasa sangat sedih. 

Menikmati es krim yang ada di mall, Putri dan Finda tertawa. Merasakan es krim selalu bisa menjadi obat di kala hati merasa sedih dan membuat jiwa menjadi tenang. Setelah makan es krim, mereka pulang. Ketika Finda ingin pulang dari rumah Putri, Putri mencoba memberi saran. 

"Lakukanlah, jangan membuat dia menunggu terlalu lama. Kenalkan dia dengan ayahmu, jangan takut. Yakin dan pasrah saja, jika dia memang jodohmu pasti orangtua kau merestui. Tapi, jika tidak tuhan pasti memberikan seseorang yang jauh lebih baik darinya. Sekali lagi jangan takut, bertindak gila saja. Dan hubungi dia duluan. Persiapkan dirimu untuk melanjutkan atau melepaskan."

Finda tersenyum melihat Putri, ia selalu memikirkan apa yang telah Putri katakan sore tadi. Finda mencoba untuk bicara terlebih dahulu kepada kakaknya dan mendapat persetujuan. Lalu, perlahan saat keluarga sedang menonton di ruang tengah. Finda ingin bicara, namun mulutnya kaku. Ia merasa sangat gugup melihat wajah ayahnya. 

"Yah.. Ada yang ingin Finda katakan."

"Apa? "

"Finda mempunyai pacar dan dia ingin bertemu dengan ayah. Apakah boleh?"

"Iya, silahkan. Bawa dia besok datang kerumah, ayah ingin bertemu dengannya."

Finda merasa sangat kaget, ayahnya merespon dengan sangat baik. Apa yang ia pikirkan selama ini salah. Walah wajah ayah Finda terlihat tegang dan seperti marah. Tapi, ayah Finda tidak seburuk apa yang dia kira. Finda merasa sangat senang  tapi juga merasa sangat gugup. Finda langsung menelepon Rully untuk datang besok kerumahnya. Finda memberitahu semua apa yang ayahnya katakan. Rully merasa senang, akhirnya yang selama ini ia nantikan datang juga. 

***

Langit dan awan yang begitu indah di siang hari terlihat sangat cerah. Angin berembus menerbangkan daun-daun yang layu. Rully sangat deg-degan akan bertemu dengan ayah Finda. Sebelum masuk ke dalam rumah, Finda keluar melihat Rully. Ia memegang dada Rully yang berdetak sangat kencang, Finda tersenyum dan memberi semangat kepada Rully. 

"Tenang, tarik napas lalu hembuskan sebanyak tiga kali. Anggap saja kamu akan bertemu dengan teman kamu," ucap Finda sambil tersenyum tipis. 

"Bagaimana mungkin, itu bukan orang lain. Dia adalah ayah kamu."

Finda menarik pelan tangan Rully untuk masuk ke dalam rumah. "Tunggu, tunggu," ucap Rully sambil menghela napas. Finda tertawa dan memukul pelan pundak Rully. 

Ayah Finda sudah duduk di kursi tamu. Dengan suasana yang begitu dingin, ayah Finda memberi beberapa pertanyaan kepada Rully. Namun, Rully menjawab dengan santai dan tidak merasa deg degan lagi. Beberapa menit berlalu ayah Finda menyuruh Finda untuk keluar dari kamar karena ayahnya telah selesai bicara dengan Rully. 

Wajah ayah Finda terlihat cuek dan jutek. Finda takut bahwa ayahnya tidak menyukai Rully. Finda bertanya dengan suara pelan kepada Rully apa yang telah mereka bicarakan. Rully hanya menyuruh Finda tenang karena semua berjalan dengan baik. 

Rully pamit pulang. Finda melihat Rully dengan wajah cemas, setelah mobil Rully terlihat jauh. Finda masuk kedalam rumah dan ayahnya menyuruh Finda untuk duduk di kursi. 

"Ayah belum menyukai pacar kamu."

"Kenapa yah? "

"Tidak apa-apa, hanya saja belum tertarik dengan dirinya."

Finda menundukkan kepala, ia merasa sedih dengan apa yang telah ayahnya ucapkan. Finda masuk kedalam kamar dan menelepon Rully, mengatakan apa yang ayahnya ucapkan tadi kepadanya. Tidak mudah menyerah, Rully ingin datang lagi kerumah Finda besok untuk mendapatkan hati ayah Finda.

***

Rully dan Finda menyusun rencana. Rully datang kerumah tanpa memberitahu ayahnya terlebih dahulu. Ketika Rully datang, Finda tidak perlu keluar untuk membuka pintu. Mereka ingin ayah Finda yang membuka, 'kan pintu untuknya. 

Melihat Rully datang dengan tiba-tiba. Ayah Finda merasa kaget, ayahnya berfikir Rully ingin mengajak Finda jalan. Ternyata tidak, mereka bicara kembali. Rully menceritakan tentang kehidupan dan perjalanannya saat kerja selama ini. Saat mendengar adzan, Rully izin untuk sholat ke masjid sebentar. Ayah Finda mulai merasa terkesan melihat Rully. 

Sambil tersenyum ayah Finda menyuruh anak perempuannya itu untuk keluar. Finda dan Rully duduk berdua di hadapan ayahnya. 

"Ayah menyetujui kalian menikah. Rencanakan lah kapan kalian akan menikah dan apa saja yang kalian perlukan."

Apa yang ayah Finda ucapkan membuat mereka berdua kaget. Tidak di duga bahwa ayahnya memberi restu kepada mereka berdua. Finda memeluk ayahnya sambil mengatakan terima kasih banyak berulang kali. 

Rully mengajak Finda pergi jalan keluar menikmati cuaca yang sangat indah. Sambil berpegangan tangan mereka hanya tersenyum senang karena telah mendapat persetujuan.

Saat makan Rully menanyakan tentang pernikahan mereka. Rully merasa tidak sabar dengan hari bahagia itu. Mereka membicarakan apa saja yang akan mereka siapkan untuk menikah. 

Tidak perlu waktu lama, setelah mendapatkan restu dari ayahnya. Tiga bulan setelah itu Finda dan Rully tunangan. Empat bulan setelah itu mereka menikah, Rully memeluk erat tubuh Finda lalu mengecup keningnya. 

"setelah melewati hari yang panjang, akhirnya di akhir cerita mempunyai kebahagiaan. Lakukan apa yang harus kamu lakukan, tidak perlu menunda, tidak perlu menunggu waktu yang tepat. Bagaimana jika hari itu adalah hari yang tepat? Jangan buat dirimu menyesal  atas penundaan waktu yang telah kamu buat."

KILAU PERMATA BANGSA

Raydinda Laili Shofa


    Pagi cerah berpayungkan awan biru diiringi hembusan alun sang bayu. Alunan musik gamelan menghiasi sebuah padepokan sederhana di sudut desa yang asri. Suasana kebudayaan telah tercium nun jauh sebelum menemukan tempat itu. Pemiliknya tak lain adalah seorang lelaki tua yang berdedikasi tinggi, Ki Sukma. Suara seorang sinden yang tak lain adalah putri bungsu Ki Sukma sendiri turut memeriahkan persiapan pementasan wayang yang akan digelar malam itu.

    “Sinta, bapak kepengen kamu yang nantinya meneruskan padepokan ini,” ujar Ki Sukma mengawali pembicaraan.

    “Pak, kita sudah sering membicarakan ini. Sinta sudah jawab kalau Sinta ndak mau. Kenapa Bapak selalu memaksa Sinta sih, Pak?” Sinta bertanya dengan nada marah.

    “Karena hanya kamu yang masih bisa bapak andalkan, Sinta. Kakak-kakakmu itu sudah ndak mau lagi meneruskan padepokan ini. Lagipula, kamu sudah kuliah, jurusan seni juga, sudah selayaknya kamu bekerja, juga menikah dengan Rama. Bapak dan bapaknya Rama itu berteman baik, saat kalian lahir, kami sepakat untuk menjodohkan kalian. Makanya, kami memberi nama Sinta dan Rama. Agar nantinya kalian bisa menjadi pasangan yang serasi, seperti tokoh wayang Dewi Sinta dan Rama,” ujar Ki Sukma panjang lebar.

    “Tapi, Pak, Sinta juga punya mimpi. Sinta juga pengen seperti Mas Pandu, Mas Arjuna, Mas Sadewa, yang bisa menggapai apa yang mereka cita-citakan, Pak. Impian Sinta itu jadi penyanyi pop terkenal, bukan sinden, Sinta juga belum pengen menikah, Pak. Bapak juga ndak berhak menentukan pendampingku. Aku harap bapak bisa mengerti itu,” jawab Sinta sembari meninggalkan bapaknya.

    Ki Sukma terbatuk lagi. Semakin hari semakin parah. Beliau melihat tangannya, tampak bercak darah yang sudah biasa dilihatnya. Ia menatap para remaja yang tengah berlatih memainkan gamelan untuk pementasan nanti malam. Beliau sungguh ingin padepokan ini terus berjaya sampai ke tangan anak cucunya kelak. Tapi sepertinya itu tak mungkin terjadi jika melihat perilaku anak bungsunya, anak satu-satunya yang bisa ia harapkan, karena hanya Sinta yang menuruni bakatnya.

    “Sinta, kamu harus bersiap untuk nanti malam,” ujar Ki Sukma pelan.

    “Pak, Sinta kan udah bilang, nanti malam Sinta ada panggilan konser, bayarannya juga lebih besar daripada nyinden. Aku cuma pengen kehidupan kita meningkat, Pak. Sinta juga pengen membuat bapak bahagia dengan kehidupan kita yang lebih baik. Kakak-kakak Sinta sudah berhasil. Sinta juga ingin dibanggakan seperti mereka, Pak,” jawab Sinta sembari mempersiapkan alat make up-nya.

    Mereka terdiam sejenak hingga akhirnya, Sinta angkat bicara.

    “Oke, Sinta mau ke pementasan bapak. Tapi setelah konser Sinta selesai,” ujar Sinta kemudian dengan nada agak terpaksa..

    “Apa hanya karena bayaran kamu sudah ndak mau nyinden lagi, Sin? Lagu-lagu barat itu sudah membuat kamu ndak cinta lagi sama budaya negeri ini. Bapak bahagia kalau kamu mau meneruskan padepokan ini. Bukan uang yang bapak inginkan, tapi budaya negeri yang terus berjaya-lah yang bapak harapkan, dan bapak ingin itu berada di tangan kamu, Nak,” ucap Ki Sukma yang disambut suara Sinta menutup tasnya.

    “Sudahlah, Pak. Sinta capek membahas ini. Sinta mau latihan dulu, itu teman band Sinta sudah datang. Permisi, Assalamu’alaikum,” ujar Sinta meminta izin.

    “Wa’alaikumsalam,” jawab Ki Sukma mendesah.

    Sungguh, Ki Sukma benar-benar ingin Sinta meneruskan padepokan ini, membawa budaya ini sampai dikenal oleh lebih banyak orang. Ia ingin putri bungsunya itu mengerti bahwa kebahagiaan bagi bapaknya adalah melihat Sinta nyinden di pementasan, bersedia meneruskan padepokannya, serta mau menikah dengan Rama.

***

    Lagu California King Bed telah selesai dinyanyikan oleh Sinta, tentunya dengan iringan alat musik modern dari teman-teman band-nya. Tapi, tampaknya teman-temannya agak kecewa dengan penampilan mereka kali ini, mereka merasa tone Sinta banyak yang tidak terkontrol. Entah mengapa Sinta selalu kepikiran dengan pementasan bapaknya. Ia segera pamit dengan teman-temannya dan pulang untuk nyinden di pementasan bapaknya.

    “Teman-teman, aku pulang dulu, ya. Kalian sudah pasti tahu aku mau ke mana, kan?” ujar Sinta pamit pada teman-teman band-nya.

    “Iya, Sin. Pulanglah, kalau suatu saat kamu mau keluar dari band kita demi bapakmu kami juga nggak akan nahan kamu, kok!” kata Allycia, gitaris band Sinta.

    Sinta hanya tersenyum dan segera mengemasi barangnya, kemudian pergi.

***

    “Sinta nggak telat kan, Pak?” tanya Sinta tersenyum.

    Ki Sukma menggeleng sambil tersenyum melihat putri bungsunya memakai konde dan lipstik merah dengan kebaya yang membuatnya sangat anggun. Cantik? Sudah pasti. Ki Sukma menikmati suara Sinta. Tapi batuk kembali mengganggunya. Ki Sukma semakin takut jika Sinta tidak mau meneruskan padepokan ini, sementara umurnya sudah tidak panjang lagi.

    Ki Sukma segera memasukkan tangannya yang penuh bercak darah ke dalam saku saat Sinta menghampirinya dengan senyum, entah tulus atau tidak Malam itu adalah malam yang indah bagi Ki Sukma. Ia seperti punya harapan baru bahwa bisa jadi putrinya ini berubah pikiran. Ia mulai merasa lega.

***

    Apa yang diduga Ki Sukma semalam ternyata salah. Hari ini, Sinta akan pergi ke Jakarta untuk mengejar impiannya selama ini, penyanyi. Sinta berencana tinggal di rumah bibinya. Kakak-kakaknya sudah membujuk Sinta agar ia tidak pergi, tapi Sinta keras kepala. Sinta tetap pergi, meskipun tanpa restu bapaknya.

    “Sinta, apa kamu tidak lihat, remaja-remaja bule itu belajar gamelan, belajar nyinden, kenapa kamu yang orang asli sini ndak mau meneruskannya, Nak? Padahal kamu punya bakat,” ucap Ki Sukma yang tak dibalas apapun oleh Sinta.

    “Zaman ini memang zaman edan. Semuanya terbalik. Orang luar negeri belajar gamelan, orang yang punya budaya ini malah belajar lagu-lagu barat, yang sama sekali ndak punya nilai seni yang unik,” lanjut Ki Sukma yang disambut dengan jawaban keras dari Sinta.

    “Terserah apa kata bapak, yang penting Sinta mau pergi. Kalau bapak ingin aku seperti orang bule itu, suruh saja mereka yang meneruskan padepokan ini!” seru Sinta sembari menenteng tas besar miliknya.

    Ki Sukma hanya bisa terdiam. Ia memberikan foto Rama, yang sama sekali tak dilihat oleh Sinta. Ki Sukma hanya ingin suatu saat Sinta bisa sadar, bahwa budaya ini sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan.

***

    Di Jakarta, nasib tak berpihak pada Sinta. Semuanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu sulit mencari uang di sana. Hampir satu bulan ia kerja serabutan. Akhirnya ia mendapat pekerjaan menjadi seorang penyanyi di sebuah kafe berkelas di Jakarta. Tapi akhirnya ia keluar juga dari sana, hanya karena seorang laki-laki hidung belang nan menyebalkan yang telah menggoda dan memfitnahnya.

    “Aku mau pulang hari ini, Bi. Aku kepikiran sama bapak,” ucap Sinta sedih.

    “Dengan pakaian seperti ini kamu mau pulang? Ini sudah malam. Kamu bisa sakit, Sinta. Lagipula, apa kata bapakmu nanti jika melihat kamu berpakaian seperti ini? Apalagi rambutmu yang sekarang sudah pendek. Pulanglah besok pagi,” jawab bibinya menasihati.

    Setelah berganti pakaian, Sinta mengambil gunting dan merusak baju seragamnya saat menjadi penyanyi di kafe itu. Merobeknya hingga tak berbentuk lagi. Sinta memandangi dirinya di depan kaca. Rambutnya yang dulu dengan susah payah ia panjangkan, kini telah tiada. Ia memotongnya tanpa ragu. Di tengah lamunannya, Sinta tertidur pulas tanpa ia sadari.

***

    “Sudah saya katakan, saya tidak akan menjual padepokan ini. Apa kalian tidak mengerti juga? Berapa pun kalian mau membayarnya, saya tidak akan memberikannya pada kalian. Apalagi kalian hanya ingin menjadikannya sebagai tempat karaoke. Saya tidak sudi!” Ki Sukma berteriak.

    “Sudahlah, Pak. Terima saja tawaran kami. Berapa pun bapak minta, akan kami berikan. Tenang saja, Pak. Bapak akan menerima harta yang jauh lebih berharga dari tempat ini beserta tanahnya,” ujar orang-orang itu dengan sombong.

    Orang-orang itu adalah suruhan seorang bos karaoke yang sejak dua bulan lalu memaksa Ki Sukma untuk menjual padepokan dan tanahnya. Meski Ki Sukma sudah mengatakan bahwa ia tak ingin menjualnya, tapi sepertinya orang-orang itu akan melakukan apapun, termasuk dengan cara kasar.

    “Ki, kami tidak mau bertindak kasar, tapi kalau Ki Sukma memaksa, kami tak akan segan melakukannya,” tantang salah satu dari mereka sembari meninggalkan Ki Sukma.

    “Jika saya masih bisa hidup seribu tahun lagi, selama itu pula saya tidak akan memberikan tanah ini pada kalian, orang-orang yang tak bertanggung jawab. Tempat ini penuh dengan budaya negeri yang tak bisa dibeli. Semua yang kalian lakukan tak akan merubah keputusan saya. Di padepokan dan tanah ini saya hidup, maka di sini juga saya akan mati!” tegas Ki Sukma pada orang-orang itu dengan nada marah.

    Orang-orang itu pergi dengan perasaan kesal. Tapi, mereka tak akan tinggal diam. Ki Sukma pun tahu dan merasakan hal itu. Ia mengeluarkan lipatan kertas serta foto Sinta. Ia menulis surat untuk Sinta. Tapi lagi-lagi bercak darah menodai kertas putih itu, juga foto Sinta. Bersamaan dengan itu, tercium bau asap yang membuat Ki Sukma terbatuk keras. Ia tak ingin meninggalkan tempat ia berdiri. Ia sudah mengatakan ia hidup di sini, maka di sini juga ia mati, dan itu benar-benar ia pegang teguh. Saat Pandu datang untuk menyelamatkannya, Ki Sukma telah tiada. Sebelumnya, ia menitipkan surat yang ia buat untuk Sinta. Pandu segera membawa jasad Ki Sukma keluar.

    Padepokan itu kini telah hangus terbakar, tak ada yang tersisa. Namun bau harum budaya negeri yang luhur masih bisa tercium dari aroma abunya.

***

    “Bapak!!” Sinta berteriak dengan dahi yang basah oleh keringat.

    “Kamu kenapa, Sin? Kamu mimpi buruk?” tanya bibinya setengah panik.

    “Aku mimpi bapak, Bi. Aku mau pulang sekarang,” ujar Sinta sembari mengambil tas dan memasukkan pakaiannya.

    Sinta diantar bibinya sampai di stasiun, kemudian naik kereta menuju rumah dengan perasaan tidak enak. Di perjalanan, ia hanya bisa berdoa semoga bapaknya baik-baik saja.

    Sinta terkejut saat melihat tumpukan abu di atas tanah milik bapaknya. Tasnya terjatuh. Arjuna yang melihat kedatangan Sinta langsung menjelaskan semuanya. Ia juga memberikan surat yang dititipkan Ki Sukma pada Pandu.

    “Bapak titip ini buat kamu, Sin.” Arjuna menyodorkan lipatan kertas pada Sinta.

    “Makasih, Mas.” Sinta menerima surat itu.

    “Sebenarnya Bapak sudah sakit kanker paru-paru stadium akhir, tapi Bapak ndak pengen kamu tahu tentang itu, Sinta. Makanya ia selalu membujuk kamu agar kamu mau meneruskan padepokan ini, karena Bapak tahu umurnya ndak panjang lagi. Bapak cuma pengen kamu bahagia, Sin.” Sadewa menjelaskan dengan muka tertunduk.

    “Ya sudah. Mas tinggal dulu.” Arjuna dan Sadewa meninggalkan Sinta.


Untuk putri bapak yang sangat bapak sayangi,

    Bapak rindu kamu, Sin. Bapak minta maaf jika kamu ndak suka cara bapak membujuk kamu. Bapak hanya takut kalau budaya ini jatuh ke tangan yang salah. Jika bapak bisa hidup seribu tahun lagi, bapak akan selalu mempertahankan tanah dan budaya negeri ini, apapun yang terjadi. Namun raga ini


    Surat itu terhenti. Tampak bercak darah yang telah mengering di kertas itu. Sinta menitikkan air mata. Ia merasa tidak bisa jadi anak yang baik. Andai saja ia menuruti apa kata bapaknya, mungkin semua ini tak akan terjadi. Tiba-tiba Sinta teringat sesuatu. Foto Rama yang sudah diberikan bapak sejak tiga bulan lalu, yang tak pernah dia lihat sedikit pun, kini ia keluarkan dari dalam dompetnya. Saat ia memperhatikan foto itu...

    “Ngganteng ya? Ternyata kamu tetap cantik, walaupun berambut pendek.” Seorang laki-laki tiba-tiba saja berdiri di belakang Sinta.

    “Aku Rama. Bapakmu punya harapan penuh pada kamu, Sin. Kamu mengerti kan sekarang?” ujarnya lagi.

    “Aku mengerti. Kamu mau kan, bantu aku mewujudkan cita-cita bapak? Membangun dinding angannya yang hampir runtuh?” Sinta bertanya masih dengan tatapannya pada abu padepokan Ki Sukma.

    “Pasti. Aku akan melakukan apapun untukmu. Bapakmu sudah percaya padaku untuk menjagamu. Aku ndak akan pernah mengecewakanmu.” Rama meyakinkan Sinta.

    Sinta mengangguk. Kini, ia tahu mengapa bapak melakukan semua ini. Bapak hanya ingin ia bahagia dan bapak tahu bagaimana ia akan bahagia.

***

    Banyak tawaran konser yang ditolak Sinta. Teman-teman band-nya pun sudah mencari vokalis baru. Ia fokus untuk membangun kembali dinding angan bapaknya yang sudah hampir ia hancurkan. Tentunya dengan bantuan Rama.

    “Mas, gimana kabar orang-orang itu?” tanya Sinta pada Sadewa.

    “Tidak usah dipikirkan, mereka ternyata sindikat pencuri tanah yang sudah menjadi buronan polisi. Mereka sudah banyak menipu orang dengan uang yang mereka janjikan. Beruntung bapak tidak tergiur,” jawab Sadewa tersenyum.

    “Ndak mungkin bapak tergiur, Mas. Aku tahu bapak ndak pengen uang, bapak sangat cinta sama budaya, bapak bahagia kalau kita sukses memperkenalkan budaya ini ke mata dunia, bapak bahagia kalau anak-anaknya mau meneruskan cita-citanya, dan aku akan melakukannya demi bapak, Mas. Aku janji.” Sinta berkata dengan matanya yang menerawang jauh, sangat jauh.

    Padepokan selesai dibangun. Di tanah yang sama. Bentuk bangunan yang sama. Sinta tidak ingin padepokan itu dirubah bentuknya, karena bapak juga yang membuat denahnya. Malam nanti akan diadakan syukuran, sekaligus pementasan pertama bagi Sinta setelah lebih dari tiga bulan ia tidak nyinden.

    Acara malam itu berjalan lancar. Sedikit demi sedikit, dinding angan itu telah terbangun kembali. Dua hari lagi, akan ada seminar kebudayaan nasional yang mengundang Sinta sebagai pembicara, sekaligus memperkenalkan budaya yang ada di padepokan yang sekarang ini sudah menjadi miliknya. Sinta yakin, kini bapaknya sudah tenang karena ia sudah bisa memperkenalkan budaya negeri yang selama ini bapak banggakan.

    “Bapakmu pasti bangga kamu bisa melakukan lebih dari apa yang beliau inginkan, Sin. Aku yakin itu,” ujar Rama tersenyum tipis.

    “Semoga. Aku ndak akan bisa melakukan semua ini tanpa bantuanmu. Makasih untuk semuanya, ya.” Sinta tersenyum tipis ke arah Rama, namun ketulusannya sangat jelas terlihat.

    “Ngomong-ngomong, rambutmu cepat juga ya panjangnya.” Rama mengalihkan pembicaraan.

    Sinta hanya tersenyum. Ia masih memandang jauh. Jauh sekali. Andai bapaknya bisa melihat keberhasilannya saat ini, mungkin semuanya akan lebih sempurna. Sangat sempurna.

***

    “Budaya itu layaknya perhiasan bagi sebuah bangsa. Bagaikan emas dan permata yang selalu berkilau. Ia mempunyai sinar seindah mentari pagi. Tapi tak jarang kita tak menyadarinya. Kita hanya bisa marah saat melihat budaya kita direbut bangsa lain. Padahal, kita tidak pernah mau berusaha untuk menjaganya. Jika begitu, siapa yang akan bertindak? Apakah harus bangsa lain yang menjaganya? Itu tidak mungkin dan tidak pantas. Hanya kita, sang pemilik budaya itulah yang berhak memiliki, menjaga, mempertahankan, serta melestarikannya. Budaya ini milik kita. Laksana rumah, jika ada yang bertamu, layanilah. Tapi jangan sampai mereka menguasai apa yang kita miliki. Artinya, saat ada wisatawan asing yang ingin mempelajari budaya kita, ajarilah! Tapi jangan sampai mereka mengambil apa yang kita miliki. Ayo lestarikan budaya dan jagalah kilaunya!” Sinta menutup pidatonya.

    Sinta tersenyum manis ke arah Rama berdiri. Rama tersipu, merasa Sinta tak salah memilihnya.


Raydinda Laili Shofa, remaja yang meminang halu sebagai hobinya. Dara yang akrab disangka lelaki karena menggunakan nama “Ray” sebagai username-nya. Selalu membanggakan hari kelahirannya yang bertepatan dengan Hari Wanita Internasional. Terbiasa disakiti pengalaman, tapi tak pernah kehabisan stok “bodo amat” dalam etalase penawar gundahnya. Bisa ditemui secara pribadi di instagram @ralisha_rayfa. Bila berminat menikmati ke-gaje-an Ray dalam tulisan, silakan berkunjung ke @catatan_blueray. Salam Blue-Apocope untuk semua Dearest Blue!