(Masih) Enggan Beranjak
Isna Hidayati Fauziah
Hujan sepanjang pagi hingga siang tadi masih menyisakan basah di sepanjang jalan yang kulalui. Semburat cahaya matahari malu-malu mengintip dari balik barisan mendung yang berak-arak. Aku melemparkan pandangan ke arah jalanan yang semakin riuh sambil terus mencoba berkonsentrasi duduk di belakang kemudi. Tidak sampai lima menit lagi, aku akan sampai pada tujuan perjalnan sore ini. Sebuah kompleks pemakaman keluarga yang terletak di sebuah desa di wilayah selatan Yogyakarta. Tepat ketika langit mulai berubah jingga mobil kurapatkan di sisi jalan, mencari tempat untuk parkir. Kuambil sebuket bunga yang tergeletak di jok samping kemudi. Kulangkahkan kaki memasuki komplek pemakaman yang berpagarkan tanaman. Suasananya begitu sepi. Pak Darko, penjaga makam pun juga tak terlihat batang hidungnya.
Begitu langkahku terhenti di sebuah makam yang terletak tepat di tengah-tengah kompleks pemakaman, sesal itu kembali menyeruak dalam hati. Aku duduk bersimpuh di samping pusara yang sudah lebih dari sepuluh kali kukunjungi dalam setahun terakhir ini. Air mata kubiarkan tumpah membasahi pusara. Ruang ingatan pun tak bisa kukendali untuk titak memutar ulang kejadian yang membuatku menjadi pengunjung setia makam ini.
“Bu, Zidan mau minta tolong,” tutur Zidan begitu ia kupersilakan duduk di depanku.
“Minta tolong apa, Dan?” aku menanggapi tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari administrasi guru yang sedang kukerjakan.
“Tapi, Ibu jangan bilang siapa-siapa, ya. Ini jadi rahasia di antara kita berdua saja.”
Kulepas kacamata yang bertengger di atas hidung. Kupandangi murid yang duduk di depanku. Murid yang selalu menjadi kebanggaan sekolah karena segudang prestasinya. Wajahnya begitu murung. Ada gurat-gurat kekhawatiran yang terlukis jelas di sana. Sama sekali tak menunjukkan bahwa ia adalah murid teladan dan langganan juara.
“Ada apa, Zidan?”
“Bu … Ibu kan wali kelasku. Nanti kalau Mama telepon bertanya perihal nilai ujian matematika, jangan bilang kalau aku tidak mendapatkan nilai yang sempurna, ya?”
“Memangnya kenapa, Dan?”
Memang nilai ujian Zidan kali ini tak sempurna seperti biasa, akan tetapi masih tetap tertinggi di antara teman-temannya. Pun selisih dari nilai sempurna kurang dari satu poin.
“Pokoknya jangan bilang ya, Bu. Zidan minta tolong!”
Kali ini kutatap lekat matanya, berharap menemukan suatu alasan akan permintaan Zidan yang terasa janggal ini. Namun, secepat kilat Zidan menundukkan kepala. Aku sempat menangkap ada sesuatu yang ingin terjatuh dari matanya, namun ia tahan sebisa mungkin.
“Ibu bisa menolong Zidan, kan?” tanyanya lagi masih dengan menundukkan kepala.
Demi tidak ingin melihat Zidan menangis, kuiyakan permintaan Zidan.
“Janji, Bu?” layaknya seorang anak kecil, Zidan mengacungkan jari kelingkingnya.
“Iya, Ibu janji.” Jari kelingku bertaut dengan jari kelingking mungil milik Zidan.
“Terima kasih, Bu.”
Sendu di matanya kini agak memudar. Setelah berpamitan, Zidan bergegeas meninggalkan ruang kerjaku. Akupun kembali sibuk berkutat dengan administrasi guru yang harus dikumpulkan hari ini.
“Drtt … drtt … drrrt …”
Ponselku bergetar, terlihat di layar Mama Zidan memanggil.
“Halo. Walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku bergitu ponsel menempel di telinga kanan.
“Maaf mengganggu. Saya mau menanyakan perihal nilai ujian matematika Zidan, Bu.”
“Tenang saja, Bu. Zidan mendapatkan nilai bagus seperti biasanya. Tapi ….”
Aku menepuk jidat, hampir saja melupakan janji kepada Zidan untuk tidak memberitahu nilai yang sebenarnya kepada mamanya.
“Tapi apa, Bu?” tanya Mama Zidan penasaran.
“Oh, tidak kok, Bu.”
“Nilai Zidan sempurna seperti biasa kan, Bu?” tanya Mama Zidan sekali lagi, terdengar kekhawatiran dari nada suaranya.
Sejenak hening yang mengisi sambungan telepon.
“Bu?”
“Emmh … kali ini nilai Zidan memang tidak sempurna, Bu. Tapi masih tertinggi di antara teman-teman yang lain.”
“Oh, gitu. Baiklah, Bu. Terima kasih.”
Telepon ditutup oleh mama Zidan. Meski ada perasaan bersalah, akan tetapi sedikitpun aku tidak berprasangka apa-apa kepada Zidan.
“Bukankah sekali waktu wajar jikalau Zidan tidak mendapatkan nilai sempurna?” batinku lantas kembali melanjutkan mengerjakan kewajiban yang sempat tertunda.
***
Dua hari setelah itu, aku baru menyadari Zidan tidak masuk sekolah. Aku mulai khawatir, jangan-jangan ia dimarahi mamanya karena nilai ujian matematika itu. Setelah klarifikasi, aku sedikit lega, ternyata Zidan tidak masuk sekolah karena sedang sakit.
Keesokan harinya, Zidan sudah terlihat masuk sekolah. Ia terlihat begitu lesu. Seperti seseorang yang keilangan gairah hidup. Ketika kusapa pun ia sama sekali tak berniat membalasanya. Sepanjang pelajaran pertama kulihat matanya menatap kosong ke luar melalui jendela kelas.
“Tak biasanya ia seperti ini, apa ini masih ada hubungannya dengan nilai ujian matematikanya?” batinku mencoba menerka-nerka.
Istirahat pertama, tanpa kusangka, Zidan menghampiriku di ruang kerja.
“Bu, kenapa Ibu mengingkari janji? Katanya Ibu mau membantu Zidan, tapi kenapa Ibu bohong?” Zidan menodongku dengan pertanyaan begitu ia terduduk di depan mejaku.
Nampaknya Zidan marah karena aku mengingkari janjinya. Aku mencoba menjelaskan situasi waktu itu. Namun, sepertinya Zidan terlihat belum puas dengan penjelasanku.
“Nanti sepulang sekolah kita bertemu lagi, ya?” tawarku.
“Tidak bisa, Bu. Zidan harus les sampai malam.”
“Kalau gitu, kapan Zidan ada waktu untuk bertemu Ibu lagi?”
“Nggak tahu, Bu. Tanya saja sama Mama.”
Tepat saat Zidan beranjak dari kursi, bel tanda selesai istirahat berbunyi.
“Zidan,”panggilku sebelum Zidan benar-benar meninggalkan ruangan.
“Ya, Bu?”
“Ibu minta maaf ya, karena Ibu ingkar janji. Kalau Zidan mau, Zidan boleh cerita ke Ibu. Masih menyimpan nomor telepon Ibu, kan?”
“Ya, Bu,” jawab Zidan singkat sambil berlalu meninggalkanku.
***
[Bu, apa Ibu sedang sibuk? Ada sesuatu yang ingin Zidan ibu ceritakan.]
[Ibu sedang sibuk, ya? Ya sudah lain kali saja Zidan ceritanya.]
[Selamat istirahat, Bu.]
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB ketika kubuka pesan itu, pesan dari Zidan.
[Zidan, maaf Ibu baru membuka pesanmu. Ibu, baru selesai mengerjakan administrasi guru.]
[Kalau Zidan mau cerita, cerita saja. Nanti pasti Ibu akan membaca cerita Zidan.]
***
[Bu, apakah hari ini Ibu ada waktu?]
[Bu?]
[Bu?]
[Ibu masih sibuk, ya?]
[Zidan ingin cerita, Bu. Kapan Ibu ada waktu?]
Pukul 01.45 di hari selanjutnya. Terulang kembali. Kubuka pesan dari Zidan kala tengah malam sudah terlewati. Sekolah sebulan lagi akan ada akreditasi, makanya akhir-akhir ini aku disibukkan dengan urusan administrasi guru yang membuatku mau tidak mau hanya beberapa jam memejamkan mata.
[Zidan, kalau mau cerita. Cerita saja, tidak usah menunggu balasan dari Ibu terlebih dahulu. Ibu pasti akan baca pesanmu saat ada waktu.]
Dua hari berlalu. Pesan terkahir yang kukirimkan kepada Zidan tidak juga berubah menjadi dua centang biru. Prasangkaku mengatakan Zidan sudah menemukan tempat untuk menumpahkan segala keluh kesahnya.
"Bukankah Mama dan Papa Zidan kalau kuperhatikan selama ini terlihat begitu menyayangi Zidan? Tidak mungkin Zidan akan dibiarkan tenggelam sendirian dalam masalahnya," pikirku untuk menguatkan prasangka.
Ting!
Baru saja ponsel menyentuh meja, sebuah notifikasi pesan masuk membuatku mengambil kembali ponsel itu. Panjang umur! Baru saja aku selesai memikirkannya, ternyata pesan yang masuk itu dari Zidan.
[Assalamualaikum, Bu. Terima kasih selama ini sudah menjaga Zidan. Zidan telah pergi, meninggalkan kita, untuk selamanya ....]
Deg … jantungku seperti berhenti tepat ketika selesai kubaca pesan itu. Beku seketika menyergap sekujur tubuh. Menit berikutnya, entah mendapatkan kekuatan dari mana, aku kembali mampu menguasai diri. Secepat kilat kusambar kunci mobil. Tujuanku hanya satu, rumah Zidan.. Sampai di sana, lantunan ayat suci Al-Quran dengan jelas terdengar, ramai orang-orang berdatangan untuk sekadar mengungkapkan bela sungkawa atas kepergian Zidan. Subuh tadi, Zidan ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan beralaskan merah darah di lantai kamar. Sebuah silet tergeletak tak jauh dari tangannya. Aku tak sampai hati untuk mendengarkan lebih lanjut cerita tentang kepergiannya. Hingga memilih menepikan diri dari para pelayat yang lain.
“Bu …” panggilan Mama Zidan membuyarkan lamunanku. Kuseka sisa-sisa air mata yang masih menggenang di sudut mata.
“Saya menemukan surat ini di kamar tidur Zidan. Setelah saya buka, ternyata surat ini untuk Ibu. Maafkan, Karena saya tadi sempat membacanya.” Mama Zidan menyerahkan secarik kertas tanpa amplop kepadaku.
“Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih.”
“Saya khilaf, Bu. Waktu tahu, Zidan tidak mendapatkan nilai sempurna, saya langsung memarahinya. Saya tidak tahu kalau ternyata akan berakibat seperti ini. Saya juga tidak pernah sadar kalau selama ini Zidan tertekan karena ulah saya. Saya menyesal ….”
“Semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang perlu disesali, Bu. Maafkan saya karena tidak bisa menjaga Zidan dengan baik," kucoba menenangkan Mama Zidan, meski sebenarnya hatiku tak kalah sesak oleh rasa penyesalan
“Saya yang berterima kasih, Bu.”
Tanpa komando, aku dan Mama Zidan saling memberikan pelukan hangat.
Zidan adalah siswa kebanggaan sekolah. Ia tidak pernah alpa menjadi juara di kelasnya, pun juga sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba. Prestasi yang ia torehkan, baik akademik maupun non akademik sudah tak terhitung banyaknya. Dalam berperilaku ia juga patut dijadikan teladan. Sebagai walinya di sekolah,yang kutahu, Mama dan Papanya begitu mendukung untuk mencapai semua prestasi itu.
***
Para pelayat satu persatu mulai meninggalkan makam Zidan. Aku masih bersimpuh di samping pusaranya ketika tak ada satupun pelayat yang tersisa. Kuambil sepucuk surat yang tadi diberikan oleh Mama Zidan.
-----------------
Teruntuk Bu Ratna Mustika
Assalamualaikum, Bu.
Zidan tahu Ibu sedang sibuk. Tapi Zidan ingin sekali menuliskan ini. Zidan harap Ibu akan punya waktu membacanya.
Bu, sebenarnya Zidan sangat kesepian. Sudah berhari-hari Mama dan Papa bertengkar hanya karena nilai ujian matematiku tak sempurna. Aku tidak tahu kepada siapa harus bercerita. Aku merasa saat ini, aku cuma punya Ibu.
Aku takut kalau Mama dan Papa bertengkar seperti ini, Bu. Makanya waktu itu Zidan minta tolong sama Ibu untuk tidak berkata jujur pada Mama.
Aku pengen bisa menjadi seperti yang diinginkan Mama. Aku juga pengen menjadi seperti yang diinginkan Papa. Tapi, kalau keinginan mereka berbeda, Zidan harus bagaimana, Bu? Mama pengen aku menjadi dokter, sedangkan Papa pengen aku menjadi atlet. Aku? Aku tidak ingin menjadi dua-duanya. Aku hanya ingin membahagiakan Mama dan Papa. Aku sayang sama Mama dan Papa. Aku sedih kalau mereka bertengkar gara-gara aku. Aku nggak pengen lihat Mama dan Papa bertengkar.
Tidak masalah kalau Mama dan Papa selama ini sibuk bekerja. Karena itu semua demi Zidan juga kan, Bu? Tapi aku tidak tahan kalau harus melihat Mama dan Papa bertengkar.
Bu, kalau Zidan pergi, Mama dan Papa tidak akan bertengkar lagi, bukan? Iya. Lebih baik Zidan pergi. Dengan begitu Zidan tidak lagi akan melihat Mama dan Papa bertengkar.
Zidan pamit ya, Bu. Terima kasih ya, Bu. Sudah menjadi Ibu yang baik untuk Zidan di sekolah.
Muridmu.
Zidan Arya Permana
---------------
“Maafkan Ibumu yang telah gagal ini, Zidan. Maafkan Ibu, karena terlambat membalas pesanmu,” ratapku di atas makam yang masih basah. Air mataku kembali tumpah, menambah basah pusara Zidan. Tak kupedulikan kerudung yang sudah belepotan oleh tanah merah. Matahari sudah hampir tergelincir, ketika kuputuskan untuk pergi meninggalkan makam Zidan.
***
Hari ini, tepat setahun kepergian Zidan dan itu berarti sudah setahun pula kutanggalkan profesi sebagai seorang guru. Namun, hingga setahun berlalu rasa sesal dalam hati masih juga tidak mau pergi.
Gunungkidul, 6 Mei 2020
Tentang Penulis
Isna Hidayati Fauziah seorang introver yang lahir dan besar di Gunungkidul. Anak kedua dari tiga bersaudara ini sedang menyelesaiakan studi S1-nya di Universitas Negeri Yogyakarta mengambil jurusan Pendidikan Akuntansi. Penulis aktif menulis di akun tumblr-nya isnahidayatifauziah.tumblr.com. Penulis dapat dihubungi melalui: isnahidayati09 (Instagram) atau 0838-9862-4628 (WA).