Selasa, 14 Juli 2020

Menembus Penjara Kekang

Ray


    Aku bergeser tiga langkah ke kanan, mencari posisi yang pas untuk mengangkat karung sayuran seberat lima setengah kilogram ini. Membawanya ke ruang terbuka khusus di samping rumahku. Isinya kemudian dipilah, yang bagus akan dijual, yang jelek akan dijadikan makanan ternak. Tugasku sudah selesai sampai memindahkan saja, tak lebih, sebab aku masih harus mengerjakan tugas sekolahku. Terlebih lagi, ini sudah sore. “Tugas sekolah”, frasa yang mungkin bulan depan tak akan lagi kudengar.

    “Lulus SD nanti kamu bisa bantu-bantu emak di pasar, lalu kamu menikah sama anaknya Pak Lurah yang bisa kasih modal buat kita. Emak dulu juga begitu. Buat apa wanita sekolah tinggi-tinggi. Toh akhirnya balik ke dapur juga,” tutur emak, membuatku semakin geregetan setiap harinya.

    “Dita! Sudah pindahkan semua karungnya, Nak?” tanya emak padaku setengah berteriak.

    “Sudah, Mak!” jawabku singkat, berteriak juga.

    Aku segera membuka buku paket dan buku tulisku untuk mengerjakan tugas. Hari sudah mulai senja dan aku belum mengerjakannya sama sekali. Lelah memang, tapi kalau tidak begitu, emak bisa marah.

    Dalam keluarga kami, emak yang paling cerewet. Setiap ada perdebatan di rumah, selalu aku dan emak yang beradu mulut, sebab bapak cenderung diam.

    “Tapi kan itu Emak. Masa-masa itu sudah berjalan empat belas tahun lebih! Jelas beda dong, Mak!” bantahku suatu malam saat berdebat dengan emak.

    “Namanya kodrat ya kodrat! Mau empat belas tahun, lima belas tahun, enam belas tahun, bahkan mau dua puluh tahun atau satu abad pun yang namanya kodrat perempuan ya ngurus anak, masak, bersih-bersih rumah. Ndak ada bedanya dulu dengan sekarang!” Emak tak mau kalah.

    “Kodrat memang tetap kodrat, Mak! Tapi ngurus anak juga butuh ilmu! Ndak sekedar momong,” aku kembali menyahut.

    “Ngurus anak memang butuh ilmu, tapi ndak tinggi-tinggi juga bisa. Nyatanya emak cuma lulusan SD juga bisa nyekolahin kamu, ngajarin dagang, ngajarin bantu orang tua.” Emak masih kuat dengan argumennya.

    “Tapi emak yang cuma lulusan SD kan ndak bisa ngajarin pelajaran SMP. Makanya emak pengen aku cuma seperti emak yang lulusan SD karena emak ndak mampu jawab pertanyaanku kalau aku lanjut ke SMP.” Aku mulai sengit dan kata-kata yang sebenarnya tak sopan itu keluar begitu saja.

    “Terserah kamu mau ngomong apa, Dit. Pokoknya lulus SD kamu harus bantu emak di pasar dan kalau dagangan tak banyak, kamu bisa bantu bapak nyebar winih di sawah. Kamu juga harus mulai kenalan sama anaknya Pak Lurah. Dia sudah setuju lho dijodohin sama kamu.” Emak mengalihkan perhatian.

    “Kalau emang niat mau ya bertindak, dong! Ndak diem aja. Klemar-klemer, lemes. Ngeselin lama-lama. Siapa juga yang mau sama orang kayak gitu,” jawabku dengan kekesalan yang memuncak.

    “Dita! Jaga omonganmu!” teriak emak dibalik badanku yang melangkah pergi ke kamar.

    Lebih baik ngerjain tugas, belajar, daripada ngurus argumen emak yang menyebalkan itu. Pikirku seraya menyibak tirai pembatas antara ruang makan dan kamarku.

    Memang benar kata orang bahwa hidup adalah panggung sandiwara, di mana setiap orang punya dramanya masing-masing. Drama ancaman berhenti dengan ijazah SD dan segera menikah tengah menghantuiku saat ini.

***

    Hari terus berlalu dan ujian nasional pun tiba. Aku menyerahkan semuanya pada Tuhan. Bagaimanapun hasilnya yang penting aku sudah berusaha dan berdoa. Masalah hasil, itu bukan wewenangku.

    Tiga hari berlalu dengan cepat dan singkat cerita, aku lulus SD. Lalu bagaimana dengan emak? Dia masih dengan argumennya yang dulu.

    “Lulus juga kamu, Dit. Akhirnya emak ada juga yang nemenin,” kata emak setelah wisuda kelulusanku yang super sederhana.

    “Sekarang, tugasmu tinggal bantu emak dan bapak. Fokus saja dengan itu. Kamu pasti bisa kembangkan usaha emak. Kamu juga pasti bisa buat bapak panen besar. Semua modal bisa kamu dapat dari Aidan kalau kamu menikah dengannya,” sambung emak lagi. Ia terlihat sangat bahagia merencanakan masa depanku yang super menjijikkan.

    Aku diam saja, sibuk memutar otak. Sebelum ujian, aku sudah berniat untuk nekat lanjut sekolah. Aku hanya bingung soal uang. Emak pasti tidak akan memberiku uang. Akhirnya, kuputuskan untuk bekerja diam-diam. Aku berniat untuk melamar pekerjaan di pembuatan gerabah di kampung sebelah. Di sana, tak banyak yang mengenalku. Jadi, kemungkinan emak dan bapak untuk tahu aku bekerja di sana pun kecil.

    Hari ini juga, aku berangkat ke sana. Awalnya, Pak Heri, pemilik usaha gerabah itu ragu akan kemampuanku. Namun, setelah melihat gerabah buatanku, ia merasa kagum dan langsung menerimaku. Sepulang dari sana, aku tidak langsung pulang, melainkan berjalan menuju sekolah di ujung desa untuk mendaftar.

    “Ndak bagus ndak apa-apa, yang penting aku bisa dapat ilmu,” ujarku dalam perjalanan pulang.

    Keesokan harinya, aku berbohong pada emak kalau aku ingin membeli sesuatu di warung. Padahal, hari ini aku akan melihat pengumuman di sekolah, aku keterima atau tidak.

    “Alhamdulillah.. aku keterima di sini. Sekarang, aku harus siapkan uang untuk beli seragam,” ujarku girang.

***

    Libur sekolah telah berlalu dan ini adalah hari pertamaku sekolah. Aku meminjam uang pada Pak Heri untuk membayar seragam dan jasa jahit karena setelah dihitung, ternyata uang tabunganku kurang untuk melunasi semua itu.

    “Mak, aku hari ini sepertinya ndak bisa bantu-bantu di pasar. Soalnya ada reuni teman SD sampai nanti siang. Aku ingin ketemu mereka, Mak. Boleh, kan?” ujarku berbohong.

    “Iya, boleh. Cuma hari ini saja, kan?” tanya emak sambil memilah sayuran.

    “Iya, Mak. Jadi aku boleh pergi, kan?” Aku balik bertanya.

    “Boleh. Tapi kalau sudah selesai langsung pulang, ya. Jangan dolan ke mana-mana.” Emak berpesan.

    “Siap! Terima kasih, Mak!” seruku girang sambil berlalu pergi.

    Aku lega karena semua berjalan lancar. Kumasukkan satu buku, satu bolpoin, dan seragamku ke dalam tas. Aku berniat ganti baju di musala dekat sekolah.

    Aku masuk ke ruang kelasku. Perasaan bahagia menyelimuti diri. Aku berkenalan dengan beberapa siswa. Masih sulit bagiku untuk menghafal nama mereka, tapi paling tidak aku sudah mencoba beradaptasi.

    Hari ini berlalu dengan cepat. Hari yang isinya hanya perkenalan. Walau begitu, aku tetap senang. Namun, semua itu tak berjalan lama. Saat pulang sekolah, semuanya berubah. Aku masuk ke dalam angkot, angkutan umum yang melewati gang kampung tempatku kerja, kampung Pak Heri tinggal.

    Emak, Bapak? Mereka naik angkot ini juga? Apa yang harus kulakukan? Aku kaget bukan main mendapati emak yang melotot dan bapak yang tertegun melihatku di dalam angkot dengan seragam putih-biru.

    Tak ada percakapan di sana. Saat aku melirik ke arah emak, yang kulihat hanyalah pelototan emak dengan uratnya yang menegang, sungguh menakutkan.

    Sampai di rumah, barulah perang itu terjadi. Emak membuka kunci pintu rumah dan menutupnya dengan keras saat aku dan bapak sudah masuk.

    “Apa yang sudah kamu lakukan di belakang emak dan bapak! Reuni katamu? Reuni di SMP dengan seragam seperti itu? Emak ndak nyangka kamu berani bohong sama emak! Apa yang ada di pikiranmu itu, ha? Masih mau sekolah tinggi? Kuliah? Jadi sarjana? Kerja di bank seperti keinginanmu dulu? Masih mau seperti itu? Kamu ndak mau nurut lagi sama emak?” Wajah emak memerah.

    “Emak pikir kamu memang sudah luluh dan mau nurut apa kata emak. Tapi ternyata? Kamu durhaka, Dit!” Emak meninggikan nada bicaranya.

    “Mak, tolong jangan bilang aku durhaka. Aku melakukan semua ini karena aku ingin merubah keadaan keluarga kita. Aku ingin keluraga kita berubah karena usaha kita sendiri, bukan karena bantuan orang macam Pak Lurah yang hanya mau memanfaatkan kita, Mak! Maaf, bukan karena aku ingin melawan Emak dan Bapak. Aku hanya ingin mengejar cita-citaku. Aku bukannya tidak suka dengan pekerjaan Emak dan Bapak. Aku hanya ingin bisa membuat Emak dan Bapak bangga punya anak yang sukses. Aku bekerja untuk semua itu. Aku tidak mau menyusahkan kalian dengan uang sekolahku. Aku ndak apa-apa kok kalau harus kerja untuk sekolahku. Aku rela, asal aku boleh sekolah, Mak. Tolong,” ujarku panjang yang kemudian terhenti oleh isak tangis.

    Bapak luluh, ikut menangis. Beliau memelukku. Emak masih berdiri tegak, memalingkan muka. Hingga akhirnya, bapak ikut bicara, “Mak, yang Dita katakan itu benar. Apa kau tidak kasihan lihat dia memelas seperti ini? Kau dengar, kan? Dia rela bekerja untuk sekolahnya. Dia tak mau menyusahkan kita.”

    Emak memandangku. Matanya berkaca-kaca. Sejurus kemudian beliau pun ikut memelukku.

    “Aku boleh sekolah kan, Mak?” tanyaku dalam isak.

    Emak mengangguk. Memelukku semakin erat seraya berkata, “Emak minta maaf, Dit karena sudah tak mengerti niatmu. Kamu ndak usah kerja. Fokus saja dengan sekolahmu. Biar emak dan bapak yang biayai semuanya. Kamu jangan khawatir.”

    Dunia seakan ikut menangis. Mendung yang tadi ada, kini sudah jatuh sebagai bulir-bulir hujan yang deras. Kupikir pertemuan tadi adalah akhir dari segalanya. Tapi aku salah, ini adalah awal. Awal perjuangan seorang anak yang ingin mengubah nasib keluarganya, awal perjuangan seorang pemudi yang ingin menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, dan awal perjuangan seorang wanita yang kelak akan mendidik anak-anaknya dengan ilmu, bukan sekedar momong.

Ray, panggilan akrab dari remaja bernama lengkap Raydinda Laili Shofa. Tinggal di rumah mewah (mepet sawah) membuat nyayian jangkrik selalu menghiasi malamnya. Tipe orang yang selalu mencari cara bagaimana rasa sakit bisa bertransformasi menjadi sesuatu yang epic, salah satunya ya dengan menuangkannya dalam tulisan. Ray menyapa pembacanya dengan sebutan “My Dearest Blue” dan memberi salam khusus pada mereka yaitu “Salam Blue-Apocope”. Entah sejak kapan jatuh cinta pada sastra, namun kini untaian kata sederhananya dapat dinikmati di instagram @catatan_blueray. Bisa juga mengintip secuil tentang diri pribadinya di @ralisha_rayfa.