Sabtu, 05 September 2020

Sisa Bahagia Si Putih

oleh: Erica Agustina 


Plakk… 

Satu tamparan mendarat amat keras di pipi kanan gadis berwajah ayu. Kaki jenjang itu berdiri kokoh tak gemetar. Jemari lentiknya masih erat bertautan di balik punggung. Mulai nampak cap tangan ibu tiri. Pastilah begitu perih. Tapi yakinlah, tak ada seujung kuku rasa perih itu dibandingkan dengan siksaan fisik maupun mental yang dialaminya sejak usia belia. Bagai air susu dibalas dengan air tuba, kebaikan sang ayah menikahi Sonya, janda beranak satu, memupuskan harapan Lira kembali merasakan kasih sayang ibu. Lira harus ikhlas makan hati berulam jantung. Kata-kata kasar, penindasan, juga penganiayaan telah menjadi hidangan utama sehari-hari. 

"Apa kau bisu? Heh!" Giliran rambut panjang Lira dijambak oleh Bian, saudara tirinya. "Jawab!" bentak Sonya keras-keras. Lira hanya bisa memejamkan mata, meringis menahan rasa sakit. 

"Kalau kau tak mau menjawab, baiklah! Aku tak mau bersikap lembut lagi padamu. Bian, Bawa dia!" Sonya memerintahkan Bian menyeret paksa serupa hewan dengan rambut sebagai tali. Lira kukuh, bungkam. 

Ke arah kamar mandi, ruang interogasi kedua. Kepala Lira dibenamkan singkat sebagai permulaan. 

"Aku tanya sekali lagi, siapa dia? Mantra pelet apa yang kau gunakan untuk memikat pria kaya itu? Tidak mungkin, dia menyukai si buruk rupa sepertimu." Bian terus saja memperkuat tarikannya. Memancing kata dari saudara tidak sedarah. Dirinya harus memikat hati pria yang mengantar Lira pulang dari pasar. 

Blubb… 

Kepala Lira dibenamkan kembali, kali ini lima belas detik lamanya. Gadis lugu itu semakin tutup mulut. Ia tak akan bicara mengenai hal ini. Sudah cukup, ia tak mau lagi mengalah pada Bian. Kasih sayang ayah telah ia relakan. Namun, tidak dengan Satria. Pemuda kaya raya di desanya dan menjadi idola para gadis. Satria adalah masa depannya. Satu-satunya harapan hidup Lira. 

"Oh! Jadi, kau menantangku?" Tanpa banyak bicara, rambut Lira berpindah ke tangan Sonya. Ia memperlakukan sama seperti Bian menyeret Lira. Lalu, dipilihnya gudang sebagai tempat penyiksaan ketiga. Didudukan tubuh basah kuyup itu pada kursi tanpa busa. Sudah tersedia tali juga cambuk. Tak perlu waktu lama bagi Bian untuk mengikat tangan saudari tirinya. Sebab ia sudah puluhan kali melakukan hal tersebut. Itu hal yang mudah baginya. 

Sonya bersiap. Bola matanya melebar. Terlihat, api berkobar-kobar membakar emosi. Kemudian, ia bertanya hal yang sama sekali lagi. Tentu saja, ia mendapatkan jawaban yang sama pula. 

Ctarrr… 

Cambukan keras mengenai tubuh kurus Lira. Perih dan panas, begitulah yang dirasakan olehnya. Telah lama ia belajar mengendalikan angkara murka, sehingga ia begitu pandai menyembunyikan lara. Datar saja, begitulah ekspresi Lira.

Cttarr… Cttarr… Cttarr… 

Terhitung lebih dari lima kali, Sonya merajam Lira dengan tidak manusiawi. Hingga akhirnya ia berhenti ketika tubuh Lira jatuh, terkapar di lantai. Tanpa perintah, Bian segera melepas ikatan tali yang mengunci kedua pergelangan Lira. Ibu dan anak itu melangkah pergi, meninggalkan Lira dalam kondisi tak sadarkan diri, sendirian di gudang belakang rumah.

Lira, masyarakat mengibaratkan dirinya bawang putih. Naas nasib gadis usia 21 tahun serupa cerita purba: Bawang Merah dan Bawang Putih. Siapa yang menyangka, bunga desa keturunan darah biru itu memiliki kisah hidup layaknya budak, dihina, dan disiksa. Keluarga Lira dikenal berbudi baik. Masyarakat terheran, karma apa yang menimpa Lira hingga menjalani hidup menderita. Sepeninggal sang ibu secara mendadak, sang ayah memutuskan menikahi janda cantik beranak satu yang berkediaman di sebelah rumahnya. Kala itu usia Lira masih sepuluh tahun, Sonya datang melayat dengan tangis iba. Sambil tersedu, ia mendekati Lira dan mendekapnya. "Sayang, Lira. Jangan menangis, Nak! Kau tak sendirian. Ada Bian dan saya, yang akan menemanimu." Lira memandang sekilas ke arah Bian. Dia teman sekolahnya. 

"Akan kuanggap kau seperti saudari perempuanku. Kau bisa sepuasnya bermain denganku." Bian memeluk Lira erat. Hati puteri bangsawan itu mulai tenang. Ia tak akan kesepian berada di rumah besar seorang diri. Mengingat, kerap kali Hasan keluar kota berminggu-minggu demi mengurus usahanya. 

Sudah tujuh hari, Sonya sukarela membawakan makanan di pagi dan menjelang petang. Masakannya sangat enak, begitulah kata Hasan. Ia selalu memuji masakan janda itu. Memang benar, racikan tangan Sonya tak kalah dengan rumah makan di kota. Lira begitu bahagia. Sedih hatinya lenyap dipulasara bersama jasad sang ibu. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan. "Ibumu sudah tenang di atas sana. Ia tak bisa merasakan sakit lagi. Sebagai seorang anak, kau berkewajiban memberikan persembahan berupa doa sebagai penerang jalannya." Hasan mengusap punggung sang puteri, menenangkan Lira yang mulai rindu dipeluk seorang ibu. 

"Lira, bagaimana pendapatmu tentang ibu Sonya dan Bian?" Lira menoleh, memandang Hasan. Perlahan, tangan mandiri itu mengusap rembesan air mata di pipi. Ia mulai memasang senyum. 

"Ibu Sonya, orangnya baik, Yah. Apalagi Bian. Dia melindungiku di sekolah." Senyum manis punya mendiang sang istri diwarisi Lira. Hasan bahagia melihat anaknya kembali ceria. Namun, guratan gundah tiba saja mencoreng wajah tampannya. 

"Ayah harus kembali ke kota. Ayah tak bisa terlalu lama meninggalkan usaha. Oleh karena itu, izinkan Ayah menikahi ibu Sonya. Agar bisa menemanimu di sini." Tentu saja dijawab dengan anggukan oleh Lira. Akhirnya, ia akan memiliki saudari. Dirinya berjanji, akan berbagi mainan dengan Bian. Bahkan, Bian boleh menjadi pemilik boneka-boneka miliknya. Lira terlalu gembira dengan bayangan fana, benar-benar fana. 

Setelah setahun pernikahan, Hasan jatuh sakit dan meninggal begitu mendadak. Sejak saat itulah, Sonya menjadi dirinya sendiri. Bian semakin semena-mena. Lira tak merasakan rasa sayang ibu lagi. Kini ia sebatang kara. Tubuh kecilnya dipaksa bekerja, membereskan rumah, kebun, sampai urusan dapur. Hingga usianya dewasa muda, Lira tetap menerima penganiayaan. Kemana ia harus membawa dirinya pergi? Pelindungnya diambil Tuhan, bahkan rumah tempat ia tinggal sudah dikuasai. Di antara siksaan, diam-diam ia mengumpulkan keberanian agar terbebas dari rantai yang membelenggunya. Ia telah membuat rencana dengan begitu apik. Tersusun secara terperinci. Amarahnya sudah memuncak melebihi langit ke tujuh. Bencinya sudah meluas melebihi jagat raya. Tekatnya membulat penuh di genggaman. Malam ini akan menjadi saksi, bebasnya ia dari jerat tipu daya iblis menjelma manusia.

Lira terbangun lunglai, ketika mata hari mulai menjadi lembayung. Gemerincing bunyi kunci terdengar. Ia menebak, siksaannya datang lagi. 

Plakk… 

Tangan Bian begitu ringan kala membangunkan Lira. Dari tangan Bian, sepiring nasi tersuguh di hadapannya. Begitu baiknya Bian, sampai tak lupa mengucapkan selamat makan dengan jemari lentiknya berada di pucuk kepala Lira, lalu ditekan paksa hingga menyentuh lantai. Ia berkata, "Ayo, buka mulutmu. Itu makananmu, habiskan!" Tiada perlawanan, Lira bungkam. Tak sudi ia jamah makanan yang terhidang. Nasi basi berulam tempe jamuran. Persis makanan tikus.

Lira masih menunggu sambil menikmati perih luka cambuk di punggung. Sonya dan Bian tak mengetahui, jika gudang tempatnya disekap telah dilubangi di sisi kiri. Lira sabar menanti malam. Ia tak kenal lemas. Tubuhnya bugar berkali lipat. Telah kenyang, ia mengisi dengan segenggam dendam. Malam kian petang. Telah siap, memulai permainan. Berdiri kakinya tiada gemetar. Penuh keyakinan langkah Lira diayunkan. Ia jalan mengendap, masuk ke rumahnya sendiri. Dapur adalah tempat pertama yang ia kunjungi. Mengambil tasnya, kemudian pergi kamar Bian. Setelah sampai, dengan perlahan ia membuka pintu tersebut. Dewi Fortuna memihaknya. Bian mengenakan penutup mata. 

"Tuhan telah mempermudah jalanku," ujarnya pelan. Tanpa aba-aba, kedua tangan Lira terangkat. Ia bersiap … craatt … senyum seringai menghiasi wajah Lira, saat pisau panjang tepat tertancap pada jantung Bian. 

"A-aa-ba-ng-sat!" terbatah suara Bian.

"Haha … bagaimana rasanya? Sakit bukan? Maka nikmatilah, aku akan memberikannya lagi padamu." bisiknya. Kemudian dicabutnya pisau itu, dan ditusukkan bertubi-tubi pada tubuh Bian. Sesekali ia tertawa kecil, raut mukanya begitu puas. Lira menikmati kematian Bian.

"Giliran induk iblis!" Lira berjalan menaiki tangga menuju kamar Sonya. 

Lira lolos masuk kamar tanpa kesulitan. Lagi-lagi, ia berterima kasih pada Tuhan. Seolah membantu kelancaran rencananya. Permainan berbeda kali ini. Ia membangunkan Sonya. "Bu, bangun, Bu!" suara lembut Lira berhasil membangunkan janda itu. 

"Kau!"

Pyarrr… vas bunga di genggam tangan kanan Lira, dihantamkan ke kepala Sonya. Ia terkapar. Kemudian dengan cepat, Lira menali kedua tangan Sonya masing-masing di sisi ranjang, sedangkan kaki juga sama diperlakukan. Langkah penuh semangat menjinjing air dari kamar mandi. Tanpa pikir lagi, Lira menyiramkan seember air itu pada korbannya. 

"Ayo bangun, Penyihir. Tidakkah kau ingin bersenang-senang?" kata Lira. Perlahan Sonya tersadar. 

"Apa yang kau lakukan, Lira?" 

"Bersenang-senang tentu saja." Lira menunjukkan pisau berkarat sambil memainkan ujungnya. 

"Lira .. Lira .. Maafkan saya." Sonya panik. 

"Sudahlah. Kau nikmati saja. Permainan akan dimulai!" katanya dengan senyum. 

"Aargrr… " Sonya mengerang. Begitu sakit pisau berkarat itu menyayat lengannya. "Aarggrr… " kembali erangan Sonya terdengar, dan itu akan terua terdengar hingga tubuh sang ibu tiri penuh sayatan. 

"Bagaimana … hahaha, menyenangkan, bukan?"

"Lebih baik, kau bunuh saja aku!" suara parau Sonya terdengar pasrah.

"Baiklah, aku pun tak berniat lama-lama." 

Lalu hal yang sama dilakukan pada Sonya. Lira begitu puas, dendamnya telah terbalas. Dengan tertawa keras, akhirnya ia bebas dari jerat rantai kekejaman ibu tirinya.

Sejenak, Lira teringat ayah juga ibunya. Terlantun permohonan maaf pada kedua mereka. Ia tersungkur dan terisak. Dalam hati Lira, terselip rasa penyesalan. Namun, ketika sekelebat memori penyiksaan ibu dan saudara tirinya, dengan cepat hati itu kembali terisi dendam. Sudah tuntas kemarahannya terlampiaskan. 

Seperti fenomena gunung es; nampak kecil di permukaan, tapi besar di dasar. Di sanalah rangkuman kesakitan dan akan ia muntahkan ketika perasaan jengah, tak kuat menahan siksaan. Lira pergi tanpa meninggalkan bukti. Ia benar-benar bermain rapi. Kini, Lira sedang berjuang mencari kembali selembar kertas baru untuk menjalani sisa bahagia hidupnya. 


Selesai


BIONARASI

Erica Agustina, seorang ibu rumah tangga lahir pada 24 Agustus 1994 di Sidoarjo, Jawa Timur. Hasil karya yang telah diterbitkan yaitu; antologi cerpen – La Storia Del Barista; antologi cerpen – Dreamer’s Challenge; antologi puisi – Cinta yang Akan Datang.  Segala kritik dan saran dari rekan-rekan bisa disampaikan melalui akun instagram @ric_rica atau melalui surel erica.agustina55@gmail.com. Menjadi ibu rumah tangga tak menjadi batasan untuk tetap terbang meraih mimpi.