SEGUMPAL HADIAH UNTUK BUNDA
OLEH : VIA INDRIANSI
Langit senja mulai berubah warna, petala jingga kian membenam bersama matahari yang tergantikan oleh bulan. Hal ini pertanda selamat tinggal siang, selamat datang malam yang pekat hitam. Hanya ada sepercik cahaya bintang di sudut kanan langit, kecil, tak terlalu terang, tapi ia punya keindahan yang membuat orang terkagum bahagia.
Syahra Melia, gadis malang itu menatap sendu pada wajah langit malam yang akan segera datang, aku bisa membaca raut mukanya yang kini memohon kepada Tuhan untuk mengabulkan keinginan hati yang selama ini ia panjatkan. Sendu, sangat sendu. Sedih, tak bisa kugambarkan. Wajah yang penuh pengharapan pada Tuhan untuk ia bisa segera menajwab penantiannya selama ini, bukan penantian pada lawan jenis, bukan pula pada cinta. tapi sosok bunda, wanita yang ia bersenyemayam dalam rahimnya selama sembilan bulan, wanita yang melahirkannya hingga menampakkan wajah pada dunia, wanita yang tentu dia rindukan. Wanita yang setiap saat dia nantikan kedatangannya, dengan wajah ceria, membawa sebuah boneka panda berwarna merah muda, merentangkan tangannya seraya berlari dan memeluk tubuhnya dengan rasa rindu yang tiada kata.
Perlahan wajah itu kian sendu, hingga air mata yang lama dia tahan kini sudah tumpah dan merayap pada pipi indahnya, meluncur di sela bulu halus pipinya hingga berlabuh pada dagu mungilnya dan kini, air mata itu telah jatuh disambut lantai tempat ia berdiri memohonkan pengharapannya.
Aku berjalan, mendekat dan kupegang pundaknya dengan wajah simpati. Dia, malaikat kecil yang paling kusayangi, kumanjakan, kucurahkan segenap kasih sayang agar ia tak pernah kesepian. Dia, malaikat kecil yang selalu kurindukan saat aku harus pergi keluar kota untuk bekerja. Dia, malaikat kecil, dua belas tahun yang kutemukan di halaman rumah saat ia masih balita, yang kurawat dengan penuh harapan, yang kubesarkan sebagai jawaban Tuhan atas rinduku pada sosok anak yang tak pernah bisa kulahirkan dari rahimku sendiri. Kini, malaikat kecil itu telah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik, baik, sopan, santu, hingga aku tak pernah bisa memarahinya, karena kesempurnaan yang ia lakukan disetiap kegiatan atau tingkah lakunya yang tak pernah diluar batas yang memancing amarahku mencuap.
Meski ia tak pernah kekurangan kasih sayang, tapi sosok yang membawanya ke dunia ini tak pernah bisa ia lupakan, sangat ia rindukan kedatangannya menjemputnya pulang, meski ia memiliki aku sebagai mamanya dalam kartu keluarga dan akta kelahirannya. Aku tak pernah marah ia merindukan bundanya, hanya saja melihatnya terluka dengan tekanan bathin merindu membuatku lebih sakit. Bahkan aku yang memberinya kebahagiaan tiada tara tak pernah membuatnya menangis, lalu kenapa bundanya membuat putri kecilku selalu merasakan desakan kepedihan menahan rindu yang menyesakkan dada?
“Mama” ucapnya menyadari ada sosok aku yang kini menopang bahunya.
“Iya sayang, ini Mama,” balasku dengan raut simpati.
Ia berbalik badan menghadapku.
“Syahra rindu Bunda,” ucapnya pilu, dan air mata itu tumpah lebih deras lagi.
Kupeluk tubuhnya yang kini bahkan hampir sama tingginya denganku, padahal dua belas tahun yang lalu aku harus duduk setengah berdiri dulu baru bisa memeluknya. Kubelai pelan kepalanya yang ditutupi kerudung biru muda itu.
“Ternyata malaikat kecilku memang sudah besar,”bathinku.
“Kenapa Bunda tidak pernah datang, bahkan untuk sekali saja, Mama?” tanyanya di sela segukan air mata.
“Syahra percaya, sabar akan berbuah keindahan? Kerinduan akan bersambut pertemuan? Dan pertanyaan akan memiliki jawaban?” tanyaku kembali padanya.
Syahra menjawab dengan anggukan.
“Lalu untuk apa Syahra bersedih? Allah punya cara yang lebih indah untuk mempertemukan Syahra dengan Bunda, bersabarlah sebentar lagi sayang, Allah akan mengabulkan,” lanjutku membuatnya lebih tenang.
Ia mengangguk dengan sedikit senyum kecil di sudut bibir mungilnya.
Aku berdiri, ku tuntun ia untuk memakan makanan yang tadi kuletakkan di atas meja biru di samping ranjang putihnya. Kusuapi lagi malaikat kecil ku seperti saat pertama kali aku menyapinya saat masih balita. Meski masih dengan perasaan sendu, ia melahap semua makanan yang kusuguhkan. Begitulah caranya menghargaiku, dan membuatku merasa seperti ibu kandungnya.
Setelah Syahra tenang, aku pun berlalu keluar kamarnya untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Aku kembali mendapati kursi dan meja kerjaku, dokumen yang menumpuk itu membuatku semakin letih. Namun, bagaimanapun juga harus kukerjakan karena sudah menjadi tanggung jawab dan semua demi masa depan putriku.
Sudah sekitar tiga puluh menit aku berkecimpung dengan kertas dokumen yang memusingkan itu, ku letakakan pena hitam yang tadi kupegang kembali di atas meja, ku dongakkan kepalaku dan membiarkan sandaran kursi membuat punggungku lebih nyaman. Tiba-tiba ponsel ku berdering, kubiarkan sedikit lebih lama, karena sandaran kursi nyaman ini membuatku malas untuk merubah posisi. Seperti biasa, paling yang menelpon suamiku, untuk menanyakan keadaanku dan putri kami Syahra, karena urusan perkerjaan kerap kali memisahkan kami untuk sementara waktu. Sekali deringan aku biarkan, dua kali masih kubiarkan, tiga kali tak kuhiraukan, dan deringan ke empat langsung kuangkat tanpa melihat layarnya, karena ini pasti sesuai dugaanku, pikirku.
“Assalamu’alaikum Pa, Mama lagi istirahat dan Syahra sudah tidur,” ucapku sedikit kesal karena suamiku kerap kali mengganggu di saat-saat nyaman seperti ini.
“Wa’alaikumsalam, tidak bisakah aku menemui Syahra?” tanyanya dari balik sana.
Aku kaget, segera kulepaskan ponsel itu dari telinga dan kulihat siapa sebenarnya yang menelpon. Benar, ini bukan suamiku. Nomor ini belum tersimpan di kontak ponselku. Lalu dengan perasaan waspada kudekapkan kembali ponsel itu ke telingaku.
“Siapa ini? untuk apa kamu bertemu putriku malam-malam begini?” tanyaku dengan perasaan was-was tapi tetap tenang.
“Kamu mungkin tidak percaya, bisakah kamu keluar sebentar dan menemui saya? akan saya jelaskan semuanya” tuturnya.
“Keluar kemana? Ini sudah malam?” balasku semakin bingung.
“Saya sedang di depan rumahmu, tidak bisakah kamu menemui saya sebentar? saya suami Bundanya Syahra,” balasnya membuat pengakuan.
Aku menghela napas panjang. Dengan perasaan bertanya-tanya kukumpulkan energi yang tersisa berjalan keluar, menemui orang yang katanya suami dari bundanya Syahra alias ayah tiri putriku.
Setelah berkenalan, kupersilahkan laki-laki yang seusia suamiku masuk. agar kami bisa berbicara lebih nyaman, ditemani asisten rumah tanggaku agar tidak menimbulka fitnah tetangga nantinya. Kudengarkan semua penjelasannya tentang masa kecil putriku, keadaan yang memaksa bundanya meninggalkan Syahra di halaman rumahku, dan tentang kaadaan yang kini menimpa ibu kandung putriku. Aku percaya! karena dia juga menunjukkan buktinya dan tak ada hal yang meragukan dari penjelasannya.
Kembali aku menghela napas panjang. Apa artinya aku akan terlupakan? apa ini artinya Syahra akan meninggalkanku dan kembali ke Bundanya? apa aku akan kembali kesepian lagi? meskipun begitu aku tidak bisa menghalangi putriku untuk menemui bundanya, sosok yang lama dirindukanya. Sekalipun ini membuatku takut kehilanganya.
aku berjalan ke kamar Syahra lalu membangunkannya, untuk segera pergi menemui bundanya ke rumah sakit, karena keadaan bundanya yang kini sangat parah. Aku tak ingin menyesal suatu saat nanti karena selalu melihat putriku bersedih yang tidak pernah bisa melihat bundanya. mendengar penjelasanku Syahra sangat bahagia, ia sungguh semangat meski tahu bundanya sedang dalam keadaan terparahnya. Mungkin menurutnya hanya dengan melihat saja sudah membuatnya lebih bahagia.
Sampai di rumah sakit, Syahra langsung berlari memeluk bundanya yang tergeletak lemas di ranjang pasien, karena ginjalnya yang harus segera ditransplantasi, tapi sayang ia belum juga bisa mendapatkan pendonornya, hingga akhirnya kalimat yang membuatku kaku keluar dari bibir putriku.
“Mama, Syahra mau mendonorkan satu ginjal Syahra untuk Bunda.”
Kali ini aku menentang, dengan susah payah kubesarkan dia tanpa cacat, dan tidak mungkin bisa kubiarkan dia hidup dengan anggota tubuh tak lengkap, apalagi hanya dengan satu ginjal saja. Namun, seberapa kerasnya aku menentang, putriku tetap dengan kemantapannya, dan akupun jua hanya bisa mengiklaskan.
“Hanya segumpal hadiah ini yang bisa Syahra berikan untuk membalas jasa Bunda,” tambahnya tersenyum ikhlas yang membuatku hanya bisa menghela napas pasrah.