Senin, 11 Mei 2020

(Masih) Enggan Beranjak

Isna Hidayati Fauziah


Hujan sepanjang pagi hingga siang tadi masih menyisakan basah di sepanjang jalan yang kulalui. Semburat cahaya matahari malu-malu mengintip dari balik barisan mendung yang berak-arak. Aku melemparkan pandangan ke arah jalanan yang semakin riuh sambil terus mencoba berkonsentrasi duduk di belakang kemudi. Tidak sampai lima menit lagi, aku akan sampai pada tujuan perjalnan sore ini. Sebuah kompleks pemakaman keluarga yang terletak di sebuah desa di wilayah selatan Yogyakarta. Tepat ketika langit mulai berubah jingga mobil kurapatkan di sisi jalan, mencari tempat untuk parkir. Kuambil sebuket bunga yang tergeletak di jok samping kemudi. Kulangkahkan kaki memasuki komplek pemakaman yang berpagarkan tanaman. Suasananya begitu sepi. Pak Darko, penjaga makam pun juga tak terlihat batang hidungnya. 

Begitu langkahku terhenti di sebuah makam yang terletak tepat di tengah-tengah kompleks pemakaman, sesal itu kembali menyeruak dalam hati. Aku duduk bersimpuh di samping pusara yang sudah lebih dari sepuluh kali kukunjungi dalam setahun terakhir ini. Air mata kubiarkan tumpah membasahi pusara. Ruang ingatan pun tak bisa kukendali untuk titak memutar ulang kejadian yang membuatku menjadi pengunjung setia makam ini.

 “Bu, Zidan mau minta tolong,” tutur Zidan begitu ia kupersilakan duduk di depanku.

“Minta tolong apa, Dan?” aku menanggapi tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari administrasi guru yang sedang kukerjakan.

“Tapi, Ibu jangan bilang siapa-siapa, ya. Ini jadi rahasia di antara kita berdua saja.”

Kulepas kacamata yang bertengger di atas hidung. Kupandangi murid yang duduk di depanku. Murid yang selalu menjadi kebanggaan sekolah karena segudang prestasinya. Wajahnya begitu murung. Ada gurat-gurat kekhawatiran yang terlukis jelas di sana. Sama sekali tak menunjukkan bahwa ia adalah murid teladan dan langganan juara.

“Ada apa, Zidan?” 

“Bu … Ibu kan wali kelasku. Nanti kalau Mama telepon bertanya perihal nilai ujian matematika, jangan bilang kalau aku tidak mendapatkan nilai yang sempurna, ya?”

 “Memangnya kenapa, Dan?” 

Memang nilai ujian Zidan kali ini tak sempurna seperti biasa, akan tetapi masih tetap tertinggi di antara teman-temannya. Pun selisih dari nilai sempurna kurang dari satu poin.

“Pokoknya jangan bilang ya, Bu. Zidan minta tolong!” 

Kali ini kutatap lekat matanya, berharap menemukan suatu alasan akan permintaan Zidan yang terasa janggal ini. Namun, secepat kilat Zidan menundukkan kepala. Aku sempat menangkap ada sesuatu yang ingin terjatuh dari matanya, namun ia tahan sebisa mungkin.

“Ibu bisa menolong Zidan, kan?” tanyanya lagi masih dengan menundukkan kepala.

Demi tidak ingin melihat Zidan menangis, kuiyakan permintaan Zidan.

“Janji, Bu?” layaknya seorang anak kecil, Zidan mengacungkan jari kelingkingnya.

“Iya, Ibu janji.” Jari kelingku bertaut dengan jari kelingking mungil milik Zidan.

“Terima kasih, Bu.”

Sendu di matanya kini agak memudar. Setelah berpamitan, Zidan bergegeas meninggalkan ruang kerjaku. Akupun kembali sibuk berkutat dengan administrasi guru yang harus dikumpulkan hari ini. 

“Drtt … drtt … drrrt …”

Ponselku bergetar, terlihat di layar Mama Zidan memanggil.

“Halo. Walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku bergitu ponsel menempel di telinga kanan.

“Maaf mengganggu. Saya mau menanyakan perihal nilai ujian matematika Zidan, Bu.”

“Tenang saja, Bu. Zidan mendapatkan nilai bagus seperti biasanya. Tapi ….”

Aku menepuk jidat, hampir saja melupakan janji kepada Zidan untuk tidak memberitahu nilai yang sebenarnya kepada mamanya.

“Tapi apa, Bu?” tanya Mama Zidan penasaran.

“Oh, tidak kok, Bu.”

“Nilai Zidan sempurna seperti biasa kan, Bu?” tanya Mama Zidan sekali lagi, terdengar kekhawatiran dari nada suaranya.

Sejenak hening yang mengisi sambungan telepon.

“Bu?”

“Emmh … kali ini nilai Zidan memang tidak sempurna, Bu. Tapi masih tertinggi di antara teman-teman yang lain.”

“Oh, gitu. Baiklah, Bu. Terima kasih.”

Telepon ditutup oleh mama Zidan. Meski ada perasaan bersalah, akan tetapi sedikitpun aku tidak berprasangka apa-apa kepada Zidan.

“Bukankah sekali waktu wajar jikalau Zidan tidak mendapatkan nilai sempurna?” batinku lantas kembali melanjutkan mengerjakan kewajiban yang sempat tertunda.

***

Dua hari setelah itu, aku baru menyadari Zidan tidak masuk sekolah. Aku mulai khawatir, jangan-jangan ia dimarahi mamanya karena nilai ujian matematika itu. Setelah klarifikasi, aku sedikit lega, ternyata Zidan tidak masuk sekolah karena sedang sakit.

Keesokan harinya, Zidan sudah terlihat masuk sekolah. Ia terlihat begitu lesu. Seperti seseorang yang keilangan gairah hidup. Ketika kusapa pun ia sama sekali tak berniat membalasanya. Sepanjang pelajaran pertama kulihat matanya menatap kosong ke luar melalui jendela kelas.

“Tak biasanya ia seperti ini, apa ini masih ada hubungannya dengan nilai ujian matematikanya?” batinku mencoba menerka-nerka.

Istirahat pertama, tanpa kusangka, Zidan menghampiriku di ruang kerja.

“Bu, kenapa Ibu mengingkari janji? Katanya Ibu mau membantu Zidan, tapi kenapa Ibu bohong?” Zidan menodongku dengan pertanyaan begitu ia terduduk di depan mejaku.

Nampaknya Zidan marah karena aku mengingkari janjinya. Aku mencoba menjelaskan situasi waktu itu. Namun, sepertinya Zidan terlihat belum puas dengan penjelasanku.

“Nanti sepulang sekolah kita bertemu lagi, ya?” tawarku.

“Tidak bisa, Bu. Zidan harus les sampai malam.”

“Kalau gitu, kapan Zidan ada waktu untuk bertemu Ibu lagi?”

“Nggak tahu, Bu. Tanya saja sama Mama.”

Tepat saat Zidan beranjak dari kursi, bel tanda selesai istirahat berbunyi.

“Zidan,”panggilku sebelum Zidan benar-benar meninggalkan ruangan.

“Ya, Bu?”

“Ibu minta maaf ya, karena Ibu ingkar janji. Kalau Zidan mau, Zidan boleh cerita ke Ibu. Masih menyimpan nomor telepon Ibu, kan?”

“Ya, Bu,” jawab Zidan singkat sambil berlalu meninggalkanku.

***

[Bu, apa Ibu sedang sibuk? Ada sesuatu yang ingin Zidan ibu ceritakan.]

[Ibu sedang sibuk, ya? Ya sudah lain kali saja Zidan ceritanya.]

[Selamat istirahat, Bu.]

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB ketika kubuka pesan itu, pesan dari Zidan.

[Zidan, maaf Ibu baru membuka pesanmu. Ibu, baru selesai mengerjakan administrasi guru.]

[Kalau Zidan mau cerita, cerita saja. Nanti pasti Ibu akan membaca cerita Zidan.]

***

[Bu, apakah hari ini Ibu ada waktu?]

[Bu?]

[Bu?]

[Ibu masih sibuk, ya?]

[Zidan ingin cerita, Bu. Kapan Ibu ada waktu?]

Pukul 01.45 di hari selanjutnya. Terulang kembali. Kubuka pesan dari Zidan kala tengah malam sudah terlewati. Sekolah sebulan lagi akan ada akreditasi, makanya akhir-akhir ini aku disibukkan dengan urusan administrasi guru yang membuatku mau tidak mau hanya beberapa jam memejamkan mata.

[Zidan, kalau mau cerita. Cerita saja, tidak usah menunggu balasan dari Ibu terlebih dahulu. Ibu pasti akan baca pesanmu saat ada waktu.]

Dua hari berlalu. Pesan terkahir yang kukirimkan kepada Zidan tidak juga berubah menjadi dua centang biru. Prasangkaku mengatakan Zidan sudah menemukan tempat untuk menumpahkan segala keluh kesahnya.

"Bukankah Mama dan Papa Zidan kalau kuperhatikan selama ini terlihat begitu menyayangi Zidan? Tidak mungkin Zidan akan dibiarkan tenggelam sendirian dalam masalahnya," pikirku untuk menguatkan prasangka.

Ting! 

Baru saja ponsel menyentuh meja, sebuah notifikasi pesan masuk membuatku mengambil kembali ponsel itu. Panjang umur! Baru saja aku selesai memikirkannya, ternyata pesan yang masuk itu dari Zidan.

[Assalamualaikum, Bu. Terima kasih selama ini sudah menjaga Zidan. Zidan telah pergi, meninggalkan kita, untuk selamanya ....]

Deg … jantungku seperti berhenti tepat ketika selesai kubaca pesan itu. Beku seketika menyergap sekujur tubuh. Menit berikutnya, entah mendapatkan kekuatan dari mana, aku kembali mampu menguasai diri. Secepat kilat kusambar kunci mobil. Tujuanku hanya satu, rumah Zidan.. Sampai di sana, lantunan ayat suci Al-Quran dengan jelas terdengar, ramai orang-orang berdatangan untuk sekadar mengungkapkan bela sungkawa atas kepergian Zidan.     Subuh tadi, Zidan ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan beralaskan merah darah di lantai kamar. Sebuah silet tergeletak tak jauh dari tangannya. Aku tak sampai hati untuk mendengarkan lebih lanjut cerita tentang kepergiannya. Hingga memilih menepikan diri dari para pelayat yang lain.

“Bu …” panggilan Mama Zidan membuyarkan lamunanku. Kuseka sisa-sisa air mata yang masih menggenang di sudut mata.

“Saya menemukan surat ini di kamar tidur Zidan. Setelah saya buka, ternyata surat ini untuk Ibu. Maafkan, Karena saya tadi sempat membacanya.” Mama Zidan menyerahkan secarik kertas tanpa amplop kepadaku.

“Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih.”

“Saya khilaf, Bu. Waktu tahu, Zidan tidak mendapatkan nilai sempurna, saya langsung memarahinya. Saya tidak tahu kalau ternyata akan berakibat seperti ini. Saya juga tidak pernah sadar kalau selama ini Zidan tertekan karena ulah saya. Saya menyesal ….” 

“Semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang perlu disesali, Bu. Maafkan saya karena tidak bisa menjaga Zidan dengan baik," kucoba menenangkan Mama Zidan, meski sebenarnya  hatiku tak kalah sesak oleh rasa penyesalan

“Saya yang berterima kasih, Bu.”

Tanpa komando, aku dan Mama Zidan saling memberikan pelukan hangat.

Zidan adalah siswa kebanggaan sekolah. Ia tidak pernah alpa menjadi juara di kelasnya, pun juga sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba. Prestasi yang ia torehkan, baik akademik maupun non akademik sudah tak terhitung banyaknya. Dalam berperilaku ia juga patut dijadikan teladan. Sebagai walinya di sekolah,yang kutahu, Mama dan Papanya begitu mendukung untuk mencapai semua prestasi itu.

***

Para pelayat satu persatu mulai meninggalkan makam Zidan. Aku masih bersimpuh di samping pusaranya ketika tak ada satupun pelayat yang tersisa. Kuambil sepucuk surat yang tadi diberikan oleh Mama Zidan.

-----------------

Teruntuk Bu Ratna Mustika

Assalamualaikum,  Bu. 

Zidan tahu Ibu sedang sibuk. Tapi Zidan ingin sekali menuliskan ini. Zidan harap Ibu akan punya waktu membacanya. 

Bu, sebenarnya Zidan sangat kesepian. Sudah berhari-hari Mama dan Papa bertengkar hanya karena nilai ujian matematiku tak sempurna. Aku tidak tahu kepada siapa harus bercerita. Aku merasa saat ini, aku cuma punya Ibu.

Aku takut kalau Mama dan Papa bertengkar seperti ini, Bu. Makanya waktu itu Zidan minta tolong sama Ibu untuk tidak berkata jujur pada Mama.

Aku pengen bisa menjadi seperti yang diinginkan Mama. Aku juga pengen menjadi seperti yang diinginkan Papa. Tapi, kalau keinginan mereka berbeda, Zidan harus bagaimana, Bu? Mama pengen aku menjadi dokter, sedangkan Papa pengen aku menjadi atlet. Aku? Aku tidak ingin menjadi dua-duanya. Aku hanya ingin membahagiakan Mama dan Papa. Aku sayang sama Mama dan Papa. Aku sedih kalau mereka bertengkar gara-gara aku. Aku nggak pengen lihat Mama dan Papa bertengkar.

Tidak masalah kalau Mama dan Papa selama ini sibuk bekerja. Karena itu semua demi Zidan juga kan, Bu? Tapi aku tidak tahan kalau harus melihat Mama dan Papa bertengkar.

Bu, kalau Zidan pergi, Mama dan Papa tidak akan bertengkar lagi, bukan? Iya. Lebih baik Zidan pergi. Dengan begitu Zidan tidak lagi akan melihat Mama dan Papa bertengkar.

Zidan pamit ya, Bu. Terima kasih ya, Bu. Sudah menjadi Ibu yang baik untuk Zidan di sekolah. 


Muridmu.

Zidan Arya Permana

---------------

 “Maafkan Ibumu yang telah gagal ini, Zidan. Maafkan Ibu, karena terlambat membalas pesanmu,” ratapku di atas makam yang masih basah.  Air mataku kembali tumpah, menambah basah pusara Zidan. Tak kupedulikan kerudung yang sudah belepotan oleh tanah merah. Matahari sudah hampir tergelincir, ketika kuputuskan untuk pergi meninggalkan makam Zidan. 

***

    Hari ini, tepat setahun  kepergian Zidan dan itu berarti sudah setahun pula kutanggalkan profesi sebagai seorang guru. Namun, hingga setahun berlalu rasa sesal dalam hati masih juga tidak mau pergi.


Gunungkidul,  6 Mei 2020

Tentang Penulis

Isna Hidayati Fauziah seorang introver yang lahir dan besar di Gunungkidul. Anak kedua dari tiga bersaudara ini sedang menyelesaiakan studi S1-nya di Universitas Negeri Yogyakarta mengambil jurusan Pendidikan Akuntansi. Penulis aktif menulis di akun tumblr-nya isnahidayatifauziah.tumblr.com. Penulis dapat dihubungi melalui: isnahidayati09 (Instagram) atau 0838-9862-4628 (WA).



TAK LAGI SAMA

Oleh: Syabrinaaputri

"ketika mencintai diri sendiri lebih penting daripada mempertahankan cinta."

Putri melihat Zea duduk sendiri sambil termenung. Putri datang menghampiri sahabatnya yang sedang sedih karena bingung, memilih untuk mengikuti antara dua hobi yang ia senangi.

“Zea, lo mau nggak, gue kenalkan dengan teman cowok di kampus gue?” 

“Siapa?”

“Namanya Adam, mau ya? Lo, ‘kan sudah lama nggak pacaran.”

“Hmmm.. Yaudah nggak apa deh. Tapi teman cowok lo baik, ‘kan?”

“Tenang saja, dia baik kok. Tapi, sifat kalian hampir sama. Sama-sama mementingkan hobi.”

Zea tersenyum  menatap Putri, sambil memikirkan kembali apa yang akan ia ambil antara bersepeda atau badminton. Zea bertanya kepada Putri, apa yang sebaiknya harus ia ambil. Putri mulai berfikir dan memberi saran kepada Zea. Setelah mendengar saran dari Putri, Zea merasa lebih baik dan tahu akan mengikuti kegiatan apa untuk acara di kampusnya.

Sebelum tidur Zea melihat Hp, ada beberapa pesan yang masuk. Ia membuka dan membaca isi pesan yang ternyata dari Adam. Mereka mulai berbincang tentang hobi masing-masing, apa yang di senangi Adam dan begitupula sebaliknya. Tidak berasa hari sudah larut malam, Zea sudah mengantuk. Ia pamit ingin tidur dengan Adam.

***

Adam menunggu di depan parkiran kampus Zea, ia ingin mengajak Zea  pulang bersama sambil pergi jalan. Zea tersenyum lebar melihat Adam sudah berada di parkiran dan langsung masuk ke dalam mobil.

“Kita mau kemana?” tanya Zea sambil tersenyum

“Nanti kamu akan tahu.”

Zea hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis, menikmati alunan musik yang Adam putar. Zea mengikuti nada-nada musik yang diputar. Adam mengajak pergi makan, karena ia merasa sangat lapar. Saat sedang makan Adam ber cerita tentang kehidupan nya. 

"Kamu suka apa?"

"Aku suka main badminton, membaca, dan menulis. Oiya satu lagi bermain sepeda."

Adam terdiam ketika mendengar Zea menyukai badminton, ia tersenyum sambil menghela napas. Namun, Zea tidak menyadari ekspresi Adam. Ia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. 

Zea ingin makan es krim yang ada di taman. Adam membelikan es krim itu untuk Zea, Mereka berjalan beriringan sambil makan es krim. Adam menatap lama wajah Zea lalu tersenyum ketika melihat Zea seperti anak kecil yang cuek tidak keruan. 

Saat sampai dirumah, Zea melihat ke jendela. Di malam hari yang dingin menjadi terasa begitu hangat. Ia merasa senang dan tersenyum malu sendiri bila mengingat bagaimana cara Adam menatap dirinya. Handphone Zea berdering,  Adam melakukan panggilan video dengannya. Zea pergi ke cermin sebelum mengangkat telepon, Zea merapikan rambut dan melihat dirinya sudah rapi. Lalu mengangkat telepon Adam sambil tersenyum. 

"Kamu lagi apa? Belum tidur? "

"Belum, aku baru ingin tidur. Tapi, kamu menelepon."

"Yasudah, kamu tidur saja lagi. Selamat tidur, semoga mimpi indah ya."

"Mmm. Kamu nggak tidur? Atau mau aku temani dulu?"

Dalam hati Zea, ia merasa ingin lebih lama telepon an dengan Adam. Tidak ingin mematikan panggilan video dari Adam. Namun, Adam menyuruhnya untuk tidur saja karena sudah malam. 

Benih-benih cinta di dalam hati Zea mulai muncul, seperti malam yang di penuhi bintang dan melihat langit selalu ada gambar berbentuk hati. Begitulah perasaan yang kini mereka rasakan satu sama lain. 

***

Angin berhembus begitu kencang, sepertinya hujan akan turun hari ini. Tepat di hari minggu sore, Adam datang menjemput Zea Mereka pergi jalan membeli makanan dan duduk di depan rumah Zea sambil makan eskrim kesukaan mereka. Dalam suasana yang hening sambil menikmati eskrim yang mereka pegang. Mulut Adam bergetar, gugup tidak keruan. Adam pergi lari ke mobil mengambil bunga Edelweis.

" Zea.. Ada yang ingin aku katakan," ucap Adam sambil memegang bunga. 

"Iya, apa itu?"

"Setelah beberapa hari kita jalan, kita saling berbagi cerita satu sama lain. Aku suka sama kamu. Aku menyukaimu Zea, apa kamu mau menjadi kekasihku?"

Zea terdiam, ia merasa kaget. Adam yang tiba-tiba  menyatakan perasaan kepada dirinya. Zea merasa gugup, mulutnya kaku. Namun, ia juga mempunyai perasaan yang sama terhadap Adam. 

"Iya, aku mau menjadi kekasih kamu."

Mata mereka seakan tersenyum, merasa sangat senang. Sore itu menjadi hari yang paling bahagia untuk Zea dan Adam. Begitulah cara Adam mengungkapkan perasaan nya kepada Zea. Sehingga mereka kini telah menjalin hubungan selama enam tahun. 

Hari demi hari mereka lalui bersama, semua berjalan dengan baik tanpa ada orang ketiga. Cinta datang tanpa di undang, ia datang begitu saja. Tanpa di sadari kita tidak tahu kemana hati ini akan menetap. Tidak tahu kemana tepatnya hati ini akan bertahan. Saling menerima kekurangan dan saling memahami telah mereka lakukan untuk mempertahankan hubungan mereka. 

***

"Aku hari ini akan main badminton, sudah lama aku tidak melakukan hal yang aku inginkan. Aku tahu kamu tidak akan suka, tapi aku ingin."

"Yasudah, untuk hari ini saja. Kamu boleh pergi." Adam merasa kesal.

Zea pergi bersama teman-temannya walau ia tahu bahwa Adam tidak benar-benar menyuruhnya pergi. Zea merasa lelah ketika harus selalu memahami Adam, tapi yang ia lakukan adalah sebaliknya. Ketika Zea pulang dari main badminton, Adam menelepon, ia ingin minta izin dengan Zea untuk melakukan traveling bersama dengan temannya. 

"Aku nggak mau kamu pergi."

"Kenapa?"

"Aku khawatir, jika kamu pergi dengan teman-teman terus. Kamu ngerti!"

Adam menghela napas dan diam tanpa menjawa Zea. Zea menutup telepon Adam dengan rasa kesal. Melihat ke luar jendela, Zea teringat saat Adam  pernah terluka dan masuk rumah sakit tahun lalu. Zea merasa takut jika itu terjadi lagi pada Adam, tapi Adam tidak pernah mengerti dan selalu melakukan apa yang ia inginkan. 

Di tengah malam Adam datang ke rumah Zea. Karena ia akan berangkat besok pagi bersama dengan temannya. Zea mendesah begitu dalam, melihat mata Adam lalu menangis. Zea merasa bingung ingin dibawa kemana hubungannya bersama Adam, terus beriringan ke arah yang sama atau mundur mencari arah yang lain.

"Aku capek, semenjak kamu menemukan hobi kamu yang baru tahun lalu. Kamu nggak pernah ngertiin aku lagi. Aku rasa hubungan ini sudah salah, kita mencoba mempertahankan apa yang seharusnya tidak lagi kita pertahankan. Aku sadar kamu dan aku sama-sama egois," Zea menundukkan kepala sambil meneteskan air mata. 

"Maksud kamu?"

"Aku mundur."

Adam terdiam sangat lama, matanya berkaca-kaca. Memikirkan lagi apa yang telah Zea katakan, membuat ia sadar bahwa ia selama ini memang telah melukai perasaan Zea.

Adam menghela napas sangat dalam "Baiklah,  jika itu yang kamu inginkan. Aku minta maaf, jaga diri kamu baik-baik ya," ucap Adam sambil memegang pundak Zea  dan pergi. Zea masuk ke dalam kamar, air matanya jatuh tanpa henti. Dada yang berasa sesak. Malam itu,dalam kesendirian Zea hanya bisa menangis dan menangis. 

***

Untuk kedua kalinya cinta ini benar-benar harus berakhir, ketidak cocokan antara Zea dan Adam mulai hadir step by step. Mencoba bertahan, namun mereka tidak mampu lagi untuk saling mempertahankan. 

Semua terjadi begitu saja, tanpa sadar waktu telah berlalu begitu cepat. Karena keinginan yang ingin dicapai dalam hidup lebih penting daripada cinta. 

Perihal melepaskan, mengikhlaskan, dan perpisahan bukan hal yang mudah untuk setiap insan di dunia. Tapi, jika dipertahankan pun cinta akan saling menyakiti. Setelah enam tahun menjalin hubungan yang romantis bersama. Kini, harus berakhir karena mencintai diri sendiri lebih penting bagi mereka berdua. 

Dalam malam yang dingin, Zea teringat ketika Adam mengucapkan kata-kata selamat malam dan kata-kata yang indah sebelum tidur, Zea menangis. Kini ia tersadar bahwa sekarang ia telah kehilangan kekasihnya itu dan mereka tak lagi bersama.

”Persimpangan arah yang membuat diri gaduh, riuh, akhirnya menemukan diriku sendiri.”~Zea

***

TAMAT





Tentang Penulis.

Syabrina Adrianty Putri, kerap di panggil putri atau sabe. Saya memiliki hobi menulis, membaca, dan menyanyi. Saya terlahir dari orangtua yang juga suka menulis sewaktu muda. Saya lahir di pekanbaru pada bulan desember tahun 1997. Saya menyukai warna merah muda dan penikmat kata-kata indah. Menyukai musik bergenre pop dan R&B dan menyukai kisah cinta yang bergenre romantis komedi.  




KAU YANG DISANA

syabrinaaputri

“Halo..Ryan aku kangen….” 

“Sabar ya, sebentar lagi aku akan pulang.”

Shenna mendesah, karena merasa tidak sabar ingin bertemu dengan Ryan. Sudah hampir enam bulan Shenna dan Ryan tidak bertemu karena terbiasa saat bersama mereka selalu bertemu dan jalan. Sekarang Ryan ditugaskan untuk kerja keluar kota selama setahun. Rasa rindu yang tidak bisa di tahan harus Ryan dan Shenna tahan.

Malam hari didalam kamar, Shenna selalu mengerjakan tugas kampus. Sekitar jam sembilan malam Shenna selalu merasa lapar dan ingin makan malam. Ryan membawakan makanan yang Shenna suka seperti nasi goreng atau mie. Ryan selalu marah, karena Shenna selalu telat makan. Hal kecil seperti itu yang terkadang membuat Shenna merindukan pacarnya yang jauh disana.

Disana Ryan bekerja sama dengan teman Shenna yang bernama Alika. Ia selalu bertanya tentang apa saja yang di lakukan oleh Ryan. Sifat Shenna yang suka cemburu nggak jelas, terkadang membuat Ryan selalu merasa kesal sendiri. Enam tahun pacaran, tapi Shenna selalu tidak merasa percaya kepada Ryan. Karena menurut Shenna, Ryan adalah cowok yang tampan dan baik. Cewek mana saja pasti akan tertarik dengan paras wajah Ryan.

 

“Jangan buat hati Ryan berpaling dengan wanita lain, semoga disana Ryan akan selalu bak-baik saja,” kalimat itu yang selalu Shenna ucapkan dalam doanya.. Bagi Shenna hanya doa yang bisa menjaga Ryan dari kejauhan, karena ia tidak bisa berada di sisi Ryan saat ini. Shena pernah memutuskan hubungan dengan Ryan sejak Ryan pernah pergi dengan wanita yang pernah menyukainya. Karena Ryan adalah cowok yang hangat terhadap semua orang, terkadang itu yang membuat Shenna menjadi resah.

***

Alika mengajak Shenna belanja di kantin dan Roy teman Ryan juga sedang berada dikantin. Roy dan Alika bersahabat sejak mereka masih kecil, jika bertemu mereka selalu mengolok Shenna karena masih Single. Karena bertemu dikantin, Roy memperkenalkan Ryan dengan Shenna. Melihat senyum Shenna, menurut Ryan, Shenna adalah wanita yang memiliki mata indah saat tersenyum. Semenjak perkenalan yang tidak disengaja itu, Ryan mulai menyukai Shenna dan meminta nomor Shenna di saat hari ketiga mereka berjumpa. Begitulah Ryan dan Shenna berjumpa dan mulai dekat.

Saat Ryan mengajak Shena pergi, untuk pertama kalinya dia terlihat canggung. Saat ingin mengambil air, tangan Shenna tergores kaca. Tangannya luka, Ryan langsung mengobati tangan Shenna yang luka. Melihat Ryan yang sangat perhatian dan cekatan, membuat Shenna jatuh cinta kepada Ryan. 

Rasa sayang mulai tumbuh dalam hati mereka masing-masing. Seiring berjalannya waktu dan selalu bertemu membuat Ryan dan Shenna saling suka, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain. Didekat Ryan Shenna merasa tenang, jika Shenna akan persentase di dalam kelas, ia selalu merasa resah dan gelisah. Shenna selalu ceritakan apa yang akan ia lakukan dan apa yang ada dalam hatinya kepada Ryan.

Kini mereka telah jauh, Ryan selalu tertawa bila Shenna berbicara manja dan berkata rindu. Ryan bingung harus berkata apa, mau tidak mau Ryan sudah bekerja. Mereka harus terpisah jarak dan waktu. Lewat videocall adalah cara Ryan dan Shenna melepas rindu.

“Kamu sedang apa?” Shenna tersenyum

“Baru pulang kerja, kamu sudah makan malam?” 

“Sudah.” Ucap Shenna sambil menunduk

“Coba pejamkan mata kamu, bayangkan aku berada didekat kamu dan kita lagi bersama.”

“Kamu bisanya canda terus.”

“Aku serius, biasanya itu cara aku melepas rindu sama kamu.” Mereka tersenyum dan saling menghela napas. Shenna menceritakan apa yang hari ini ia lakukan, sedangkan Ryan kenak marah karena melakukan kesalahan saat membuat laporan. Tapi semua itu tidak menjadi masalah besar.

Saat ingin tidur, Shenna mencoba memejamkan matanya lalu ia mencoba melakukan apa yang Ryan katakan tadi. Ia melakukan dengan sepenuh hati sehingga saat tidur Shenna memimpikan Ryan. Ia bermimpi Ryan berada dipelukannya, jika dengan doa cara Shenna menjaga Ryan. Namun, lewat mimpi Ryan bisa menjaga Shenna .

Jarak membuat Shenna belajar untuk percaya terhadap Ryan. Jam masuk kelas Shenna sebentar lagi dimulai, hpnya berdering panggilan masuk dari Alika, ia mengatakan bahwa dirinya rindu dengan wajah Shenna yang suka bengong. Alika bercerita, ia mempunyai banyak kerjaa, tiba-tiba Alika terdiam seperti ada yang janggal. “Kenapa Al?”, “Nggak apa-apa.”

Shenna melihat muka Alika dari layar dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Alika mulai berkata jujur “Sebenarnya tadi aku melihat Ryan bersama dengan wanita lain, sepertinya cewek itu suka dengan Ryan. Tapi lo jangan mikir negatif dulu ya Shenn…” Shenna terdiam dan langsung mematikan panggilan telepon mereka. Alika merasa bersalah telah mengatakan apa yang telah terjadi, tapi ia juga merasa harus menyampaikan apa yang ia lihat tentang Ryan kepada Shenna.

***

Hp Shenna berdering tanda panggilan masuk dari Ryan, tapi ia tidak ingin mengangkat karena masih teringat dengan apa yang telah Alika katakan. Ryan mengirim chat, menyuruh Shenna untuk mengangkat telepon darinya.

“Iya kenapa?” ucap Shenna

“Kamu kenapa? Seharian nggak angkat telepon aku. Ada apa?” Ryan bingung.

Karena Shenna hanya diam, Ryan mulai merasa kesal dan marah kepada Shenna. Ryan mengatakan bahwa Shenna seperti anak kecil yang selalu merajuk tanpa alasan yang nggak jelas.

“Seperti anak kecil kamu bilang? Kamu selalu sibuk dengan, aku selalu mengerti. Tapi, jika kamu harus pergi dan merangkul cewek lain aku nggak bisa ngertiin kamu lagi Yan!” Shenna menangis

“Kamu kenapa tiba-tiba marah? Shenn… kamu nangis?”

“Kamu sadar nggak sih, aku disini cemas mikirin kamu. Harusnya kamu sadar! Tapi kamu nggak pernah mengerti gimana rasanya jadi aku. Kenapa kamu selalu buat aku sedih lalu menangis dengan sikap kamu yang selalu baik terhadap wanita lain.”

Ryan terdiam dan termenung. Ryan ingin menjelaskan apa yang terjadi. Tapi Shenna langsung mematikan telepon, Ryan merasa bersalah dan berfikir bagaimana cara menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya kepada Shenna. Ryan tidak ingin melihat Shenna sedih seperti ini.

Ryan merasa tidak semangat kerja karena mengingat Shenna. Ia khawatir, apakah Shenna sudah makan atau belum. Shenna selalu lupa untuk makan malam jika tidak diingatkan. Ryan mencoba menelepon Shenna tapi tidak diangkat. Ryan keluar dari ruang kerjanya dan mencoba untuk menelepon Shenna.

Ryan melewati ruangan bos, ia dipanggil untuk mengerjakan tugas yang tidak bisa di kerjakan oleh Nia. Setelah mengerjakan tugas, bos menyuruh Ryan untuk mengantar Nia pulang karena Nia merasa tidak enak badan. Saat sedang berjalan, Nia merasa pusing dan Ryan merangkul Nia agar tidak jatuh. Disaat Ryan merangkul Nia, Alika melihat kejadian itu. Ryan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Shenna.

“Aku harap kamu percaya sama aku dan jangan berpikir negatif lagi saat aku jauh disini. Walau awalnya kamu ragu tapi percaya aku. Aku Cuma sayang sama kamu dan akan selalu cinta hanya sama kamu.”

Mendengar apa yang telah Ryan katakan, Shenna merasa bersalah dan minta maaf kepada Ryan karena salah berpikir tentang dirinya. Ryan tertawa dan menyuruh Shenna untuk memejamkan matanya lagi dan bayangkan ia berada disamping.

“Kamu bicara seperti itu membuat aku semakin rindu sama kamu.”

“Aku disini sama seperti kamu, aku rindu…sangat rindu sama kamu.”

“Tumben kamu bilang rindu juga sama aku, biasanya langsung mengalihkan pembicaraan kalau aku bilang tentang rindu.”

“Udah malam, besok liburkan? kamu tidur lagi sana. Jangan lupa mimpikan aku saat terlelap. Mana tahu besok kita beneran bertemu.” Ryan tersenyum tipis. Shenna mulai memejamkan matanya kembali, di seperempat malam Shenna bermimpi bahwa dirinya dan Ryan bertemu. Namun, rasanya seperti nyata. Shenna tersentak lalu terbangun, ia melihat ke jendela ternyata hari sudah siang. Shenna mandi dan pergi keluar rumah untuk mencari udara segar.

Shenna membuka pintu rumah, ada mobil yang parkir didepan mobilnya. Ia berjalan kearah mobil itu dan mengetuk kaca mobil. Perlahan kaca mobil itu terbuka, Shenna melihat siapa orang yang ada didalam mobil. “Maaf mas tolong pindahkan mobilnya..” Shenna heran saat melihat orang itu ternyata “Ryan..! kamu kapan sampai?” Ryan turun dari mobil dan langsung memeluk Shenna. Ryan menatap wajah pacarnya yang sudah lama tidak ia lihat itu.

“Ternyata kamu makin cantik.” Ucap Ryan dan Shenna tersenyum malu.

“Akhirnya kita benar-benar bertemu lagi, aku rindu sama kamu.” Ucap Shenna dan memeluk Ryan kembali

“Aku juga rindu sekali sama kamu.” Ryan mengecup kening Shenna dan mengelus lembut kepala Shenna.

***


Tentang penulis



Syabrina Adrianty Putri, kerap di panggil putri atau sabe. Saya memiliki hobi menulis, membaca, dan menyanyi.

Saya terlahir dari orangtua yang juga suka menulis sewaktu muda. Saya lahir di pekanbaru pada bulan desember

tahun 1997. Saya menyukai warna merah muda dan penikmat kata-kata indah. Menyukai musik bergenre pop dan

R&B dan menyukai kisah cinta yang bergenre romantic komedi.  


 Saksi Bisu

 Oleh: Roselyn NorthGod



    Jakarta, 10 September 2019 pukul 08.00 WIB. Bagus Syahrozi alias Sehun hari ini  dikejutkan dengan kasus yang sangat diluar dugaannya. Presiden Indonesia ke-8 ditemukan tewas mengenaskan di kediamannya dengan luka tusuk dibagian dadanya. Sehun kini sedang berada dirumah kediaman pak Hasnan bersama dengan 2 orang partnernya Kai dan Xiumin Kim dibantu pihak kepolisian mengolah TKP dengan sangat teliti. Setiap bercak darah dan tapak sepatu yang mereka temukan pasti dapat mengarahkan kepada pelaku pembunuhan yang masih belum diketahui motif pembunuhannya ini. Sehun menemukan sesuatu,  terlihat seperti sobekan kain. Sehunpun memungutnya dan menaruhnya dalam kantong plastik untuk diotopsi. Mungkin saja terdapat bekas sidik jari sang pelaku, pikir Sehun. Pihak kepolisian terkesan dengan proses yang dapat dikatakan rapih. Setiap anggota keluarga bahkan polisi yang menjaga rumah kediaman pak Hasnan, tak satupun dari mereka yang mendengar suara teriakan ataupun orang asing yang masuk kedalam rumah. Beliau langsung ditemukan bersimbah darah oleh putranya yang ingin mengajaknya untuk sarapan bersama. 

Sang Istri yang sedang pergi keluar kota masih belum mengetahui berita duka ini  pihak kepolisian masih merahasiakannya sampai hasil otopsi keluar. Para anggota Badan Intel tak ada yang berani mengambil kasus ini kecuali Sehun, Kai , dan Xiumin Kim. Hal itu membuat pihak Kepolisian curiga karena setahu mereka semua anggota badan intel dapat berfikir layaknya seorang penjahat. Pihak kepolisian ingin mewawancarai anggota badan intel yang mengawasi langsung rumah kediaman presiden, namun yang berhak untuk mewawancarai mereka  hanyalah atasan mereka, Elm Virion tak ada yang tahu siapa nama aslinya.

Sehun mendapatkan hasil otopsi dari piyama yang digunakan Pak Hasnan. Setelah ia lihat hasil terdapat beberapa sidik jari dari Sang Pelaku. Sidik jari itu hampir mirip seperti sidik jari miliknya bahkan mungkin sama. Artinya hanya ada satu orang tersangka dalam pembunuhan berencana ini yaitu, Sehan kembarannya yang juga dulu bekerja jadi Badan Intel. Tapi setahunya, kembarannya itu sekarang bekerja diluar negeri dan belum kembali sejak 5tahun lalu. Lalu siapa? Pikir Sehun. Tidak mungkin itu dirinya, semalam dirinya sedang asik bermimpi indah terbang ke langit tertinggi, tidak mungkin dirinya melakukan pembunuhan berencana apalagi terhadap presiden.


Sore harinya, Pihak Kepolisian meminta untuk melanjutkan penyelidikan esok karena hari mulai gelap. Semua kru sudah meninggalkan TKP, namun Sehun serta kedua teman masih berada ditempat memastikan kalau pelaku bukan dari angggota Badan Intel.

Sekitar 30 menit lamanya mereka bertiga tidak menemukan apa-apa. Akhirnya mereka memilih untuk pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya Sehun di rumah. Ia hanya ingin langsung bercengkrama dengan tempat tidur kesayangannya. Namun ia melihat sebuah kejanggalan, ia melihat baju yang bersimbah darah tergeletak dibawah kasurnya. Sehun memungutnya, baju itu sudah tidak utuh ada bagian baju yanng tersobek dan darahnya sudah kering seperti sudah berjam-jam disana. Tapi sehun tidak ingat kapan dia menaruh ini disana. 

Sehun pergi menuju kamar Sehan. Pintu yang sedari dulu saat Sehan tinggalkan tidak pernah dikunci sehingga Sehun dapat memasukinya. Sehun memperhatikan setiap inci kamar itu. Tak ada koper Sehan, tak ada benda yang pindah dari posisi semula, bed covernya masih sama bahkan masih berdebu. Artinya Sehan tidak  datang kerumah, namun tidak mungin itu dirinya yang membunuh Presiden dengan motif yang tidak jelas. Sepertinya ia sangat membutuhkan istirahat sekarang agar dapat berfikir jernih.


    Dini hari dikeesokan harinya. Suara panggilan masuk berhasil membuat mimpi indah Sehun terhenti. Pasti ada sesuatu yang tidak beres tentang kasus yang sedang ia hadapi, karena seseorang yang berani  membangunkannya dari tidur itu tak lain adalah Xiumin Kim.

“Apa kau tahu berita terbaru tentang pembunuhan pak Hasnan? Ku harap iya” Ucap Xiumin dengan nada penuh tanya.

“Mengapa tidak kau tanyakan saja pada matahari yang masih tertidur?” Jawab Sehun ketus namun serak.

“Maaf, aku to the point saja. Aku yakin kau masih ingin untuk tetap bekerja disini dan menyelesaikan kasus ini. Namun Pihak Kepolisian dan Para Menteri meminta kita berhenti menangani kasus ini, mereka sudah menetapkan tersangka dan besok mereka akan menyebarkan ini kepada media masa. Mereka akan menyebarkan bukti berupa rekaman CCTV yang akan mereka dapatkan pagi ini, dan pak Elm memintamu menghadap ke kantornya sekarang juga sebelum siapapun datang.”

Sehun langsung memutus panggilannya tanpa babibu dan langsung pergi ke kamar mandinya, sekedar mencuci mukanya dan berganti pakaian.

    Sesampainya dikantor Pak Elm, Sehun terkejut dengan kehadiran kembarannya, Sehan. Mungkin Sehan terlibat dalam penyelidikan, pikirnya mencoba menjauhkan aura negatif yang selalu melekat pada diri Sehan. 

"Ada apa bapak memanggil saya sepagi ini?" Tanyanya to the point. 

"Santai saja, kita bicarakan ini baik-baik. Jadi begini Pihak Kepolisian beserta Menteri menetapkan kau sebagai tersangka. Dan sepertinya sudah saatnya kau bekerja sama dengan kembaranmu untuk membuat Para Pemimpin negara lain membantu kita. "

"Jangan itu aib, aku dapat mengatasinya sendiri bersama yang lainnya. Aku dapat membebaskan diriku sendiri dengan bukti bahwa aku tidak bersalah." 

    Sehan tertawa kecil, "Jangan munafik, aku tau kau mengerti apa yang Pak Elm maksud." 

"Apa maksudmu? Jelas-jelas aku mengerti. Kau hanya memperrumit. "

    Sehan hendak berbicara namun terpotong oleh Pak Elm,"sudahlah, aku yakin Sehun butuh istirahat untuk mengerti apa yang dimaksud Sehan. Sekarang kalian boleh pergi dan kumohon jangan bertengkar." 

    Sehan & Sehun pun pergi. Sehun pergi ke kediamannya sedangkan Sehan entah pergi kemana. Yang Sehun inginkan saat ini hanyalah melanjutkan mimpi indahnya yang sempat terpotong. Ia akan dipenjara ataupun tidak, Sehun tidak perduli. Toh bukti yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membuat Sehun mendekam dipenjara. Mereka membutuhkan lebih banyak bukti untuk memenjarakan seseorang yang telah membunuh Presiden. 

    Sesampainya dikediamannya. Ia langsung tidur pulas tanpa melepas satupun dari yang ia pakai saat ini. 

    Kini Sehun sudah berada di alam mimpinya. Disana iya terbangun dari tidur dengan pakaian yang sama seperti yang Ia kenakan ke kantor. Ia mencari ponsel miliknya yang berdering, tertera nama Sehan dilayar. 

"Halo? Ada apa menelepon?"

"Kau mendengar apa yang dikatakan Pak Elm bukan? Agar lebih mudah kita bagi tugas saja."

Sehun menyeringai,"Ide bagus, bisakah aku mengeksekusi teman-temanku yang akan menghalangimu. Atau mungkin semua? "

Sehan bangga dengan saudaranya yang satu ini."Baiklah, kau tak usah menghubungiku lagi. Biar aku saja memantaumu. "

    Sehun memutuskan panggilan, ia langsung mencari kontak nama-nama orang yang akan menjadi targetnya. Pertama ia menekan nomor telepon Kai,"Kai, aku minta tolong. Tembaklah Xiumin Kim dia adalah tersangka yang sebenarnya, setelah kau menembaknya kuminta kau melapor kepada Bos Elm. " Kai sedikit tertegun,"Bos Elm? Dia atasan kita bukan bos itu berbeda Sehun. "

"Ikuti saja apa yang tadi aku instruksikan. " Panggilan langsung diputus. 

    Sehun langsung menghubungi lagi sebuah nomor targetnya, Xiumin Kim. 

"Xiumin Kim, aku ingin memberitahukanmu tentang siapa pelaku yang diberitahukan oleh Pak Elm." tegasnya 

"Siapa? "

"Kai, kuharap kau bisa membantuku untuk menembaknya. "

"Tentu saja, terima kasih atas beritanya." 

    Sehun tertawa penuh kemenangan. Sebentar lagi mereka akan saling membunuh. Masih tersisa banyak tapi dia tidak akan khawatir. Karena semua Badan Intel akan saling membunuh. Dari staff sampai wakil atasan akan saling membunuh dan tak tersisa. 

    Kini Sehun sedang melakukan rencananya. Semuanya saling menuduh, saling menodongkan pistol masing-masing, saling membasmi satu sama lain . Rencananya berjalan dengan lancar. Semuanya percaya terhadap Sehun, semuanya berhasil terhipnotis oleh ucapan Sehun. Sehun sudah tidak sabar melihat kantornya yang kosong penuh darah para staff. 

    Saat matahari sudah cukup terang, Sehun memutuskan untuk pergi ke kantornya. Benar saja, begitu banyak bercak darah dan mayat tercecer. Sehun terkekeh, tak disangka Kepolisian yang mengatakan bahwa mereka adalah yang terbaik tapi pembantaian terbesar abad 21 saja tidak mereka ketahui? Sungguh memalukan, batin sehun.

    Bagaimana dengan Sehan? Sehun tahu semua yang dilakukan Sehan. Besok Amerika akan menyatakan kepada dunia bahwa Amerika bahkan Benua Amerika tunduk kepada Indonesia. Bagaimana bisa? Sehunpun tahu itu. Amerika hanyalah kumpulan orang-orang yang bodoh, buktinya mudah sekali dibuat tunduk hanya karena keluarga Presiden mereka akan dibantai hingga habis pada hari itu juga jika Amerika tidak menyatakan mereka tunduk. Sehan juga membuat tunduk Korea Utara. Sangat mustahil dimata orang awam. Namun nyatanya tak jauh berbeda dengan Amerika. Sehan akan melucuti dan mengarak istri Kim Jong Un jika ia tidak mau menyatakan tunduk kepada Indonesia, karena belum ada yang tahu wajah istri Kim Jong Un kecuali Sehan maka ia setuju.

    Lalu bagaimana caranya Sehun bisa tahu semua pergerakan Sehan? Sehun sendiripun tidak tahu.

    Sengatan sinar matahari berhasil membangun Sehun dari mimpi buruknya. Membuat teman-temannya saling membunuh dan menjadikan peristiwa itu adalah pembantaian terbesar abad 21. Pasti dia sudah gila, sudah membuat Benua Amerika dan Korea Utara bertekuk lutut pada Indonesia. Sehun mencari ponselnya, mungkin saja dia melewatkan sesuatu tentang kasus pembunuhan presiden. Sekarang sudah jam 08.00 WIB dan tunggu dulu, sekarang tanggal 15 september? Seharusnya sekarang masih tanggal 11 september, tidak mungkin dia tidur selama 3 hari nonstop, batinnya kebingungan. Daripada memikirkan hal yang hanya akan membuatnya semakin pusing, Sehun lebih memilih membersihkan dirinya dan sarapan.

    Sehun sarapan sambil menonton televisi, mungkin saja kepolisian tidak menuduhnya sebagai pelaku pembunuhan presiden. Sehun memperhatikan detail kabar yang disampaikan pembawa acara. Jantung Sehun berpacu sangat cepat saat mendengarkan berita, air matanya memaksa untuk keluar. 

    Bagaimana tidak. Seluruh teman-temannya habis tak tersisa, bahkan OB sekalipun tak bernyawa. Dan kini Gedung tempat bekerja tercintanya disegel oleh Kepolisian. 

    Hancur? Perih? Pedih? Pilu? Bahkan Sehun membutuhkan 1.000 kata untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Bukan tidak mungkin Sehun tidak akan merasakan senda gurau lagi. Bukan tidak mungkin Sehun tidak akan merasakan kebahagiaan lagi. Bukan tidak mungkin Sehun tidak akan merasakan cinta tulus dari sahabat. Bukan tidak mungkin Sehun tidak akan sebahagia dahulu. Mengapa? Karena sumber dari semua kebahagiaan telah lenyap tewas terbantai oleh sebuah kelompok atau mungkin seseorang. Dan yang paling menyedihkan adalah ia seorang Sehun yang sangat di banggakan kawan-kawannya TERTIDUR saat pembantaian terjadi. Memalukan? Sangat. Memprihatinkan? Sungguh benar. Bahkan Sehun pantas bunuh diri karena kebodohannya sendiri. 

    Sehun segera menghapus air matanya dan segera pergi ke TKP. Sesampainya di TKP Sehun bertanya pada polisi apakah ia menemukan seorang saksi mata. Dan hasilnya? Nihil. Tak ada satupun saksi mata atau rekaman video yang menunjukkan pelaku pembantaian. Yang ada hanyalah CCTV yang menunjukkan betapa kejamnya mereka saling menodongkan pistol dan saling membunuh tanpa ampun bahkan tanpa babibu, semua orang yang lewat pasti langsung dibunuh. Kerasukan Setan apa mereka? Siapa yang berani membuat mereka semua menjadi mesin pembunuh? Pengkhianat macam apa yang mengkelabui mereka? Batin Sehun. 

"Kuatkan dirimu Sehun, aku tahu bagaimana rasanya." Ujar seseorang menepuk pundak Sehun. 

" Terima kasih atas... Pak Elm?" Sehun terkejut saat membalikkan badan melihat siapa yang sedang berbicara dengannya. Sampai-sampai Sehun tak dapat mengeluarkan sepatah katapun untuk menggambarkan betapa senangnya dia saat mengetahui bahwa atasannya ini masih hidup. 

"Jangan seperti itu, sepertinya saya dapat membaca pikiran kamu. Saya sedang keluar kota saat kejadian, jadi aku baik-baik saja. " Ujar Pak Elm penuh senyuman simpul. 

"Begitu rupanya. Syukurlah kalau bapa baik-baik saja. "

"Bisakah kita pergi ke rumah saya? Ada yang ingin saya bicarakan. Tenang saja tidak akan lama." 

"Tentu saja pak. "

    Sesampainya mereka dikediaman Pak Elm. Mereka langsung menuju ke ruang kerja Pak Elm. Pak Elm membuatkan kopi untuk mereka berdua. Setelah itu Pak Elm langsung menyalakan tv yang tersambung dengan komputer miliknya. Sepertinya pak Elm ingin menunjukkan sesuatu, entah tak ada yang tahu. Tapi perasaan Sehun sudah tidak menyakinkan, ada apa ini? Mungkinkah Sehun takut akan sesuatu? Ataukah kini ia juga takut dengan kasus yang menuduhnya sebagai pelaku pembunuhan presiden? Ataukah semua dimimpinya itu benar bahwa ialah Sang Pembantai teman-temannya? 

    Pak Elm berdeham berusaha memecahkan lamunan Sehun. "Saya ingin kau memperhatikan video ini baik-baik." Sehun langsung memperhatikan setiap detail video tersebut. Video itu menayangkan Presiden Amerika dan beberapa Presiden Bagian Amerika yang berdiri  dibelakang presiden sedang menunggu acaranya dimulai. Ada hal yang aneh dimata Sehun. Pak Wakil Presiden Indonesia, Duta Besar Indonesia untuk Amerika, dan Para Menteri Indonesia duduk disaf terdepan. Apakah video ini adalah wujud terima kasih atas sesuatu yang telah Indonesia lakukan terhadap Amerika? Tapi sejak kapan Amerika begitu 'ramah' ke negara lain? Pidatonya dimulai, Tunggu dulu... Amerika akan tunduk kepada Indonesia? Atas dasar apa? Indonesia bukan penjajah. Tiba-tiba Pak Elm bertepuk tangan saat video itu selesai, "kerja yang sangat bagus Sehun, kau berhasil membuat Amerika beserta Benuanya tunduk pada Indonesia. Selamat ku ucapkan." 

    Betapa terkejutnya Sehun mendengar itu, "ta-tapi... Saya tidak pernah melakukan itu Pak, saya berani bersumpah. Bahkan saya tidak tahu mengapa Amerika melakukan itu semua." 

    Pak Elm mengernyitkan dahinya, "apa maksudmu? Kau yang melakukan ini semua 3 hari yang lalu, 2hari yang lalu kau membuat kawan-kawanmu saling membunuh, dan kemarin kau berhasil membuat Korea Utara bertekuk lutut pada Indonesia. Kau yakin tidak ingat semua itu?" Jawaban dari Sehun hanyalah sebuah gelengan kepala kosong yang berusaha menerima kenyataan dari apa yang disampaikan Pak Elm. Sejahat itukah aku? Batin sehun. 

"Astaga... Aku lupa. Yang melakukan itu semua bukan kau yang sedang duduk dihadapanku detik ini." Tiba-tiba Sehun dikejutkan kembali oleh pernyataan yang sungguh membuat otaknya berputar 180°. "Maksud Bapak?" 

Pak Elm tersenyum lancip penuh kepuasan, "maksudku adalah Sehan, tapi bukan Sehan yang 5tahun lalu meninggal. Tetapi Sehan yang ada dalam dirimu, Sehan  bagian dari dirimu Si Pembunuh." 

    Jantung Sehun tertusuk oleh bilang melalui perkataan Pak Elm tadi. Sungguh mengejutkan. Sehun masih tidak percaya bahwa itu adalah dirinya, namun sebagian dari dirinya pun mengakui hal tersebut. Manakah yang benar? Batin sehun. 

    Pak Elm tertawa licik, " tak sadarkah kau? Bahwa selama ini kau adalah penjahat? Wahai Pembantai terbesar di Indonesia, kau itu sangat hebat. Kau berhasil membuat Indonesia akan bertekuk lutut padaku, maaf pada kita." 

"Aku tidak jahat" ucap Sehun lirih.

"Baik-baik jika itu maumu. Tapi harusku katakan bahwa sebentar lagi, saya akan menjadi Presiden Indonesia yang akan menjadikan negara ini negara milik saya pribadi. Terima kasih atas bantuanmu, kini Benua Amerika dan Korea Utara akan menerima semua sampah masyarakat yang akanku buang. "

" BIADAB KAUU" Sehun berdiri dari kursi menodongkan pistolnya. 

"Jangan mengadu dombakan dirimu sendiri Sehun. " Pak Elm tak mau kalah langsung menolong senapannya yang ada dibawah meja kerjanya. 

    Kini, detik ini Sehun benar-benar tidak tahu lagi dirinya yang sebenarnya. Yang dikatakan Pak Elm tak dapat ia sangkal tetapi tidak menyangkalnya pun bukan dia. Sehun tahu ia salah, tapi separuh dirinya mengatakan tidak. Siapa diriku sebenarnya? Ada apa dengan aku? Batin Sehun. 

"Jangan cengeng Sehun, kau tahu siapa dirimu. Dan tau apa tujuan hidupmu. Menjadi pembunuh bayaran. "

" Mati saja kau. "

" Jika kau bisa Sehun. Aku sangat dekat. "

" Aku jauh lebih dekat. "

DORR~


TAMAT

Tentang Penulis : 

 Aku hanyalah seorang pemula yang datang dari Kota Cirebon. Kakekku ingin aku diberi nama Roselyn NorthGod karena imajinasiku setinggi dewa. Tetapi aku masih terlalu amatir untuk dikatakan Penulis dengan imajinasi yang luas. Karena sebenarnya aku hanya terinspirasi oleh idolaku, Oh Sehun dari Exo. Kalian bisa lihat di IG ku @rozieoci294 dimana aku sangat menyukai Sehun. Akupun pernah bercita-cita menjadi salah satu anggota girlgrup namun cita-cita itu berubah seiring dengan perjalanan waktu, aku hanya ingin membuat orang tuaku bangga telah melahirkan aku. Semoga kalian suka ceritaku :)