Minggu, 08 November 2020

Dear Salma


Cuitan burung pipit di depan rumah menyambut indah pagi ini. Hari ini seorang Arzal Afsun sangat bersemangat. Minggu siang ini dirinya akan bertemu Salma. Gadis yang beberapa bulan ini selalu datang ke dalam mimpinya. Bukan tanpa alasan, Arzal memang menaruh hati pada gadis itu.

Setiap harinya Arzal selalu mendapat pesan singkat dari Salma. Contohnya hari ini, ucapan selamat pagi menyapa beranda Whatsapp milik Arzal. Membuat hati Arzal semakin berbunga. Arzal melompat dari kasurnya. Segera mengambil air mandi. Dirinya ingin tampil maksimal di hari minggu ini. 

Selesai dengan acara merias diri. Arzal siap menemui Salma di sebuah caffe di sekitar daerah Malioboro.

"Hari ini, Salma akan jadi pacarku. Ah, aku sudah tidak sabar bertemu dengannya," ucapnya pada diri sendiri.

Malioboro ramai setiap harinya. Terlebih hari ini adalah hari minggu. Meriahnya semeriah hati Arzal. Langkah kaki Arzal senada dengan musik yang mainkan oleh musisi jalanan Malioboro. Senyum senang tak pernah lepas terukir di wajah Arzal. Bahagia sekali dirinya di hari ini.

Arzal memasuki Loko Coffee Shop. Manik matanya mencari keberadaan si gadis. Tapi, tak terlihat. Tangan besarnya merogoh ponsel pintarnya di saku celana. Benar saja, ada sebuah pesan dari Salma. Berisi bahwa dirinya akan sedikit terlambat datang. Apa sih yang tidak bisa Arzal beri untuk gadisnya? Menunggu Salma tak akan terasa lama, bukan?

Arzal mendudukan dirinya pada kursi di dekat jendela. Membuat dirinya dapat melihat keberadaan Salma jika saja Salma sudah dekat. Manusia yang lalu lalang pun dapat sedikit menghibur Arzal. Daripada harus menghabiskan kopi miliknya.

30 menit menunggu. Belum ada tanda-tanda Salma datang. Mungkin, macet menghambat pergerakan Salma, batin Arzal.

1 jam sudah Arzal duduk di situ layaknya bocah yang kehilangan ibunya. Tapi, penantian Arzal tak sia-sia. Salma datang dengan terburu-buru.

"Sorry ya, Zal. Pasti kamu sudah menunggu lama." Arzal yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya. Menunggu Salma tidak pernah terasa lama.

"Tidak, kok. Kamu pesan minuman dulu saja, Salma."

"Tidak usah, aku tidak lama kok. Kita langsung saja, katanya ada yang ingin dibicarakan? Tentang apa? Kuliah? BEM? Atau organisasi yang lain?" tanya Salma yang membuat Arzal menggaruk tengkuknya.

"E-eh bukan. Duhh, bagaimana bicaranya ya?"

"Ngomong saja. Aku tidak keberatan kok."

"Oke, jadi begini. Kita kan...." ucapan Arzal terhenti ketika dering ponsel Salma terdengar.

Salma menerima panggilan tersebut dan melangkah menjauhi Arzal.

Arzal hanya dapat menghembuskan nafasnya. Semua ini adalah ujian baginya. Ia harus bersabar. Netranya hanya dapat memperhatikan Salma yang memunggunginya. Hari ini, Salma terlihat cantik seperti di hari-hari biasanya. Membuat senyuman kembali terukir di wajah Arzal.

Sekitar sepuluh menit Salma berbicara dengan seseorang di telepon. Sekarang, Salma berjalan mendekati Arzal kembali. Tapi, Salma hanya mengambil tasnya. Ia tidak kembali duduk di hadapan Arzal.

"Maaf, ya, Zal. Aku ada urusan mendadakan. Lain kali saja, ya?" pintanya sambil melangkah menjauh.

Arzal hanya dapat mengangguk. Percuma juga Arzal menolak. Salma sudah melewati pintu keluar.

Penantian Arzal sia-sia hari ini. Tapi, tak apa. Dirinya senang karena hari ini dapat melihat wajah Salma.

Arzal menghabiskan minumannya. Mulai berjalan santai sambil menikmati pemandangan apik kawasan Malioboro. Musisi jalanan melantunkan lagu yang ceria. Membuat hati Arzal sedikit terobati dari rasa kecewa. Masih ada hari esok untuk mengajak Salma berganti status.

Arzal mengambil sesuatu di sakunya. Sebuah surat berisikan puisi untuk Salma. Arzal menimang-nimang. Haruskah ia mengganti yang baru? Atau esok ia juga menggunakan surat ini untuk mencuri hati Salma?

Bukankah Salma sudah jatuh hati padanya? Lantas untuk apa membuat puisi yang dijadikan sarana mencuri hati?

Arzal membuang kertas itu ke tempat sampah. Sebuah karya spesial untuk gadis spesial. Ia satukan dengan barang yang sudah tidak berguna.

***

Satu minggu sudah berlalu. Arzal masih sering mengirim pesan pada Salma. Begitu pula sebaliknya. Arzal tahu Salma sangat sibuk dengan organisasi yang diikutinya. Terlebih, Salma aktif. Berbeda dengan Arzal yang hanya menjadi penghuni gaib di BEM. Begitu pula dengan hari ini. Arzal sudah membuat janji dengan Salma untuk bertemu di taman kampus mereka, Universitas Negeri Yogyakarta.

Arzal sudah membawa sebuah coklat dan sepatu sebagai hadiah untuk Salma. Yap, hari ini Salma berulang tahun. Arzal hanya sempat mengucapkan lewat Voice Note pukul 00.00 WIB.

 Hati Arzal begitu kencang berdetak. Saat matanya melihat Salma melangkah mendekat. Hari jadi Salma akan menjadi hari jadinya juga. Keringat di sela-sela jarinya menjadi bukti kegugupan seorang Arzal.

"Hai, Zal. Sudah menunggu lama, ya?" Arzal hanya tersenyum sebagai jawaban.

Kecantikan Salma hari ini berhasil membuatnya sulit berkata-kata.

"Oh, iya, ada apa janjian sama aku di sini?"

"E-ehm, selamat ulang tahun Salma." Arzal mengulurkan tangannya. Mereka berjabat tangan.

"Padahal tadi malam kamu sudah bilang." Senyun Salma melebar melihat Arzal yang hanya bisa tertawa kecil.

"Hehe."

"Tidak ada kado, nih?" Salma menaikkan alisnya sebelah.

"Ada, dong." Arzal memberi sebuah kotak berbungkus kertas pink. Warna kesukaan Salma.

"Ini hadiah ultahnya," tunjuk Arzal pada kotak itu.

"Jadi, yang ini bukan hadiah?" Salma mengambil coklat yang di pangku Arzal.

"Nanti dulu, aku mau bicara dulu." Arzal merebut kembali coklat itu dari Salma.

"Bicaralah."

"Oke, jadi begini, kita sudah saling mengenal selama tiga tahun bukan? Kita sudah saling dekat satu sama lain. E-em, bagaimana kalau kita pacaran? Aku ingin kamu bersanding bersamaku di pelaminan suatu saat nanti," papar Arzal.

Salma hanya terdiam. Beberapa saat menutup matanya. Mencoba menyusun kata yang tepat untuk menjawab ajakan Arzal.

"Zal, jatuh cinta hanya akan merusak pertemanan yang sudah kita bangun. Aku lebih suka kita berteman."Arzal terkejut mendengarnya.

"Tunggu dulu, jadi, menurutmu orang yang menikah merusak pertemanan?" Salma menggeleng.

"Mereka menjadi teman hidup. Beda lagi ceritanya jika kita seperti ini. Memangnya, kamu bisa menjamin kita terus bersama sampai jenjang pernikahan?"

"Tidak, tapi, untuk apa semua yang telah kita lakukan? Untuk apa ucapan selamat pagi, selamat malam, selamat tidur? Untuk apa kamu mengenalkanku pada orang tuamu? Bahkan kita membuat puisi bersama. Kita juga sering kencan."

"Untuk apa? Tentu saja untuk menunjukkan rasa sayangku padamu sebagai kakak lelakiku yang memiliki hobi yang sama denganku. Hanya itu." Mereka saling menatap.

Tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Kamu memberi harapan palsu, Salma," suara Arzal membisik. Berusaha meredam sedih yang memeluknya.

"Aku tidak pernah memberimu harapan. Kamu sendiri yang berharap lebih padaku. Aku tidak pernah jatuh cinta padamu." Salma berdiri.

Meninggalkan Arzal yang masih terpaku dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui.

Siapa yang harus disalahkan?


***

Malam ini, Salma hanya termenung melihat plafon kamarnya. Pikirannya masih bergulir tentang Arzal. Tak pernah ia sangka. Ternyata, selama ini Arzal menyimpan hati padanya.

Ponselnya bergetar. Menampilkan nama Arzal di sana. Di situ tertulis bahwa dirinya akan mempersembahkan sebuah senandika. Begini isinya,


Dear Salma,

Cantikmu mengalahkan sinar mentari pagi ini hingga aku hanya dapat menatap dirimu seorang. Tiga tahun lamanya kita saling mengenal. Ingatkah kamu dengan komunitas menulis yang membuat kita saling mengenal? Sejak awal, aku sudah menaruh hati padamu.

Terima Kasih sudah membangunkanku dari mimpi ini. Bahwa bahagiamu bukan bersamaku. Aku hanya teman bagimu. Terima kasih pula karena sudah menjadi alasanku tetap tersenyum pada hari-hari yang sulit ini. Aku harap kamu pun akan tetap tersenyum walaupun harimu begitu sulit. Aku akan tetap berada di sisimu.

Maaf, karena sudah membuatmu tidak nyaman hari ini. Membuat hari ulang tahunmu sedikit terasa hambar. Aku hanya ingin kamu menjadi milikku. Tapi, aku sadar. Aku tidak akan pernah bisa membahagiakanmu. Tapi, tenanglah pundakku akan selalu ada untukmu. Karena, kamu adinda-ku.



Tamat.